webnovel

24

Tahun 1993 ini aku memasuki kelas tiga.

Semua serial televisi favoritku telah ditayangkan kembali. Selain Knight Rider dan Macgyver, Airwolf, dan Time Trax juga mulai mengudara. Aku sudah menonton semuanya, bahkan memiliki koleksi MP4 serial-serial tersebut di tahun 2020.

Tapi menyaksikannya langsung di televisi pada zamannya membuatku lebih puas.

Sementara di luar, setiap hari kusaksikan banyak sekali anak-anak bermain kelereng. Aku ingat pada masa ini terdapat jenis-jenis kelereng, di antaranya kelereng bening, kelereng putih, dan kelereng keramik. Level kemahiran bermain kelereng ditentukan dari jenis-jenis kelereng tersebut.

Yang menyaingi popularitas kelereng adalah SEGA dan Nintendo, konsol permainan sebelum maraknya Playstation dan Xbox. Teman-teman biasa bermain di rumah tetangga yang memiliki SEGA dan Nintendo.

Mereka yang bermusuhan dengan tetanggaku itu terpaksa mencari hiburan di tempat Dingdong, menyiapkan uang logam seratus rupiah untuk setiap sesi. Selain itu juga harus menghadapi risiko menghadapi tukang palak yang terkadang menunggu di tempat dingdong tanpa modal dan hanya mengandalkan postur tubuh untuk meminta paksa uang anak-anak yang mereka anggap culun. Dingdong juga menjadi tempat anak-anak yang bolos sekolah, karena jumlah mall masih sangat sedikit.

Mereka yang lebih berada, pasti memiliki SEGA ataupun Nintendo. Harga mesin-mesin itu memang sangat mahal saat ini. Jangankan mesinnya, kaset-kaset SEGA dan Nintendo sekalipun sudah tergolong mahal.

Dulu aku pun begitu, sepulang sekolah bertandang ke rumah tetanggaku untuk bermain SEGA. Favorit kami adalah Steet Fighter dan Dragon Ball. Tokohnya siapa lagi kalau bukan Ryu atau Songoku, serta untuk sebagian orang non-mainstream akan memilih Bezita. Kini tidak. Aku sama sekali tidak tertarik.

Aku sendiri lebih suka menghabiskan waktu istirahatku jika sedang lelah menulis atau memantau perkembangan pengembangan pesawatku dengan membaca komik-komik Lucky Luke dan Tintin.

Komik-komik yang tergolong mahal pada zaman ini. Hanya orang dewasa yang sudah punya pekerjaan yang bisa membelinya. Dulu Papa dan Mama yang suka membeli, tapi tidak dalam kondisi lengkap semua serial. Mereka kurang punya waktu dan minat untuk melengkapi koleksi.

Persis seperti kehidupan pertamaku, di kelas tiga ini aku mengalami pergantian wali kelas. Bu Neneng, wali kelasku yang simpatik menangani kami selama caturwulan pertama. Ia adalah guru yang sangat kuhormati. Sepanjang masanya mengajar, tidak satu kali pun ia menghina tulisan cakar ayamku. Meskipun aku sendiri menyadari bahwa tulisanku tidak ada bagus-bagusnya.

Sepanjang masaku di sekolah dasar, aku selalu berjuang untuk memperbaiki tulisanku. Amat sulit bagiku menghasilkan tulisan tangan yang rapi. Entah kenapa.

Di saat teman-teman selalu menertawakan tulisanku, Bu Neneng hanya mengingatkan dan memotivasi diriku untuk berusaha lebih keras lagi dalam memperbaiki caraku menulis.

"Kamu bisa lebih baik, tinggal sering-seringlah latihan," kata beliau saat itu.

"Baik Bu," hanya itu yang bisa kukatakan setiap kali Bu Neneng menasihatiku.

Meskipun tulisan tanganku tidak juga membaik setelahnya.

Barangkali ia tahu bahwa tulisan cakar ayam adalah pertanda orang pintar.

Bu Neneng sering sakit, tentunya ia sering menemui dokter. Dari sana mungkin ia melihat tulisan cakar ayam dari resep obat yang ditulis para dokter yang tentu saja merupakan orang-orang pintar.

Perpisahan dengannya sungguh mengharukan bagiku saat ini. Dulu rasanya tidak, karena kami sama sekali belum paham kenapa ia harus diganti. Begitupun dengan saat ini, hanya aku yang memahami betapa mengharukan kepergian dirinya.

Walaupun sekarang tulisanku adalah tulisan terbaik di kelas, dan tidak seorang pun mengejeknya. Tapi aku masih ingat bagaimana dahulu ia membelaku. Aku memang tidak menangis, tapi aku menatapnya penuh haru saat terakhir kalinya ia terlihat di sekolahku.

Tanggal beliau meninggal masih kuingat dengan jelas. Karenanya, sekarang aku memutuskan pergi mengunjungi beliau di rumahnya tiga hari sebelum ia pergi untuk selamanya. Aku membawa buah-buahan, dan diizinkan masuk ke kamarnya. Kugenggam tangannya dan kupanggil namanya dengan pelan.

"Ferre..." ia membuka matanya dan berujar lirih.

"Ya Bu, Ibu bisa tahu bahwa ini saya?"

"Dari awal Ibu sudah tahu, dan Ibu juga tahu bahwa kamu akan datang,"

"Maksud Ibu?"

"Ferre, saya tahu siapa dirimu."