"Anak angkasa 12 nyerang kita!!!" Gacok berteriak di suatu pagi.
"Apa? Ada apa?" tanyaku.
Aku ke luar kelas dan mendapati beberapa anak dari sekolah seberang berkacak pinggang di depan kelas kami. Sedikit-banyak aku ingat kejadian ini. Mereka adalah preman-preman kecil. Lebih tepatnya anak-anak yang ingin menjadi preman. Anak-anak ingusan yang ingin berkuasa.
Sebagai ketua kelas, aku maju.
"Mau apa kalian?" tanyaku.
Mereka saling berpandangan.
"Aku tanya mau apa?"
"Kami... mau lapangan sepakbola ini cuma kami yang boleh main!" kata salah satu di antaranya.
"Kalian tahu Pak Cipto?" tanyaku.
Mereka kembali saling berpandangan.
Pak Cipto adalah lurah yang sangat disegani di kelurahan dekat sekolah kami. Aku tahu anak-anak sekolah Angkasa 12 hampir semuanya tinggal di sana. Pak Cipto sangat dihormati dan mengenal semua warganya. Tidak ada yang berani menentang Pak Cipto.
"Saya kenal dengan Pak Cipto. Gimana kalau nanti pulangnya saya mampir ke rumah Pak Cipto dan melaporkan kalian. Supaya Pak Cipto memanggil orang tua kalian?"
Tidak ada seorang anak pun yang berbicara.
"Tinggal kalian tunggu apa yang akan bapak-bapak kalian lakukan di rumah nanti."
Anak-anak tersebut berkasak-kusuk. Tak lama kemudian mereka mundur dengan sendirinya dengan wajah ketakutan.
Tidak perlu ada pertumpahan darah, bahkan kontak fisik. Aku kembali menjadi pahlawan.
Dan ketika orang-orang menyebutku pahlawan, aku teringat sesuatu. Temanku, yang bernama Pram. Ia adalah anak yang populer, atletis, dan berprestasi. Pram adalah sosok ideal anak-anak pada masa kami.
Ia adalah seorang pahlawan pada masaku.
Aku dan Pram adalah sedikit di antara anak-anak di komplek perumahanku yang orangtuanya tidak menakut-nakuti kami dengan hantu. Oleh karena itu, kami dikenal sebagai pemberani. Tapi ia lebih populer. Pram dua tahun lebih tua dariku. Ia lebih gagah, badannya lebih berisi.
Pada tahun 2001 ia lulus UMPTN dan diterima di ITB, jurusan Teknik Kimia. Namun umurnya hanya sampai sana.
Di malam pengumuman hasil UMPTN, ia merayakan kelulusannya dengan seorang kawannya dengan mengelilingi Bandung menggunakan sepeda motor, tanpa memakai pelindung kepala. Seorang anak sekolah menengah yang baru mendapat mobil dari orangtuanya menabrak motor mereka berdua.
Pram meninggal dunia saat itu juga.
Saat ini ia masih populer. Beberapa kali kami bertemu di undangan pernikahan saat orangtua kami mendatangi pesta tersebut. Momen yang cukup menjadi pengangkat popularitasnya adalah saat ia berhasil mengingat nomor polisi mobil segerombolan pencuri yang beraksi di komplek kami pada suatu siang bolong.
Kejadian dengan anak-anak Angkasa 12 membuatku ketagihan untuk kembali menjadi pahlawan.
Aku mau mengambil popularitas Pram.
Aku cukup ingat hari itu adalah hari Kamis di bulan November 1992. Pertengahan Bulan. Karena aku ingat mendapat kabar itu saat orang-orang membicarakannya usai shalat Jumat.
Siang itu aku menyelinap ke luar rumah. Mbok Jah mengira aku sedang tidur siang. Pencurian itu terjadi di blok sebelah blok rumahku. Tidak lupa kubawa kamera sakuku.
Tepat sekali, sebuah mobil Hi-Jet berwarna putih sedang membongkar kawasan perumahan yang kebanyakan tidak memiliki asisten rumah tangga. Mereka pasti telah lama mengintai tempat itu.
Aku memanggil Pak Kusmana.
Kami mengintip dari jauh, dan menunggu apa yang akan dilakukan orang-orang di mobil itu.
Benarlah adanya, mereka mulai memindahkan barang setelah sebelumnya memecahkan kaca.
Pak Kusmana langsung berteriak menghardik mereka, sementara aku hanya bersembunyi di balik pohon karena sebelumnya aku telah dilarangnya untuk ikut campur. Pak Rusmana memegang pistol yang tersarung di pinggangnya.
Aku tahu pistol itu tidak berisi peluru.
Tapi para pencuri sudah ketakutan, dan kabur.
Pram, seperti sebelumnya, berada di sana. Ia memperhatikan nomor polisi mobil pencuri, dan menghapalkannya.
Tapi tindakannya tidak berarti. Akulah yang memperoleh pujian. Akulah yang menemukan pencuri itu. Terlebih lagi aku telah mengambil gambar nomor polisi mobilnya.
Esoknya pujian mengalir ke arahku. Ibu-ibu dan Bapak-bapak komplek menepuk-nepuk bahu dan mengusap-usap kepalaku. Tidak ada yang mengingat jasa Pram.
Ia terlupakan.
Papa dan Mama terlihat masih menyimpan sisa-sisa rasa cemas mereka atas tindakanku. Aku juga sempat dimarahi karena menyelinap ke luar rumah dan membangkang dari kewajiban tidur siang.
Setelah itu kurenungkan, apa gunanya aku melakukan itu?
Kenapa tidak kuajak Pram bermain saat itu dan memergoki mobil pencuri itu dan memanggil Pak Kusmana bersama-sama?
Apa juga untungnya bagi diriku mengambil popularitasnya Pram?
Pertanyaanku berputar-putar di kepala, dengan sedikit sesal, hingga akhirnya aku tertidur.