webnovel

UNFORGIVEN BOY

Bertemu dengannya adalah anugerah, karena dia menunjukkan ku sisi lain dunia yang tak pernah ku lihat. Mengenalnya adalah kebahagiaan, karena dia memberi ku warna lain dalam hidup yang tak pernah ku tahu.... Bersamanya adalah mimpi, karena dia membuatku seolah menjadi gadis sempurna di balik semua kekurangan yang aku punya. Aku, bukanlah gadis cantik yang sempurna. Aku adalah gadis buruk rupa yang sering disebut sebagai anak singa. Namun begitu, andai takdir bisa diulang kembali, maka aku tak ingin bertemu dengannya, aku tak ingin mengenalnya, dan aku tak ingin bersamanya. Karena, terlalu banyak hal yang hilang tak bersisa, semenjak ada dia. Dia, adalah seorang lelaki, yang sampai kapanpun tak akan pernah ku lupa. Dia, adalah seorang lelaki yang sampai kapanpun tak akan pernah ku maafkan, dia, ya dia.

PrincesAuntum · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
160 Chs

Ricky's Family {2}

Ini salah... seharusnya, bukan seperti ini.

Kenapa dia masih saja tidak mau mengerti. Terlebih... tidak mau mendengarkan penjelasanku. Aku sudah tak sendiri, aku sudah memiliki Ricky. Tapi kenapa? Apakah dia juga sama seperti Ricky? Jenis laki-laki sempurna yang bosan dengan kehidupannya. Kemudian menjadikanku yang buruk rupa menjadi salah satu mainan baru mereka?

"Lo ngelamunin apa?" setengah melompat kutoleh sumber suara. Suara yang dari tadi selalu kucoba hindari. Tapi nyatanya, aku malah bertemu dengannya. Ya... suara Ricky.

"Gue... gue—"

"Nonton pertandingan yuk!" ajaknya. Berjalan mendahuluiku membuatku terpaksa mengekori langkah-langkah besarnya.

Dia duduk, di bangku yang tak jauh dari kami berdiri tadi. Kemudian aku duduk di sampingnya.

"Kemarin lo sakit?"

Aku hanya mengangguk, dia tersenyum saja sampai lesung pipinya tampak nyata. Kemudian dia menunduk seolah memikirkan sesuatu.

"Gue dikasih tahu Genta." ucapnya lagi. Seolah dia kecewa, karena aku tak memberitahunya.

"Maaf... gue lupa ngabarin elo."

"Gue pikir lo beneran kena rabies karena gue."

"Enggak kok... gue demam biasa!" seketika kututup mulutku. Wajahku kembali memerah membahas masalah itu. Masalah... ciuman hari minggu itu.

"Hahaha... elo itu lucu, ya?"

"Apa?" tanyaku tak mengerti. Dia menggeleng, kemudian merogoh saku celananya.

"Bentar... Mama telfon." katanya.

Aku mengangguk melihat Ricky menjauh. Berbincang riang dengan Mamanya. Aku merasa... jika Ricky begitu dekat dengan Mamanya. Padahal aku pikir, dia cowok badung yang tidak akan perduli dengan orang tua. Tapi nyatanya... aku salah.

"Oke, Mama... i love you too." setelah mengatakan hal itu dia duduk lagi di sampingku, kemudian dia tersenyum lagi. Entah kenapa... Ricky sekarang lebih banyak tersenyum. Beda seperti dulu. Aku juga tak tahu, kenapa hari ini dia memilih untuk bersamaku. Bukan bersama teman-teman badungnya yang sudah duduk di ujung sana. Sambil bersiul-siul menggoda siswi-siswi yang lewat.

"Elo dapet ucapan dari Mama."

"Beneran?"

"Iya... bentar deh." Dia membuka kembali ponselnya, kemudian diputar sebuah vidio yang ada di sana.

Ada seorang wanita cantik di dalam rekaman itu... sangat cantik. Bahkan, aku merasa seperti tempelan debu bila disandingkan dengan wanita itu. Apakah itu Mamanya Ricky? Pantas saja putranya setampan ini.

"Hay Nilam sayang! Selamat ulang tahun ya, sayang. Hari ini Ricky bantuin Tante bikin kue lho! Katanya sih kue buat kamu! Tapi Tante larang deh, takutnya nanti kue buatan Ricky bikin kamu sakit perut. Dia'kan tidak bisa masak... masak air saja gosong!" aku dan Ricky tertawa mendengar ucapan wanita itu dengan begitu ekspresif dan lucu.

"Nanti kamu harus main ke sini lagi lho! Tante kangen sama kamu. Kangen belanja sama kamu dan ngerumpi! Kamu tahu, kan... dua anak Tante ini menyebalkan semuanya. Apalagi nih Ricky... kerjaannya tiap hari tawuran saja. Nanti... kalau tawuran lagi, kamu harus jewer dia. Kalau perlu... putusin dia biar dia depresi oke! Ya sudah... kamu pasti sibuk, kan? Tante sapa lagi lain waktu ya... i love you Nilam sayang!"

'Lagi' entahlah. Ucapan Mama Ricky mengapa seolah kami ini sudah kenal lama... sudah saling mengenal sebelumnya. Padahal... aku yakin jika hari ini adalah kali pertama aku melihat wajahnya. Di vidio Ricky.

"Anak-anak? Jadi elo punya saudara?" tanyaku. Ricky mengangguk, mengutak-atik ponselnya lagi. Kemudian menunjukkan sebuah foto yang membuatku terkejut.

"Adik... kami saudara kembar. Namanya Raka."

"Raka?" tanyaku seolah mengulang ucapannya. Di sebuah foto yang diambil secara profesional itu. Ada dua cowok memakai kemeja dengan wajah yang nyaris sama. Aku tahu, kembar pasti identik dengan kesamaan di wajah. Akan tetapi... aku tak pernah menyangka jika Ricky punya saudara kembar. Terlebih... saudaranya pun tidak bersekolah di sini.

"Lo tahu mana gue?" tanyanya. Kutunjuk cowok yang tengah memeluk cowok lainnya dengan senyuman manis itu.

"Ini, kan? Yang pakai kemeja abu-abu tua?" tebakku. Dia mengangguk kemudian tersenyum lagi.

"Dari mana lo tahu?"

"Lesung pipi lo... Raka nggak punya itu." dia menunduk, senyumnya masih terukir sama. Jujur... selain lesung pipi masih ada beberapa hal perbedaan antara Ricky dan Raka. Bentuk wajah pun yang lainnya.

"Dia beda kayak gue... cuma wajah saja yang sama. Raka cowok yang manis, pintar dan pendiam. Nggak kayak gue yang selalu jadi preman."

"Lalu... sekarang dia di mana? Kenapa nggak Sekolah sama elo?"

"Dia?" lama dia tak melanjutkan ucapannya. Dan itu berhasil membuatku takut. Apa dia marah dengan pertanyaanku? "Dia ada... sama Mama. Sementara gue di sini sama Papa."

"Maaf." sesalku. Seharusnya... aku tak bertanya seperti itu. Pasti Ricky sangat sedih. Karena pertanyaanku membuatnya mengingat luka peripasahan antara kedua orangtuanya.

"Sepatu itu lucu, ya..." katanya mengabaikan permintaan maafku sebelumnya, "mereka hanya memiliki satu pasangan yang cocok untuk bisa digunakan. Gue harap kita bisa seperti itu."

"Lo berharap seperti itu?"

"Iya... sekarang elo seneng, nggak?"

"Seneng kenapa?"

"Gue gombalin."

"Oh... jadi itu cuma gombal?"

"Kan biasanya cewek suka digombalin."

"Oh...." jawabku lagi. Bingung harus menjawab seperti apa. Padahal... aku pikir, dia serius saat mengatakan itu. Padahal... jantungku sudah berdetak tak karuan ketika mendengarnya.

"Elo nggak suka?"

"Suka kok!"

"Yaudah gue ganti. Ini serius."

"Apa?"

"Lo itu kayak rumput di halaman Sekolah."

"Kok bisa?"

"Kalau dilihat bikin adem," aku menunduk, malu. Aku sebanarnya tidak mengerti. Tapi aku cukup tahu jika dia sedang berusaha untuk sok romantis.

"Sudah romantis belum?"

"Iya... sudah."

"Elo suka?"

"Suka."

"Gue ke toilet bentar ya." pamitnya.

Sebenarnya... percakapan kami ini apa? Aku sama sekali tak tahu. Jenis percakapan garing yang tidak bermutu. Lalu... tujuannya apa? Meski jujur... aku tersipu-sipu mendengarnya.

"Elo deket ama Ricky?" aku mendongak. Penuh peluh Arya datang ke arahku, kemudian menarik tanganku sampai aku pun berdiri.

"Dia cowok gue." ada kilat marah di matanya, seolah dia benar-benar tidak suka.

"Jangan dia, Nilam. Dia itu pembunuh!" lagi... aku mendengar kata-kata itu. Lagi... tubuhku mengigil kedinginan karena kata-kata itu.

"Gue nggak percaya."

"Dia itu pembunuh! Dia perusak hubungan orang!"

BUUKKK!!!

Aku memekik ketakutan saat Arya tersungkur akibat pukulan Ricky. Dengan tatapan dingin Ricky memandangku kemudian menarik tanganku agar aku ada di belakangnya.

"Nilam bukan dia! Nilam milik gue! Inget lo!" katanya dingin dengan penuh penekanan. Perlahan Arya berdiri, keduanya saling pandang satu sama lain dan hal tersebut berhasil membuat anak-anak yang ada di lapangan memburu kami.

"Gue nggak akan biarin lo nyakitin dia, Rick!"

"Sekali lagi lo sentuh cewek gue. Tamat riwayat lo!"

Ricky langsung menarikku pergi dari tempat itu. Tanpa menghiraukan teriakan teman-teman badungnya. Setelah jauh dari tempat itu, dia melepaskan genggamannya dengan kasar. Tatapannya masih sama, begitu dingin dan terasa menyakitkan.

"Rick... gue—"

Dia berjalan mendekat, sampai tubuh kami sejajar. Pelan... dia mendekatkan mulutnya di telingaku kemudian berbisik; "Hal yang paling gue benci di Dunia ini adalah... saat milik gue disentuh cowok lain."

Aku hanya bisa memandangnya pergi, dan menghilang begitu saja di balik koridor Sekolah. Lagi... aku merasa mengulang semuanya dari awal. Lagi... Ricky kembali seperti saat pertama kali kami bertemu.