webnovel

aku akan menikah

"Kakak akan menikah? Apa-eh-apa Kak Heidi mengajakmu kembali dan ingin melamarmu?"

Fioni menebak sesuai apa yang dia ketahui selama ini, bahwa kakaknya hanya memiliki satu kekasih yaitu orang bernama Heidi yang hari ini baru bertemu lagi dengan Luna.

Mata Luna melebar sejenak. "Bukan. Ada orang lain. Tapi aku ragu."

Pikirannya melayang pada pria sombong yang baru saja menawarinya sebuah pernjanjian yang syaratnya justru sulit untuk diterima olehnya. Syarat yang baginya lumayan berat. Bahkan memang tergolong berat.

Gadis mungil yang duduk di sampingnya justru terlihat seolah terkejut. Mulut dan matanya melebar.

"Apa?! Kakak berkencan dengan pria lain?! Siapa dia Kak?! Apa Kakak akan membawanya ke rumah?!"

"Kau berisik. Itu baru rencana." Luna mengabaikan adiknya dengan melahap sepotong besar tiramisu. Namun Fioni tampak tak peduli, dia tetap terlihat bersemangat.

"Rencana yang sudah dipastikan bukan? Kakak sudah cocok untuk menikah kok! Eh, maaf!"

Tetiba gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan karena dia merasa telah mengatakan hal yang salah pada kakaknya. Berkata sesuatu yang mengarah pada suruhan agar seseorang segera menikah adalah hal yang kurang sopan di keluarga mereka. Pernikahan adalah keputusan besar pribadi anggota keluarga, tidak bisa dipaksakan. Begitulah peraturan yang diterapkan.

Namun Luna justru tidak marah. Dia hanya membuang muka usai menoleh pada adiknya sekilas. Lalu kembali menyuap menu makan malamnya dan tak lupa dia juga meneguk susu hingga tersisa setengah.

"Tapi, aku belum yakin karena kau dan Fero masih anak-anak. Aku khawatir kalian tidak terurus." Ujarnya.

Dan yang dikatakannya barusan adalah benar karena usia dua adiknya yang masih tergolong remaja bahkan Luna selalu menganggap usia mereka yang masih bocah. Fioni masih tujuh belas dan duduk di bangku kelas dua SMA sementara Fero baru berusia sembilan belas tahun dan baru masuk kuliah semester pertama. Mereka masih memerlukan bimbingan orang dewasa sekalipun Luna tahu bahwa Fero sedikit bisa diandalkan karena anak itu mencoba untuk lebih bersikap dewasa, apalagi semenjak kepergian ibu mereka.

Fero memang sudah bisa lebih mandiri seperti bisa bangun sendiri dengan jam yang telah dia tentukan sendiri, mengerjakan tugas kuliah tanpa menunda, mewakili Fioni jika ada panggilan rapat sekolah dan beberapa kepentingan sekolah lainnya, merapikan kamarnya sendiri dan dia bisa melakukan kemampuan besik manusia seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci, memperbaiki barang yang rusak jika memang mampu. Semua itu memang sengaja diajarkan oleh orang tua di keluarga mereka. Dan bagian ini, Fioni pun sudah bisa melakukannya.

Meski begitu, Luna tetap merasa belum siap melepas dua adiknya tersebut. Jika seusai menikah dia harus meninggalkan rumah, dia tidak terlalu yakin. Karena dirinya merupakan pengganti sosok kepala keluarga di rumah setelah orang tua mereka pergi dua-duanya.

"Jika Kakak khawatir, Kakak bisa menanyakan kabar kami lewat telepon atau pesan. Maksudnya mengontrol dari jarak jauh jika Kakak tidak tinggal di rumah ini. Meski itu bakal bikin Kakak repot juga sih, karena Kakak punya suami dan ditambah harus mengontrol adik-adik. Tapi, aku dan Kak Fero tidak mau menjadi penghalang untuk Kakak."

Luna terdiam sejenak mendengar jawaban adik bungsunya. Dia menoleh. Ada rasa kagum karena ternyata dua adiknya memang bisa lebih mandiri.

"Terima kasih cantik." Tangannya mengusap kepala Fioni, lalu menyuapinya dengan sepotong tiramisu.

Luna sendiri bingung soal masalah menikah. Sebenarnya dia memang tidak memiliki seseorang spesial untuk diajak hidup bersama. Belum. Hanya ada seorang asing angkuh yang menawarkan bantuan dengan syarat pernikahan. Terkadang dia sendiri tak habis pikir dengan hidupnya yang dia kira sudah aneh.

.

Luna tak tidur hingga beberapa jam kemudian. Dia malah membuka laptop dan berselancar di internet demi menguntit profil Aria Pamungkas si presdir aneh dan sombong yang baru ditemuinya itu. Perusahaan furnitur milik pria itu cukup terkenal apalagi di kota Jakarta, jadi tidak terlalu sulit mencari profil pemiliknya di internet.

Saat Luna memeriksa profilnya, ternyata nama asli pria itu adalah Aria Santoso Pamungkas. Pria blasteran Indonesia-Jerman yang usianya setara dengan dirinya, tiga puluh tiga tahun. Informasi yang tertera memang tidak detail, namun itu cukup bagi Luna untuk sedikit mengetahui.

Setelah itu, dia pun kembali membuat sebuah keputusan dengan mempertimbangkan keadaan bisnisnya saat ini.

.

Luna akhirnya memutuskan untuk menemui pria sombong itu lagi. Di suatu tempat yang juga tidak terduga. Sebuah restoran bernuansa terbuka di pinggir laut di kota Jakarta. Pria yang tidak ramah itu tergolong baik karena masih mau memesankan hidangan untuk lawan bicaranya, meski raut wajahnya amat datar. Tidak ada senyuman meski setipis helaian rambut, atau sedikit sunggingan. Sorot matanya lurus tiap menatap si lawan bicara. Namun itu tak masalah bagi Luna. Karena pertemuan kali ini tidak seformal pertemuan di hari lalu dengan ruang privat. Kali ini lebih agak terasa santai disebab suasana tempatnya. Meski Luna pun belum merelakan tangannya untuk menyentuh makanan yang telah dipesankan.

"Kan sudah kubilang? Kau takkan menolak tawaranku. Terlalu memberatkan. Apalagi dengan kondisi bisnismu yang seperti sekarang. Maaf saja, tapi aku tak bermaksud merendahkan."

Sementara itu, Aria dengan cueknya berbicara dengan tangannya yang santai menyuap makanan ke dalam mulut. Dia tidak canggung sama sekali bertingkah demikian, meski menurut Luna itu terlihat menjengkelkan. Dia tidak peduli. Makan sambil mengobrol kepada orang asing seperti layaknya teman lama yang sudah sangat akrab.

"Kau memang berhak menolak. Namun, sayangnya kau tidak ditakdirkan untuk menolak tawaranku ini." Ujarnya lagi.

"Aku tahu. Itu karena kondisi bisnisku. Tapi, yang membuatku sangat heran adalah kenapa kau harus menawarkan bantuan, lalu mengajukan syarat gila itu? Kau mau membalas dendam padaku soal kejadian malam itu?" Luna memicingkan matanya sejenak. Menatap pria itu.

Namun pria di depannya malah mengangkat alis sekilas. "Bukan. Justru kejadian malam itu yang membuatku tertarik untuk tahu lebih jauh tentangmu. Dan berita-berita media."

Membuat Luna menatapnya cukup lama sekarang. Pada sepasang mata kelabu biru di hadapannya. Dia t

Sedikit tidak tahu harus bagaimana bersikap. Karena meski telah membaca informasi tentang pria itu, dia tetap merasa bahwa orang di hadapannya masih misteri. Ini mungkin saja wajar, karena mereka memang tidak pernah saling mengenal dekat sebelumnya.

Apalagi maksud dan tujuannya, Luna benar-benar tidak mendapat gambaran. Tentang seseorang yang tetiba mengajak menikah pada orang asing. Tidakkah itu aneh sekali?

"Kau hanya tinggal bilang 'iya', maka semuanya selesai. Tolong jangan buang percuma waktuku." Aria kembali bersuara memecah hening di antara mereka.

"Selamatkan bisnismu. Jangan dibiarkan jatuh."