Pada akhirnya aku menceritakan semuanya pada Lana.
Mulai dari pertemuan pertama kami saat Ia menyelamatkanku hingga saat Ia menciumku di rumahnya. Tapi aku tidak menceritakan semuanya di restauran, sebagian kuceritakan saat kami sudah pulang.
Lana membantuku mengeringkan rambutku saat aku memakai make up. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum Mr. Shaw menjemputku.
"Aku bersumpah Nicholas Shaw benar-benar menyukaimu, Ella." Lana memandangku dari cermin kamarku sambil mengeringkan rambutku.
"Ia sudah punya pacar, Lana." gumamku dengan sedikit kesal. Namanya Alice, dan Ia sangat sangat cantik. Mengingat bagaimana mereka dua berbicara siang itu membuatku sedikit cemburu.
"Mungkin perempuan itu bukan pacarnya. Kenapa kau tidak bertanya langsung padanya?"
"Karena aku belum segila itu? Mr. Shaw hanya—" Hanya apa, Ella? Pikirku sendiri dengan kesal. "Hanya klien."
"Oh ya? Apa kau mencium semua klienmu?"
Wajahku sedikit memerah mendengar pertanyaannya. "Lana!"
Lana mematikan hairdryernya saat rambutku sudah kering. "Apa yang akan kau pakai malam ini?" tanyanya sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar kamarku, kedua matanya berhenti di tempat tidurku.
"Kau akan memakai itu?" tunjuknya sambil mengerutkan hidungnya.
Aku sudah menyiapkan pakaianku di atas tempat tidurku. Pencil skirt berwarna hitam dan blus hijau berbahan siffon.
"Kami hanya akan makan malam." jawabku sambil mengangkat bahu.
Ia membalasku dengan memutar kedua bola matanya, "Kau pikir Nicholas Shaw mengajak semua karyawannya makan malam setiap Ia ingin berterimakasih? Aku punya sesuatu di lemariku yang cocok untukmu." Ia menarik tanganku agar aku berdiri lalu mengajakku ke kamarnya.
Kamar kami berukuran sama besarnya, hanya saja kamar Lana lebih berantakan daripada kamarku. Ia berdiri di depan lemari besarnya lalu membuka pintunya. Deretan gaun di gantung di sebagian besar lemarinya.
"Lana... ini benar-benar tidak perlu." Protesku sambil menjatuhkan tubuhku di tempat tidurnya.
"Ini benar-benar perlu, Ella. Untuk pria sekelas Nicholas Shaw kau harus menyiapkan amunisi terbaikmu." Jawabnya tanpa menoleh ke arahku, tangannya masih sibuk memilah-milah deretan gaunnya.
Aku hanya mendengus mendengar jawabannya.
"Ini! Kurasa gaun ini cocok untukmu, aku hanya pernah memakainya sekali." Lana mengambil sebuah gaun berbahan beludru berwarna maroon. Panjang gaun itu hanya sampai beberapa senti di atas lutut, dan Lana benar, entah kenapa aku juga menyukainya. Mungkin karena desainnya yang simpel tapi tetap terlihat elegan. Kucoba menempelkan gaun itu di depan cermin sambil menatap siluetku.
"Waktumu hanya tinggal 20 menit lagi, Ella. Dan kau masih belum selesai memakai make up." Gerutunya sambil berjalan ke meja tempat make upnya berada. "Duduk disini."
"Okay, okay..." aku berdiri dari tempat tidurnya lalu berjalan ke tempat duduk yang berada di depan meja riasnya.
Lana lebih berpengalaman dariku soal make up, Ia menyelesaikan make upku hanya dalam waktu 10 menit. Dan well, harus kuakui Ia melakukannya lebih baik dariku. Lipstik yang kupakai hanya beberapa shade lebih terang dari warna maroon gaun yang akan kupakai, sedangkan sisanya lebih ke arah natural. Lana memberikan eyeshadow berwarna coklat natural hingga membuat mataku yang berwarna amber lebih mencolok.
"Whoa... wajahku terlihat berbeda." gumamku di depan cermin.
Lana melipat kedua tangannya di dadanya sambil menatap wajahku dengan bangga, "Kau terlihat sama cantiknya dengan atau tanpa make up, Ella." Ia menutup kotak make upnya lalu menyodorkan gaunnya padaku, "Aku akan berjaga dan kau ganti. Jangan lama-lama, okay?"
"Ya, Ma'am." Tapi Lana sudah keluar dari kamarnya sebelum mendengar jawabanku. Aku mengganti bajuku dengan gaun Lana sambil menatap pantulanku di cermin. Ukuran bajuku dan Lana hampir sama, hanya saja aku sedikit lebih berisi darinya. Untungnya gaun ini menempel tubuhku dengan sempurna. Kedua tanganku menyusuri bahan beludrunya yang sangat lembut dari pinggangku hingga ke pinggulku. Aku masih terpana sendiri memandang pantulanku di cermin. Malam ini kubiarkan rambut auburnku yang sedikit bergelombang terurai menutupi bahuku yang terbuka.
Samar-samar aku mendengar suara Lana sedang berbicara dengan seseorang. Ia sudah disini?
Aku memandang jam di kamar Lana yang menunjukkan pukul 7 tepat. Sepertinya Nicholas Shaw tidak pernah terlambat.
Kupakai heelsku lalu mengambil tas kecil yang sudah diletakkan di dekat pintu oleh Lana sebelumnya. Kutarik nafasku dalam-dalam sebelum membuka pintu kamar Lana, lalu aku berjalan keluar.
Nicholas masih berdiri di dekat pintu apartemen kami yang terbuka, Ia sedang mengobrol dengan Lana, sesekali tersenyum padanya. Rahangnya yang tadi siang sedikit ditumbuhi bakal janggut kini sudah dicukur bersih. Ia mengenakan kemeja putih dan celana jeans, ini pertama kalinya aku melihatnya memakai jeans. Salah satu tangannya membawa jas hitamnya.
Ini pertama kalinya juga aku melihat rambut coklat gelapnya yang tidak serapi biasanya, Ia tidak menyisir rambutnya ke belakang, tapi membiarkannya jatuh natural dan sedikit berantakan. Aku lebih menyukainya yang seperti ini, lebih santai dan tidak sekaku biasanya.
Uh-oh. Aku menunduk melihat gaun yang kukenakan lalu kembali memandangnya. Apa aku terlalu berlebihan?
Untuk sesaat aku berpikir untuk kembali ke kamar Lana dan mengganti gaunku dengan celana jeans dan blus. Tapi rencanaku gagal saat Ia menoleh ke arahku, dan membeku di tempatnya.
"Hey..." sapaku sedikit malu-malu. Nicholas tidak membalasku, kedua mata biru gelapnya terus memandangku tanpa berkedip. Di sebelahnya, Lana sedang tersenyum lebar.
"Apa aku terlihat berlebihan? Aku bisa mengganti bajuku sebentar—"
Akhirnya Ia berkedip perlahan. "Tidak perlu. Kau terlihat... sempurna."
"Oh... okay." Aku mengangguk kecil, lalu kami kembali berpandangan hingga Lana akhirnya berdeham untuk memecah keheningan.
"Selamat bersenang-senang." Kata Lana masih dengan senyum lebarnya.
Aku berjalan mendekati mereka, lalu tiba-tiba Mr. Shaw mengulurkan tangannya padaku. "Kau sudah siap?" tanyanya dengan suara baritonnya yang rendah. Suaranya membuat lutuku sedikit lemas.
Aku hanya mengangguk padanya sebelum mengambil tangannya. "Aku akan mengembalikan Miss Heather tiga jam lagi, Miss Morrel."
"Okay, kau boleh mengembalikannya kapan saja." jawab Lana, tapi kedua matanya memandang tangan kami sebelum akhirnya memandangku dengan pandangan yang seakan-akan berkata 'apa kubilang... Ia menyukaimu!' Lana hanya mengantar kami hingga ke depan pintu apartemen.
Keheningan kembali menyelimuti saat kami berjalan keluar apartemen. Aku tidak pernah menyadari tangan Mr. Shaw sebesar ini, tangannya menggenggam tanganku dengan mudah. Rasa hangatnya menjalari tubuhku, membuat perutku seperti dipenuhi kupu-kupu yang sedang terbang bersamaan. Dasar kupu-kupu sialan.
Bau aftershave dan parfum mahalnya samar-samar tercium darinya, aku tidak tahu banyak tentang parfum pria, tapi aku menyukai bau parfum Mr. Shaw. Tidak seperti parfum Oliver atau pria-pria lain yang biasanya berbau sedikit tajam.
Kami berjalan menuju basement apartemenku. Sesaat aku berpikir Eric beserta SUV nya sedang menunggu kami di basement, tapi dugaanku salah saat Mr. Shaw membawaku ke depan sebuah mobil sedan hitam yang sedang diparkir. Aku harus berkedip beberapa kali saat menyadari mobil apa yang dikendarai Mr. Shaw adalah Maserati.
Ia membukakan pintu mobilnya untukku lalu membantuku masuk. Aku belum pernah naik Maserati sebelumnya. Aku bahkan belum pernah menyentuh Maserati sebelumnya. Saat aku mengecek platnya tadi, nomornya adalah nomor plat Manhattan. Kupikir Ia menggunakan pesawat ke San Francisco. Apa Ia mengemudi sendiri dari Manhattan?
Salah satu tanganku menyusuri sisi tempat dudukku yang terasa sangat lembut, aku berani bertaruh interior mobil ini menggunakan kulit asli. Mr. Shaw masuk ke sebelahku lalu mengemudikan mobilnya, ini adalah pertama kalinya aku melihatnya mengemudi sendiri.
"Kau mengemudi sendiri dari Manhattan?" tanyaku tanpa bisa kucegah. Ia melirik ke arahku lalu kembali memandang jalanan di depan. "Tidak, aku menggunakan pesawat. Ini mobil Greg."
Oh.
"Ia ada di San Francisco... juga?"
"Yeah, Ia lebih dulu sampai dua hari yang lalu." Balas Mr. Shaw sambil memandangku lewat cermin spion. Aku baru menyadari kami menuju bagian barat San Francisco, setahuku bagian ini adalah tempat perumahan mewah yang terletak di atas bukit dan hutan kecil. Forest Hill.
Lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah rumah, atau villa, yang berada di bagian puncak Forest Hill. Rumah ini adalah satu-satunya bangunan di sini, tetangga terdekat lain berada satu kilometer dari sini. Dan seperti rumah-rumah lain yang sebelumnya kami lewati, tempat ini sangat luar biasa... mewah. Arsitektur modern mewakili setiap senti rumah ini, dengan dominasi jendela kaca yang sangat besar. Aku membayangkan berapa orang dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengelap jendela-jendela kaca itu.
Mr. Shaw menghentikan mobilnya di halaman yang sangat luas. Dua mobil lainnya diparkir di sebelah kami. Satunya Porsche hitam dengan strip berwarna putih di tengahnya, dan lainnya Bugatti berwarna merah. Jika ketiganya berdampingan seperti ini mungkin orang lain yang melihat akan mengira tempat ini adalah showroom mobil mewah.
Kupikir Ia mengajakku makan malam berdua, tapi sepertinya kami akan makan malam bersama orang lain. Mr. Shaw mematikan mesin mobilnya, tapi kedua tangannya masih memegang kemudi mobil. Walaupun sedikit gelap, tapi masih ada cahaya dari lampu taman masuk ke dalam mobil sehingga aku masih bisa melihatnya dengan jelas.
Pandangannya tertuju lurus ke depan, tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Melihatnya sedekat ini, tanganku sedikit gatal ingin menyentuh rambutnya yang sedikit berantakan.
"Eleanor, ada hal yang ingin kutanyakan langsung padamu." Gumamnya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arahnya dengan otomatis. "Oh... Apa?"
"Apa kau menyukai Greg?" suaranya sedikit berubah dari sebelumnya. "Aku hanya ingin memastikannya."
Memastikan? Aku memandangnya dengan sedikit terkejut. "Aku... tidak terlalu mengenal Mr. Gregory Shaw." Jawabku dengan jujur, "Walaupun Ia sedikit terasa familiar, mungkin aku pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi tidak, aku tidak menyukainya—maksudku, aku tidak menyukainya dalam konteks itu. Aku hanya menganggapnya sebagai bos klienku. Bos mantan klienku." Kututup mulutku saat kalimatku mulai berantakan.
Ekspresi di wajahnya sedikit melembut. "Bagaimana denganku?" suara baritonnya sedikit berbisik, membuat perutku terasa seperti agar-agar. Kedua mata birunya yang gelap memandangku dengan tatapan intensnya. Ia menarik salah satu sudut mulutnya sedikit ke atas setelah melihat ekspresi gugupku. TIba-tiba aku ingin menyusuri rahangnya yang sedikit arogan itu dengan jari-jariku.
"Well, kau adalah..." aku bisa merasakan atmosfir di antara kami yang berubah drastis, seakan-akan ada getaran listrik yang tidak terlihat di antara kami saat ini. Kedua matanya masih mengunci pandanganku.
"Kau adalah..." tanpa kusadari suaraku berubah menjadi sedikit serak. Aku tidak perlu melanjutkan kalimatku karena detik berikutnya Mr. Shaw mencondongkan tubuhnya ke arahku, tangan kanannya menyusupi rambutku lalu menangkup belakang leherku. Wajah kami kini hanya berjarak beberapa senti, nafasnya yang berbau mint berhembus di pipiku.
"Aku akan melakukan apa saja saat ini agar bisa menciummu." Bisiknya dengan suara yang sedikit tertahan. Sesaat Ia hanya memandang wajahku, ada sesuatu di dalam matanya yang membuatku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya dan membuat jantungku berdebar tidak beraturan di dalam rongga dadaku.
Detik itu juga aku menyadari, aku jatuh cinta pada Nicholas Shaw.
Sebelum aku sempat menyangkal pikiranku sendiri wajahnya semakin mendekat padaku, lalu perlahan Ia menciumku.
Bibirnya yang lembut dan sedikit basah membuat otakku berubah menjadi jelly. Aku tidak bisa memikirkan apapun setelah itu, aku bahkan tidak bisa mengingat namaku sendiri.
Aku bisa merasakandebaran jantungnya yang tidak beraturan lewat kedua tanganku yang berada di dadanya. Salah satu tangan Mr. Shaw menangkup wajahku, sedangkan tangannya yang lain berada di belakang leherku. Ibu jarinya mengelus lembut tulang pipiku saat Ia menciumku, seluruh tempat dimana jari-jarinya menyentuh kulitku menjadi lebih sensitif dari sebelumnya. Perlahan nafasku berubah semakin berat.
"Gawat." bisiknya di telingaku, nafasnya yang hangat menggelitikku setelah aku menarik diriku untuk mengambil nafas.
"Ada apa?" Tanyaku sedikit bingung dengan nafas sedikit terengah. Aku bisa merasakannya tersenyum saat mendengarku.
"Kau sangat, sangat berbahaya untukku." Lalu Nicholas menciumku lagi, kali ini tidak selama sebelumnya. Ia menarik dirinya dariku lalu memandangku dengan kedua matanya yang berkilat dalam kegelapan. Tangan kanannya menyelipkan sejumput rambutku ke belakang telingaku dengan lembut, "Kau terlihat sangat cantik malam ini, Eleanor. Aku ingin membawamu pulang dan menyembunyikanmu dari semua orang. Menyimpanmu untuk diriku sendiri."
Kupejamkan kedua mataku saat jari-jarinya menyusuri wajahku dengan sangat perlahan, lalu turun ke rahangku. Ia menghela nafasnya sebelum menarik tangannya dariku, seakan-akan Ia menyesal harus berhenti. "Kurasa kita sudah ditunggu."