Happy Reading!!!
***
"Altheda!" Alva berteriak histeris ditengah-tengah kerumunan yang masih mematung mencoba mencerna apa yang telah terjadi. Sesaat kemudian mereka mulai berteriak histeris mengikuti teriakan Alva.
Dor ... Suara tembakan kembali terdengar. Para mahasiswa kembali mematung untuk yang kedua kalinya tak berani bergerak sembarangan. Salah-salah, bisa jadi kepala mereka yang menjadi sasaran selanjutnya. "Head shot!" cetus seorang pria muda berpakaian formal yang berdiri tepat dibelakang Arthur.
"Tuan,"
"Tidak berguna!" Suara Arthur menggelegar. Menyentak pria yang baru saja berkata dengan kasar. Rahangnya mengeras, matanya menatap pria itu tajam. "Kau harus bertanggungjawab atas kelalaian ini, Mark," imbuhnya datar.
Para mahasiswa kembali berteriak. Mereka berbondong-bondong berlari memadati pintu keluar aula untuk menyelamatkan diri mereka sendiri. Mereka baru menyadari, jika mereka sedang tidak berada pada tempat yang aman.
Ada penyusup dalam pesta kelulusan angkatan ini. Dan Altheda adalah korbannya, tidak! Bukan Altheda, tetapi seharusnya Arthur yang menjadi korbannya. Namun, Altheda yang memiliki spontanitas yang cekatan malah melindungi dosen favoritnya itu.
Alva berlari ke arah Altheda. Ia mendekap erat tubuh sahabatnya itu dengan penuh kasih. Astaga! Sahabatnya benar-benar terkena peluru senjata yang nyata.
"Bawa Altheda ke rumah sakit sekarang!" titah Arthur kembali membuka suaranya datar.
"Dan aku ingin tahu dalangnya hari ini juga, Mark." Lanjutnya lagi dengan aura yang sangat mencekam.
Mark membopong tubuh Altheda untuk segera dibawa ke rumah sakit. Alva mengikuti Mark yang membawa sahabatnya dari belakang dengan cemas. Dia tidak ingin berpikir negatif, tetapi ayolah. Siapa yang tidak akan berpikir negatif ketika sahabatnya harus terkena tembakan peluru tepat di area jantungnya.
"Lo harus selamat, Ela. Demi gue dan demi masa depan lo, jangan menyia-nyiakan ilmu yang lo kumpulin dengan susah payah selama ini," gumam Alva dengan air mata yang mulai membanjiri pipinya.
***
"Berhenti ganggu gue! Gue muak lihat muka sok polos lo, jauhin gue dan jangan tunjukkan muka lo di hadapan gue lagi."
"Jangan mengikutiku! Kau ... ."
"Apa kau tidak bisa berhenti untuk membuat masalah. Dasar anak tidak tahu diuntung. Dosa apa yang kutanggung sehingga memiliki putri bodoh sepertimu!"
"Lo benar-benar keterlaluan jalang. Berkali-kali gue bilang jangan ganggu adik gue!"
"Jangan ganggu dia. Dasar monster!"
"Menjauh dari kehidupan gue!"
"Ugh ... Aduh kepala gue sakit? Itu ingatan bodoh apa sih! Apa yang terjadi? Tunggu ... Ini dimana?" Kagetnya sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
Ia menelisik setiap sudut, sepertinya Altheda tahu sekarang dia ada di mana? Rumah sakit. Dia yakin sekali, ini pasti ruang rawat di rumah sakit. Dinding ruangan yang berwarna putih dipadukan dengan warna coklat tua, ditambah lagi dengan bau obat-obatan yang menyengat. Tidak salah lagi! Tapi ... Siapa orang yang berbaik hati untuk membawanya pergi ke rumah sakit.
Apa itu Alva? Iya ... Ini semua pasti sahabatnya itu yang melakukannya. Namun, astaga! Dilihat dari sudut manapun semua orang tahu jika ini ruang inap VIP. Lalu siapa yang akan membayar tagihannya. Haa ... Altheda tidak memiliki uang sebanyak itu untuk dihambur-hamburkan hanya sekedar untuk perawatan rumah sakit.
"Kamu sudah bangun?" tanya seorang laki-laki yang baru saja memasuki ruangan di mana Altheda dirawat.
Altheda mengernyitkan alisnya. Siapa pria ini? Apa pria ini dokter? Tapi kenapa dia tidak menggunakan jubah dokternya? "Anda dokter?" tanya Altheda dengan raut wajah bingung.
Laki-laki itu tersentak. Ia menghentikan langkah kakinya, lalu memandangi wajah gadis belia itu dengan kebingungan yang sama.
"Kamu tidak mengingat paman?" Laki-laki itu menunjuk dirinya sendiri. Ia harus memastikan bahwa keponakan kesayangannya ini tidak apa-apa. Jika sampai keponakannya benar-benar lupa ingatan seperti tebakannya, maka keluarga itu akan berurusan langsung dengannya. Tidak peduli keponakannya ini akan berteriak, menangis, atau meraung, yang pasti mereka harus mendapatkan balasannya.
"Tidak ... Lo siapa? Lo bukan dokter?"
"Aku Arya Geraldton, pamanmu-- adik dari ibumu. Bagaimana bisa kamu melupakanku? Kau lupa ingatan yah!" Arya kembali melanjutkan langkah kakinya untuk mendekati Altheda. Tangannya terulur ingin meraih pucuk kepala Altheda, tetapi gadis itu dengan sigap menghindar.
"Tolong, jangan kurang ajar!" hardik Altheda datar. Jelas-jelas pria ini berbohong padanya. Sejak kapan Altheda memiliki paman, apalagi ini adik dari ibunya. Hei ... Ibunya anak tunggal sematawayang, sama sepertinya.
"Jangan pernah coba buat tipu gue om mesum! Ibu gue anak tunggal. Dia enggak punya kakak, apalagi adik. Gue gak akan pernah tertipu sama lo, Tuan!" imbuhnya lagi dengan raut wajah datar.
"Sepertinya mereka membenturkan kepalamu terlalu kuat. Aku benar-benar akan membuat perhitungan dengan mereka, Lea. Para manusia menjijikkan itu harus segera kembali disadarkan!" Arya memutuskan untuk kembali ke rumah keluarga keponakannya-- Azalea Caleste. Dia akan memperingatkan para makhluk astral yang ada di sana untuk tidak main-main dengan keponakannya lagi. "Tunggu di sini! Dan jangan coba untuk lari lagi dari paman!" imbuhnya dengan nada peringatan.
"Lea ... Siapa Lea. Aku Ela!" beo Altheda bingung. Matanya menatap kepergian Arya tanpa berniat menghentikannya. Bagus jika pria sinting yang suka mengaku-ngaku itu pergi. Sekarang dia harus segera menghubungi Alva, agar bisa membantunya menyelesaikan administrasi dan memindahkannya ke ruang inap biasa. Bisa mati kelilit hutang dia jika terus berada di sana.
"Haa ... Dasar orang aneh," keluh Altheda dengan hembusan nafas lelah. Ia memutuskan untuk pergi ke toilet, dirinya ingin pipis. Tidak mungkin dia harus pipis di bangsal ini, bukan.
Dengan susah payah Altheda menurunkan kakinya untuk menyentuh lantai. Kakinya terasa sakit, dan kepalanya berdenyut kencang. Oh astaga! Kenapa rasa sakitnya harus senyata ini. Ia menyesal menjadikan tubuhnya tameng untuk melindungi dosen favoritnya dari tembakan. Seharusnya dia mendorong orang saja kehadapan dosennya, bukannya malah menjadi sok pahlawan begini.
Sekarang, coba lihat seburuk apa keadaannya setelah terkena tembakan malam itu. Tapi tunggu, kenapa sepertinya ada yang aneh di sini? Bukankah dia terkena tembakan di dada bagian belakang? Kenapa jadi kepalanya yang terasa sakit.
"Mau kemana?" Altheda kembali menolehkan kepalanya ke arah pintu. Di sana seorang laki-laki yang masih menggunakan seragam sekolah berdiri menatapnya dengan tatapan sinis.
"Lo siapa lagi anak kecil? Tersesat atau salah ruangan?" tanya Altheda bingung.
Laki-laki itu sedikit tersentak. Ia terkejut karena gadis dihadapannya memanggilnya dengan Lo, gue. Selain itu sejak kapan gadis ini menjadi berani menatapnya seperti ini "Gue tanya lo mau ke mana?"
"Ck ... Lo gak berniat buat ngaku-ngaku jadi adik gue, kan! Kayak pria gila tadi yang ngaku-ngaku jadi paman gue? Sorry to say, gue anak tunggal bunk. Jadi lebih baik lo keluar sekarang, lo salah ruangan."
"Gue harap lo cepat waras, dan gak mengganggunya lagi. Dan tujuan gue ke sini hanya ingin mengingatkan! Berhentilah membuat ulah, itu sangat menjijikkan. Sampai kapanpun gue gak akan pernah tertarik sama lo Azalea!" Altheda mengernyitkan dahinya tak mengerti. Juga ucapan anak kecil ini sangat menjijikkan, seolah-olah jika dirinya selalu mengejar-ngejarnya. Astaga, ayolah dia masih waras, oke. Meskipun Altheda jomblo dari lama, tapi dia tidak sampai ditahap seputus-asa itu untuk mengencani seorang remaja SMA. Dia masih waras!
"Lo bercanda yah bocah. Ya ampun, silahkan pintu keluar disebelah sana. Sepertinya lo butuh penanganan psikiater khusus deh," seloroh Altheda diiringi dengan kekehan di akhir kalimatnya.
Setelah itu dia kembali melangkahkan kakinya ke arah toilet, meninggalkan pemuda itu di depan pintu begitu saja. "Ck ... Kenapa gue harus ketemu dengan banyak orang aneh!" gumam Altheda dengan kekesalan yang telah membuncah.
Sedangkan pemuda itu hanya menatap kepergian Altheda dengan raut wajah bingung. Apa mungkin kepala gadis itu terbentur cukup kuat sampai harus menjadi gila. Atau gadis itu lupa ingatan? Tapi sepertinya dia harus lebih percaya, jika gadis itu sedang memainkan triknya untuk membuat dirinya tertarik.
Pemuda itu ingin beranjak pergi meninggalkan ruangan, tetapi suara teriakan dari kamar mandinya harus menghentikan langkahnya dan terpaksa melihat keadaan gadis itu dengan malas.
"Agh ... Apa ini? Apa yang- ? Oh ... Astaga ...! Arghh ... ."
***