webnovel

Ini Bukan Waktu yang Tepat

Tiga puluh menit berlalu begitu cepat, tetapi masih belum ada hasil. Ini sudah lewat dari batas waktu, seharusnya Hailexa segera pergi untuk melanjutkan pekerjaan. Namun ego serta pendiriannya terlalu kuat, membuat gadis ini masih duduk dengan tenang.

Hailexa menguap sementara tangannya memainkan pena di atas meja. Bola matanya berputar, lelah mengamati Nicholas yang tidak bisa menjawab pertanyaannya atau duduk dengan tenang.

"Ayolah Dokter, tolong aku," mohon Hailexa diimbangi dengan binar pada matanya.

"Pertanyaanku saja belum terjawab. Dari mana kau dapatkan benda itu?"

Hailexa menipiskan bibir. Ia terlalu bingung harus mengarang cerita seperti apa. Hari ini ia datang menemui Nicholas untuk menanyakan obat yang pernah ia temukan pada dashboard mobil Alexander. Hailexa sangat berharap mendapatkan jawabannya sehingga bisa mengetahui hal yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi memang tidak semudah itu. Nicholas sepertinya sengaja bicara berputar-putar tanpa menjelaskan sesuatu yang jelas.

"Milik seorang teman. Aku menemukannya dan selama ini dia tidak pernah cerita soal obat ini. Jadi kumohon beri tahu sesuatu."

"Sebenarnya dari foto label yang kau berikan aku sudah langsung tahu. Tapi akan lebih baik jika aku memeriksa pilnya. Isinya bisa saja diganti."

"Kalau begitu katakan yang sudah kau ketahui," ujar Hailexa, suaranya mulai meninggi.

"Tidak sekarang. Aku harus memastikannya terlebih dahulu. Kembalilah dalam dua minggu," tolak Nicholas untuk kesekian kalinya.

Lemas, kesal, serta hilang semangat. Hailexa mengembuskan napas kasar. Ia melakukan protes seraya mengentakkan kaki. "Dua minggu? Kenapa lama sekali?"

"Aku akan pergi dan baru kembali setelah dua minggu." Nicholas kembali duduk di kursinya. Laki-laki itu menggenggam telapak tangan Hailexa, seperti sedang menyalurkan kekuatan. "Hailexa, dengarkan. Tahu segalanya bukan berarti bagus. Jika temanmu tidak atau belum ingin memberitahukan soal obat ini, pasti dia punya alasan yang kuat. Pikirkan lagi. Semua tergantung padamu. Aku akan tetap mengatakannya jika kau meminta."

Perkataan Nicholas membuat hati Hailexa mulai terombang-ambing. Satu sisi ia ingin menghargai keputusan Alexander, namun di lain sisi ia merasa lelah karena seolah tidak dianggap. Sebenarnya ada berapa banyak rahasia yang lelaki itu sembunyikan?

"Sedang apa kau di sini?"

Pikiran Hailexa terpecah saat telinganya mendengar suara Alesya dari belakang. Hailexa menoleh sekaligus menarik tangannya dari genggaman Nicholas. Benar, Alesya sedang berdiri di sisi pintu dengan kedua lengan yang terlipat.

"Bisakah kau bersikap sopan? Minimal mengetuk pintu," gertak Nicholas. "Aku sedang ada pasien."

"Dan aku membutuhkan pasienmu untuk segera datang ke ruangan. Dia terlambat," balas Alesya sinis. Dia bahkan sengaja tidak menatap Nicholas. "Pasienmu sakit apa sampai-sampai kau harus menggenggam tangannya?"

"Pasienku bukan urusanmu."

Tidak ingin memperparah situasi karena sebuah keributan, Hailexa mengambil jalan tengah dan bersikap netral. Ia bangkit dari kursi, sudah saatnya untuk kembali bekerja. "Terima kasih Dokter, aku berutang banyak. Maaf sudah merepotkan," ujarnya kemudian keluar melewati Alesya tanpa bicara sepatah kata pun.

"Hailexa!"

Hailexa sengaja mengabaikan panggilan Alesya. Ia terus berjalan tanpa mencoba untuk menoleh. Saat langkah kakinya dipercepat, Alesya juga melakukan hal yang sama.

"Hailexa! Berhenti! Berhenti sekarang atau aku akan mengeluarkanmu."

Saat itu juga Hailexa menghentikan langkah. Sudut bibirnya terangkat—menyeringai. "Baguslah. Berikan berkas yang harus kutandatangani agar bisa keluar." Persetan dengan uang. Jika keluar dari tempat ini bisa mengubah keadaan jadi lebih baik, maka akan ia lakukan.

"Kau ini ada apa? Kenapa marah padaku?"

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Kau sedang kesal denganku 'kan? Dengar ya Alesya, aku tidak akan pernah menggoda Nicholas ataupun Aldrich. Hari ini aku menemui Nicholas karena bertanya soal obat, tidak lebih. Dia hanya mencoba untuk menguatkanku. Kumohon jangan membuat hidupku semakin sulit."

"Hailexa..." lirihnya.

Hailexa menarik napas panjang. Kata-katanya dirasa sedikit berlebihan. Bukan ranahnya menyinggung soal Nicholas atau Aldrich. "Aku minta maaf. Ini keterlaluan," sesalnya.

Alesya menggeleng berulang kali. Dia berjalan mendekati Hailexa lalu menepuk bahunya. "Tidak, aku yang perlu minta maaf. Sikapku terlalu kekanakan dan kurang profesional. Sejak Aldrich datang," Alesya menghentikan kalimatnya, "aku merasa—"

"Sudah jangan membahasnya jika dirasa berat. Kita kembali sekarang. Aku sudah terlambat."

Situasi di ruangan tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, selalu tenang. Hari ini terdapat sedikit perubahan pada posisi tim. Jika kemarin Aldrich yang bertugas menginterogasi, kini pria itu duduk di balik layar. Tugasnya digantikan oleh kepala kepolisian.

Bedric berdiri di hadapan kaca dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Hailexa datang menghampiri, namun berdiri membelakangi kaca.

"Maaf aku terlambat," ujar Hailexa memulai pembicaraan.

"Santai saja. Barvo juga belum bicara sejak tadi."

"Kurasa dia memilih bungkam karena salah sedikit saja bisa membocorkan segala informasi."

"Masuk akal." Bedric mengangguk menyetujui. "Tapi semakin lama dia bungkam, maka semakin menyebalkan. Jika hari ini tidak ada hasil, maka kita pindah tugas. Kau masih ingat soal chip itu? Kita diminta untuk fokus ke sana. Pekerjaannya akan semakin rumit dan berat. Ini hanya saranku saja, coba kau pikirkan kembali soal paruh waktu di kafe."

Satu alis Hailexa terangkat. "Kenapa?" tanyanya.

Bedric mengusap dagu, memikirkan kalimat yang mudah untuk dimengerti. "Kau sudah tidak lagi belajar di akademi. Ini pekerjaanmu. Jadi lebih baik fokus pada satu titik saja. Aku bisa menjamin setelah ini kau akan semakin sibuk. Bukan hal yang baik jika terus memaksakan tubuh untuk bekerja. Tetapi semua kembali padamu."

Apa yang dikatakan Bedric ada benarnya. Hailexa dikontrak secara resmi di sini. Sudah menjadi kewajibannya untuk fokus dan bertanggung jawab. Bekerja di kafe memang menyenangkan, namun di satu sisi juga membuatnya lelah. Mungkin nanti Hailexa akan mencoba memikirkan alasan yang tepat untuk keluar.

"Beri aku waktu, akan kupikirkan caranya."

Hailexa buru-buru memutar tubuh ketika telinganya menangkap suara Barvo. Semua orang juga mendengarnya. Mereka yang tadi terlihat santai kini berubah tegang. Bedric bahkan semakin mendekatkan tubuhnya pada kaca.

"Dengarkan aku bicara," ujar Barvo dingin. "Termasuk kalian yang sedang di balik cermin."

Barvo mengepalkan satu tangannya kemudian memukul meja dengan kekuatan penuh. Segelas air yang diletakkan di atas sana bahkan sampai tumpah. "Kalian berhasil mendapatkanku. Aku kalah," akunya. "Pekerjaanku kotor. Namun bukan berarti aku satu-satunya orang yang berdosa di sini."

Berdosa? Ada pelaku lain di tempat ini? Hailexa mengamati keadaan sekitar namun semuanya tampak normal. Tiba-tiba ia merasa takut. Bagaimana jika markas ini berhasil ditembus oleh orang suruhan Barvo. Bisa saja seseorang sedang bersiap meledakkan bom sekarang.

"Aku tahu dia di sana, memperhatikanku, menganggapku sebuah drama yang layak ditonton. Andai saja dia tahu bahwa orang sekitarnya juga sedang membuat drama yang sama. Ini penipuan. Tidakkah kalian merasa jahat dengan itu? Dia datang dari jauh, terkena musibah, dan kalian memanfaatkannya dengan—"

Hailexa menutup telinga saat suara nyaring terdengar begitu keras. Bukan hanya dirinya yang refleks dengan tindakan itu, seisi ruangan juga melakukan hal yang sama bahkan orang-orang dari ruang sebelah. Suara ini terlalu nyaring sampai-sampai menyakiti telinga.

Selanjutnya Hailexa merasakan sebelah lengannya ditarik perlahan. Itu perbuatan Bedric. Dia membawa Hailexa untuk segera keluar dari ruangan.

"Itu tadi suara apa?" tanya Hailexa sambil menepuk-nepuk telinganya sendiri.

"Bukan apa-apa, hanya peringatan dari sistem."

"Lalu kenapa kau membawaku ke luar? Barvo sedang membicarakan sesuatu yang penting tadi. Kita kembali sekarang Bedric." Saat tubuh Hailexa hendak berputar, Bedric dengan sigap menahan pergelangan tangannya. Lelaki itu menyerahkan segelas air mineral.

"Minum dulu, kau pasti terkejut tadi."

"Jadi bagaimana?"

Bedric menarik napas, kemudian mengembuskannya dengan kasar. "Ada sistem keamanan yang sedang dalam masalah. Tenang saja ini baru tahap satu. Aku mengajakmu untuk memperlihatkan sekaligus mengajari bagaimana cara mengatasinya. Ini bisa berguna saat kita melakukan misi pengambilan chip," jelasnya secara singkat.

"Tetapi tidak bisakah setelah interogasinya selesai?" tanya Hailexa lagi. "Lagi pula bukankah ada tim lain yang menangani soal sistem keamanan?"

"Ya, ada. Hanya saja ini waktu yang tepat untuk belajar. Kau tidak perlu mendengarkan seluruh pengakuan Barvo. Nanti mereka pasti memberi tahu setiap detailnya. Sudah, ayo pergi."

Meski rasa ingin tahunya sudah berada di puncak kepala, Hailexa hanya bisa mengangguk pasrah dan mulai mengikuti Bedric. Terlebih saat lelaki itu menarik pergelangan tangannya agar terus berjalan.