"Cie ... akhirnya datang juga."
Tak terkira bagaimana merah dan kakunya wajah Vika saat ia datang ke kantor CV ADAD dan Bobon langsung menyambutnya dengan perkataan itu. Malu sih. Tapi, ketika ia ingat bahwa ia tak ada pilihan lain, ya sudah. Vika memutuskan untuk memasang mode malu-maluin saja.
"Ha ha ha ha. Iya, Pak. Soalnya tadi mobil RSJ udah mondar-mandir. Jadi sebelum saya ditangkap, mending saya nemui Bapak aja."
Bobon tergelak. Mengusap sekilas rambutnya yang mengilap klimis dalam warna putih itu, ia lalu menunjuk kursi di depan mejanya.
"Silakan duduk, Dek Vika."
Vika langsung duduk. Menarik napas dan berusaha untuk menenangkan diri sebisanya. Jujur, ia gugup.
"Jadi ... kamu sudah fix mau kerja di sini?" tanya Bobon kemudian. "Jadi santapan hidup vampir?"
Tenggorokan Vika naik turun mendengar pertanyaan kedua yang Bobon layangkan padanya. Dalam hati ia bertanya.
'Nggak ada bahasa yang lebih frontal lagi, Pak?'
Namun, Vika mencoba untuk sedikit saja menjaga sikapnya. Bagaimanapun juga Bobon adalah satu-satunya jalan keluar yang ia miliki sekarang. Jangan sampai ia kehilangan kesempatan yang satu ini. Sungguh walaupun hidup gratis di rumah sakit jiwa terdengar menggiurkan, Vika belum berencana untuk ikut tertawa-tawa tanpa sebab di sana.
"I-iya, Pak. Maka dari itu saya ngubungin Bapak."
Senyum di wajah Bobon melebar seketika. Tampak semringah.
"Baiklah kalau begitu. Kita lihat apa Dek Vika bisa memenuhi syarat untuk kerja di sini."
Ketegangan di wajah Vika hilang seketika. Kali ini tergantikan oleh ekspresi bingung.
"Loh, Pak? Ini belum tentu diterima ya?"
Saat itu Bobon tampak meraih tetikus. Membuat layar komputer yang sempat gelap menjadi terang seketika. Tapi, pertanyaan polos Vika membuat ia kembali memindahkan fokus matanya. Ia melihat pada Vika.
"Ya belum tentu diterima dong, Dek Vika. Namanya saja lowongan pekerjaan. Jadi tentu saja ada seleksinya."
Vika meneguk ludah. "A-ada seleksinya?" tanyanya tak percaya. "Seleksi macam apa, Pak?"
Menyambut pertanyaan itu, Bobon kembali pada komputernya.
"Ada tiga seleksi yang harus Dek Vika lalui. Yang pertama adalah seleksi kesehatan," jawab Bobon. "Karena vampir harus memastikan bahwa darah yang ia konsumsi aman dan menyehatkan."
Mata Vika mengerjap sekali. "A-aman dan menyehatkan?"
"Oh, tentu saja."
Bobon kembali meninggalkan layar komputernya. Melihat pada Vika dengan ekspresi polos.
"Dek Vika tau kan kalau sekarang ini banyak orang yang make narkoba? Itu darah mereka jadi nggak aman buat para vampir. Mereka bisa jadi ketergantungan secara nggak langsung."
Vika melongo. Seperti aplikasi yang eror, ia terdiam untuk beberapa saat. Hanya untuk melirih samar di lima detik berikutnya.
"Oh ...."
"Dan pastinya sebagai santapan hidup vampir, Dek Vika harus punya darah yang sehat. Nggak punya penyakit turunan dan rajin mengonsumsi makan makanan yang bergizi."
"Segitunya, Pak?"
Bobon mengangguk. "Segitunya, Dek Vika. Makanya bayarannya juga nggak main-main."
Sungguh Vika tidak mengira bahwa menjadi makanan simpanan vampir ternyata serumit itu. Tidak sesederhananya yang pernah ia bayangkan. Vika pikir ia hanya perlu mendaftar dan kemudian langsung dihubungkan dengan tuan vampirnya. Tapi, nyatanya tidak semudah itu. Siapa yang menduga bahwa menjadi santapan hidup vampir ada seleksinya?
"Ini baru seleksi pertama, Dek Vika. Kalau lolos seleksi kesehatan, baru lanjut ke seleksi kedua. Yaitu seleksi kebersihan."
Seleksi yang kembali berhasil membuat Vika melongo.
"K-kebersihan, Pak?"
"Tentu saja kebersihan harus masuk kriteria," kata Bobon penuh keyakinan. "Karena zaman sekarang ini banyak orang yang abai dengan kebersihan. Jarang mandi, bau badan, dan ih kadang ada yang punya penyakit kulit. Kamu bayangkan saja. Memangnya ada vampir yang mau gigit leher yang penuh dengan panu?"
Ketika mendengar penjelasan Bobon, sontak saja Vika terbayang wajah Lestari. Lengkap dengan panu dan kurap di pahanya. Astaga. Memang anak durhaka!
"Karena itu kenapa ada seleksi kebersihan, Dek Vika," pungkas Bobon. "Tapi, dua seleksi ini belum begitu menentukan bila dibandingkan dengan seleksi yang ketiga. Alias seleksi terakhir."
Ketika mengatakan itu, wajah Bobon berubah serius. Hingga Vika merasa aura di sekitarnya mendadak saja berubah. Yang tadi terasa biasa-biasa saja, sekarang menjadi mencekam.
Vika meneguk ludah. Kedua tangannya mengepal dengan kuat di atas paha. Ia harus menguatkan diri. Mungkin seleksi yang ketiga ini benar-benar serius dan harus ia antisipasi.
"Apa seleksi ketiga itu, Pak?"
Bobon menatap Vika lekat-lekat. Tak langsung menjawab pertanyaan itu hingga membuat jantung Vika berdebar tak keruan. Hingga kemudian, Bobon pun menjawab.
"Seleksi ..."
Vika menahan napas. Menunggu dengan tubuh tegang.
"... keberuntungan."
Ada beberapa macam seleksi yang sempat melintas di benak Vika. Di antaranya seleksi riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, atau riwayat hidup. Walau jelas yang mungkin sedikit agak berbahaya itu adalah riwayat berkelakuan baik mengingat Vika bukan termasuk cewek yang baik. Tapi, apa?
Vika butuh menarik oksigen sebanyak mungkin. Percuma saja rasa tegang dan penasaran yang sudah ia rasa dari tadi. Ternyata seleksi ketiga adalah seleksi yang paling tidak masuk akal.
"Kok seleksi keberuntungan sih, Pak?"
Kalau Vika merasa bingung dengan seleksi ketiga itu, maka Bobon sebaliknya. Ia justru bingung dengan pertanyaan Vika. Tak mengeri mengapa Vika justru menanyakan hal yang menurutnya sudah amat jelas.
"Ya jelas dong seleksi ketiga adalah seleksi keberuntungan. Karena hasil akhir seleksi ini tetap saja ada di tangan klien saya. Di tangan para vampir itu. Kalau mereka oke dengan kandidat yang ditawarkan, artinya itu lulus. Tapi, kalau mereka nggak oke, artinya nggak lulus."
"Wah!"
Vika terkesiap tak percaya. Ternyata menjadi makanan simpanan vampir benar-benar tidak semudah yang ia perkirakan sebelumnya. Tidak hanya sekadar memberikan leher dan membiarkan taring tajam itu menancap di sana. Tidak. Ternyata lebih rumit lagi.
'Argh! Kalau nggak kepepet duit, ogah juga rasanya ikut seleksi nggak masuk akal kayak gini.'
Bobon yang melihat perubahan ekspresi Vika sepertinya bisa meraba apa yang cewek itu pikirkan. Hingga ia pun merasa perlu untuk menjelaskan lebih jauh.
"Saya tau pasti Dek Vika nggak ngira kalau jadi makanan hidup vampir serumit ini. Tapi, apa boleh buat. Makanan mereka itu darah. Sesuatu yang sangat sensitif dan sulit didapat. Jadi mau nggak mau mereka harus pasang antisipasi yang tinggi. Karena kalau nggak, mereka bakal sengsara selama tujuh purnama."
"Sengsara?"
Bobon mengangguk. "Tujuh purnama itu waktu yang mereka butuhkan untuk menetralkan lagi darah manusia yang masuk ke tubuh mereka. Dan selama itu artinya mereka nggak bisa ngapa-ngapain selain tidur di dalam peti mati."
Mungkin menjadi vampir yang penuh dengan kesempurnaan tidak benar-benar menyenangkan. Setidaknya itu yang Vika bayangkan ketika dirinya harus berada di dalam peti mati selama tujuh bulan demi menentralkan darah yang pernah masuk ke tubuhnya.
"Jadi ... gimana?"
Lamunan Vika buyar. Pertanyaan Bobon menggugah kembali kesadarannya.
"Dengan rangkaian seleksi ini apa Dek Vika tetap mau nyoba melamar jadi santapan hidup vampir?"
Pertanyaan itu sungguh tidak berarti untuk seorang manusia yang sudah tersudut oleh peliknya kertas tagihan. Itu adalah satu-satunya jalan pintas yang paling masuk akal. Toh seperti yang diketahui bersama bahwa darah bisa terus diproduksi. Jadi Vika akan menganggap dirinya tak ubah seperti ibu ASI versi horor.
Vika menguatkan dirinya. Mengangguk.
"Iya, Pak. Saya tetap mau nyoba."
*
bersambung ....