"Aaah! Sayang, jangan gitu dong. Tangannya jangan ke mana-mana. Malu. Di sini ada Vika."
"Ehm ... nggak apa-apa, Ni. Vika kan udah gede. Ngapain juga malu."
"I-iya, emang udah gede. Tapi, kan--- aaah!"
Demi para alien tampan di drama Korea, Vika berusaha untuk tetap waras dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya. Berusaha untuk mencegah bulir-bulir keringatnya semakin bercucuran sementara dirinya tidak sedang berolahraga saat itu.
Astaga!
Vika sedang duduk manis di satu kursi plastik. Dengan majalah yang membuka di pangkuannya. Wajah cewek itu menunduk. Tidak toleh kanan ataupun toleh kiri. Tapi, tetap saja imajinasi itu langsung berkembang dengan baik di benaknya.
"Sayang, aku bilang kan tangannya jangan ke mana-mana."
Vika tidak membaca tulisan di majalah itu. Matanya memejam dengan rapat. Dan ia merutuk di dalam hati.
'Kenapa Tuhan nggak buat telinga pake penutupnya juga sih?'
Karena jujur saja, desahan dan suara-suara manja yang menggema dari tadi, membuat Vika tersiksa lahir dan batin!
"Tapi, kok tangannya udah masuk aja sih? A-a-aduh. Cubitnya pelan-pelan aja dong. Lecet di puting aku baru mau sembuh!"
"Sreeet!"
Desahan dan suara manja itu sontak berhenti. Tergantikan oleh kesiap kaget ketika kursi yang diduduki oleh Vika bergeser dengan tiba-tiba. Hingga menimbulkan suara yang lumayan kuat.
Vika mendehem. Mengerjap sekali melihat pada Aini yang duduk di pangkuan pacarnya yang bernama Norman itu. Dengan tangan cowok itu yang sudah menyusup masuk ke dalam kaus yang Aini kenakan. Hingga membuat Vika melihat dengan jelas bagaimana ukuran payudara Aini mendadak dua kali lipat besarnya. Nahas, hanya satu yang membesar.
Tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata, Vika tau dengan pasti apa yang membuat payudara Aini terlihat besar. Tentunya itu adalah karena tangan Norman sedang mendarat di sana. Oh, astaga!
Vika meneguk ludah. Wajahnya tampak pucat. Antara karena belum makan atau karena syok. Tak percaya bahwa ada orang waras yang tetap bermesraan sementara ada orang ketiga yang bisa menjadi penonton mereka.
"Ni," kata Vika seraya menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha tetap tenang dengan senyum kaku di wajahnya. "A-aku pikir aku nggak jadi deh tinggal bareng kamu."
Aini mengerjapkan matanya. Ia sedikit beringsut di pangkuan Norman seraya menarik tangan cowok itu keluar dari pakaiannya.
"Loh? Kenapa?" tanya Aini. "Ehm ... apa ini gara-gara kami mesraan gini ya?"
Menanyakan itu, Aini memberikan lirikan tajam pada Norman. Pacarnya itu tampak mesem-mesem. Tapi, yang paling membuat Vika tak berdaya adalah fakta di mana Aini dengan teramat santainya memperbaiki letak payudaranya di dalam sana. Yang Vika jamin seratus persen pasti sudah tidak berada di dalam mangkuk branya lagi.
'Ya Tuhan. Mengapa cobaan hidup hamba bisa aneka warna kayak gini sih? Merah, kuning, hijau. Di langit yang biru?'
Hanya saja, Vika tidak akan mempermalukan dirinya lebih lanjut. Jadi ia menjawab pertanyaan Aini dengan gelengan kepalanya.
"N-nggak kok. Masa cuma karena kalian mesraan? Ha ha ha ha. Kayak aku yang bocah kemaren sore aja. Lihat orang pacaran mah udah biasa. Bahkan lihat cowok fitting kondom aja aku udah pernah."
Mata Aini membesar. Norman sontak menutup selangkangannya.
"Yang bener?" tanya Aini kaget.
"Nggak bener dong," jawab Vika tertawa. Tapi, sungguh. Ia amat tersiksa. "Aku nggak pernah lihat cowok fitting kondom. Cuma ... aku kepikiran kalau aku ada temen gitu. Dan rumahnya lebih dekat ke klub ketimbang kontrakan kamu. Ehm ... gimana ya? Aku kan harus hemat bensin."
"Aaah."
Aini manggut-manggut mendengar penjelasan Vika. Pada saat itu, Vika tidak akan memperlama penderitaannya. Ia pun langsung menyambar tas ranselnya dari atas lantai.
"Oke, Ni. Jadi kalau gitu ... aku pergi ya? Sampe ketemu ntar malam," kata Vika cepat. "S-semoga hari kalian menyenangkan. Dan ... jangan lupa kondom. Kalian nggak mau kan punya anak sementara kalian belum siap secara finansial? Karena bukannya apa, tapi lebih baik punya anak pas ada tabungan duit ketimbang punya anak pas nggak ada duit kan?"
Aini dan Norman sama-sama bengong mendengar perkataan Vika. Terlebih lagi karena setelahnya Vika pergi dari kontrakan Aini dengan langkah begitu enteng. Seperti tidak pernah mengatakan apa-apa sebelumnya.
"I-itu pasti karena dia tanpa sadar udah stres sama keadaan keluarganya," kata Aini dengan lirih. "Harus nanggung semua biaya hidup keluarga sementara orang tuanya justru sering buat masalah."
Norman meneguk ludah. Menarik tangannya yang ternyata masih berada di atas selangkangannya. Lalu ia melihat pada Aini.
"Tenang," kata Norman dengan simpatik. "Aku ada kondom kok."
*
"Argh! Kenapa hidup aku kayak gini, Tuhan?! Kenapa? Kenapa?"
Duduk di satu trotoar, Vika yang mencak-mencak sukses membuat para pejalan kaki ketakutan. Beberapa dari mereka menilai Vika dan di antaranya ada yang sudah mengeluarkan ponsel.
"Ssst. Itu orang gila?"
"Apa kita telepon petugas RSJ aja ya? Khawatir ada pasiennya yang kabur."
Vika langsung menoleh dengan tiba-tiba. Matanya tampak menyala berapi-api. Melotot.
"Yang gila siapa hah? Mana ada orang gila yang punya motor?"
Mereka melihat pada motor butut bewarna merah yang terparkir di dekat Vika. Lalu mereka hanya tersenyum kaku.
"Oh, iya iya."
"M-maaf, Mbak."
Vika tidak membalas permintaan maaf itu. Alih-alih ia hanya menggerutu sendirian. Membuat para pejalan kaki itu kembali bimbang. Gila atau tidak ya? Ehm ....
Karena di hari yang penuh dengan cobaan itu, Vika tidak pernah berharap ada tudingan yang mengatakan dirinya gila menjadi salah satu penderitaan selanjutnya. Ia sudah teramat lelah.
"Dari ribut sama Pak Jarot, Mama, dan Papa. Eh ... aku malah dikasih siaran langsung dua sejoli yang sedang kasmaran. Dan sekarang aku malah dibilang orang gila? Aaargh!"
Vika menggeram. Meremas rambutnya dengan begitu kuat. Kali ini ia tak peduli lagi. Bahkan kalau memang ada petugas Rumah Sakit Jiwa yang akan menangkapnya, ia pasrah.
"Nggak apa-apa deh. Tinggal di RSJ juga bagus kok. Bisa makan gratis juga. Apalagi katanya makanan di sana enak dan terjamin gizinya."
Namun, ketika perkataan itu meluncur dari bibirnya, Vika sontak meringis pilu. Walau tanpa ada air mata tentunya. Di atas lutut, ia kemudian membenamkan wajahnya.
"Nasib kamu kok gini amat, Vik? Nggak kere, eh ... gila. Apa cuma dua kata itu yang Tuhan takdirkan untuk kamu? Kere atau gila? Nggak ada kata kaya atau bahagia gitu?"
Miris. Tapi, beberapa pejalan kaki yang mendengar gerutuan Vika justru merasa geli. Hanya saja mereka menjaga sikap. Jangan sampai benar-benar tertawa. Karena mereka belum sepenuhnya yakin kalau Vika bukan orang gila sungguhan.
"Kere atau gila? Nggak ada pilihan yang lebih ngenes lagi gitu? Kere gila kan?"
Ringisan Vika semakin menjadi-jadi. Kata kere dan gila pun terus-menerus meluncur dari bibirnya. Hingga pada satu ketika ia tersentak dengan tiba-tiba.
Pejalan kaki yang masih memerhatikan Vika dari kejauhan, kaget. Melihat bagaimana rambut Vika yang acak-acakan tampak mengembang. Wajah cewek itu membeku. Terdiam tanpa ekspresi untuk beberapa saat.
"Kere gila?"
Mata Vika mengerjap sekali. Lalu dua kali. Lalu tiga kali. Lalu ia meneguk ludah. Karena ada satu suara yang entah mengapa menggema di benaknya.
"Oke deh, Dek Vika. Pikirkan saja dulu. Nanti kalau kerenya sudah hampir membuat Dek Vika gila, langsung saja hubungi saya di nomor yang ada di sana."
Vika buru-buru menutup mulutnya. Tapi, tak urung juga suaranya melirih terdengar.
"Pak Bobon."
Sialnya, di saat ia dicap sebagai orang gila, adalah Bobon yang terlintas di benaknya. Hingga membuat Vika buru-buru membuka dompet di dalam tas ranselnya. Tapi, kartu nama yang ia cari tidak ada.
"Sialan! Udah aku buang."
Vika menggeram. Tapi, ia tidak putus asa. Ada teknologi yang bisa ia pergunakan. Karena kalau berbekal dari penjelasan Bobon, harusnya CV ADAD akan ada di pencarian Google. Dan ternyata memang ada!
Maka Vika tidak berpikir dua kali untuk menambahkan kata Bobon di depan kata CV ADAD tersebut. Dan tadaaa! Senyum di wajah Vika mengembang.
Vika bangkit dari duduknya. Kedua tangan terkembang di udara. Dan ia berseru.
"Pak Bobon! I'm comiiing!"
*
bersambung ....