"Jadi, mereka tidak peduli dengan kamu? Hanya dengan nilaimu saja?" tanya Illona dengan santainya.
Hugo terdiam. Kemudian ia menatap ke arah Illona. Gadis yang semula menatap ke langit-langit ruangan karena tengah berpikir, kemudian melihat ke arah Hugo karena tidak ada suara.
Keheningan yang diberikan laki-laki itu pun membuat Illona tersadar. Ia tersentak, kemudian berkata, "Ma-maaf, Hugo! Aku ... aku—."
Hugo tertawa melihat Illona yang panik dan tidak bisa menyelesaikan kalimatnya sendiri. "Tidak apa-apa. Lagi pula yang kamu katakan itu memang benar kok. Jangan khawatir, dengan begitu bukankah kita bisa lebih lama bersama? Aku senang ada kamu dan Andre di sisiku."
Wajah Illona memerah. Ia senang dan tersipu meski rasa bersalah masih belum hilang dari hatinya. Namun, Hugo yang mengetahui hal itu bisa membawa suasana kembali ceria. Dia berhasil membuat suara tawa Illona yang jarang terdengar di sekolah bisa didengarnya saat itu juga. Terlebih lagi makanan yang mereka pesan sudah datang hingga pembicaraan yang membuat Illona merasa bersalah pun terlupakan begitu saja.
Semerbak aroma hidangan menyebar ke seluruh penjuru ruangan. Tempat tinggal berukuran kecil itu tidak mampu membendung aroma lezat masakan restoran terkenal di kota itu. Illona sendiri masih tidak tahu di mana Hugo membelinya. Gadis cantik itu hanya tahu kalau dirinya ingin makan ayam.
"Wah! Ini benar-benar lezat!" seru Illona setelah memakan sepotong ayam. Hugo yang mendengar hal itu tersenyum puas. Ia menatap gadis di sampingnya dengan lembut sembari tidak henti-hentinya mengukir senyum.
"Nah, makanlah yang banyak," ucap Hugo sembari menyodorkan makanan miliknya.
Illona menggeleng. "Tidak, itu makananmu. Aku akan memakan milikku sendiri!"
Karena Illona terlihat sungguh-sungguh, akhirnya Hugo pun menikmati makanannya yang hendak ia berikan kepada gadis itu. Namun, dia meminta Illona memberitahunya jika suatu saat ingin memakannya lagi.
Gadis itu mengangguk. Kemudian ia bertanya, "Memangnya di mana kamu membeli ini?"
Hugo tidak menjawab. Ia justru segera mengisi mulutnya yang kosong. Terlihat jelas bahwa laki-laki itu enggan memberitahu. Untung saja, Illona tidak lagi bertanya. Gadis itu bungkam dan kembali menikmati hidangannya. Di sisi lain, Hugo merasa lega. Sebab ia tidak tahu bagaimana reaksi Illona kalau tahu makanan itu dari restoran mahal. Bagaimanapun juga Hugo tidak mau gadis itu merasa tidak enak hati atau menjadi sungkan nantinya.
***
Setelah kegiatan belajar bersama selesai, Hugo segera mengemasi barang-barangnya. Baru setelah itu pria yang melepas seragamnya dan berganti kaus berpamitan kepada tuan rumah.
"Tunggu, Hugo!" seru Illona saat melihat laki-laki itu berdiri. Namun, bukannya memberitahu kenapa memanggil, gadis itu justru segera berlari memasuki kamarnya hingga membuat Hugo menatap bingung.
Tidak lama kemudian Illona kembali keluar dengan membawa sebuah dompet. Hugo yang melihatnya pun tahu apa yang akan gadis itu lakukan dengan dompet miliknya. Alhasil, sebelum Illona sempat berkata apa pun, Hugo lebih dulu membuka mulut.
"Makanan tadi aku yang traktir, jadi kembalikan saja dompetmu," ucap Hugo yang tengah menikmati ekspresi Illona yang terkejut.
"Ba-bagaimana kamu tahu?"Gadis yang tengah memegangi dompet menatap penuh tanda tanya.
Hugo tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Illona. Yang ada, laki-laki itu justru melayangkan pertanyaan lain kepada gadis yang tengah menatapnya.
"Apa akhir pekan kamu mau jalan-jalan?" Hugo bertanya dengan lembut.
"Akhir pekan? Kemana?" tanya Illona datar. Padahal gadis itu tengah berteriak dalam hati karena mendapat ajakan dari Hugo.
Sejenak laki-laki itu tampak berpikir. Baru kemudian ia tersenyum sembari berkata, "Tidak tahu!"
Ucapan Hugo membuat Illona menganga. Ia tidak menyangka akan mendengar pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Namun, gadis itu tidak ambil pusing sebab masih ada dua hari lagi untuk waktu yang dijanjikan, alhasil Illona mengajak Hugo untuk memikirkannya bersama sampai hari yang dijanjikan tiba.
Usulan itu disetujui Hugo. "Ya sudah, kalau kamu sudah menemukan tempat beritahu aku ya!"
Illona merespon dengan sebuah anggukan, kemudian disusul salam perpisahan Hugo kepada pemilik rumah.
Setelah Hugo pulang, Illona yang sudah membersihkan diri mulai membongkar isi lemari. Gadis itu tidak memiliki banyak pakaian karena memang ia jarang, bahkan hampir tidak pernah pergi keluar kecuali bersekolah, bekerja, dan berbelanja.
"Aduh bagaimana ini? Pakaianku yang paling bagus saja sudah ketinggalan jaman," gumam Illona panik. Dia tidak mau terlihat buruk di mata Hugo.
Karena masih tidak bisa menemukan pakaian yang cocok, Illona kini membaringkan tubuh di tempat tidur. Ia menatap ke arah lemari yang masih terbuka sembari mencoba mencocokkan apa yang dipunyanya melalui pandangan mata.
Saat tengah mengamati, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ia pikir itu Hugo, hingga dengan cepat tangannya meraih ponsel yang tergeletak di dekat kakinya. Namun, tebakannya salah, nama yang tertera di layar ponselnya adalah nama sahabatnya, Sarah.
"Halo?" ucap Illona.
"Hei! Ada apa denganmu? Kenapa suaramu terdengar lemas?" tanya Sarah panik. Ia khawatir kalau-kalau sahabatnya itu sedang sakit.
Untuk menepis kekhawatiran Sarah, Illona mulai menceritakan apa yang terjadi.
"Wah, apa hubungan kalian sudah sampai sana? Apa ini ajakan kencan?" Suara Sarah terdengar penuh antusias.
"A-apa?" Illona gugup. "Ti-tidak! Ini bukan ajakan kencan. Hubungan kami tidak seperti itu," ucapnya dengan suara yang semakin lama semakin melirih karena merasa sedih hubungan mereka tidak seperti apa yang ia harapkan.
Di seberang telepon, Sarah tengah tertawa karena membayangkan wajah Illona yang memerah karena malu. Ia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya hingga gadis yang cukup peka sampai tidak menyadari suara Illona yang sempat terdengar sedih.
"Uh, ayolah! Bukan itu intinya, Sarah!" seru Illona agar sahabatnya kembali fokus.
"Haha, baiklah, maafkan aku. Jadi bagaimana? Masalah pakaian? Mau aku kirim dari sini?" tanya Sarah. Dari suaranya masih terdengar sisa tawa yang tidak bisa berhenti.
Illona menolak. Dia tidak mau merepotkan sahabatnya itu. Namun, dia juga tidak mau membeli pakaian baru dan menghabiskan tabungannya hanya untuk nafsu sesaat. Karena hal itu ia meminta bantuan Sarah untuk mencocokkan pakaian yang dimilikinya.
Setelah hampir satu jam memilih pakaian yang tidak banyak jumlahnya, akhirnya mereka pun menemukan satu stel pakaian yang bisa di sebut 'paling' bagus di antara yang Illona miliki.
"Kamu yakin mau pakai itu? Tidak mau aku kirim saja?" tanya Sarah dengan raut wajah kurang enak. Panggilan telepon kini berganti dengan panggilan video hingga membuat mereka mempermudah untuk melihat satu sama lain.
Dengan senyum puas Illona mengangguk.
"Iya, ini saja. Lagi pula tidak masalah 'kan memakai ini?" tanyanya dengan senyum merekah.
Sarah hanya tertawa canggung di layar ponsel. Ia merasa ingin segera menghampiri Illona dan membeli banyak pakaian untuk sahabatnya itu.