"Kurasa cukup. Oh, aku akan minum wine hari ini. Jangan buat minuman manis seperti sebelumnya. Mungkin baru besok."
"Coba yang satu ini." Emma menyuapkan sepotong kecil daging yang baru matang pada Alexander. "Bagaimana?"
"That's good. Cocok dengan winenya. Aku akan menunggu di ruang makan."
"Pergi temui Daddymu dahulu. Dia punya kejutan kecil."
Alexander hanya menurut dan segera pergi. Jujur saja ia tak pernah berharap banyak atas kejutan dari Terry. Bukan sekali dua kali kejutan yang diberikan adalah hal yang paling ia benci atau hindari. Seperti saat satu tahun usai tragedi jatuh dari sepatu roda, di hari ulang tahunnya Terry justru memberikan benda sialan itu. Meski pada akhirnya tetap diberikan hadiah-hadiah lain, Alexander tetap saja kesal.
Namun hari ini Alexander beruntung. "Oh astaga, Uncle Josh!" Setelah enam bulan tidak pernah bertemu karena Josh harus tinggal di Manchester untuk sementara waktu, sekarang Alexander bisa kembali menatapnya secara langsung. "Skylar tidak ikut?" lanjutnya menanyakan putri bungsu Josh.
Di antara sepupu perempuan yang Alexander miliki, Skylar menjadi favoritnya dan Sydney berada di urutan terakhir. Skylar dengannya memang tidak ada hubungan darah, namun Josh adalah bagian dari keluarga maka Alexander menganggapnya demikian.
"Tidak. Hari ini aku juga tidak punya ikan hias atau kura-kura untuk diberikan padamu."
"Usiaku sudah lebih dari tiga belas. Berhenti membahas masa lalu."
"Lalu apa yang kau inginkan sekarang? Mobil baru? Anak anjing baru?"
Bukan Josh yang menyahut, melainkan Morgan yang tiba-tiba datang dari balik dinding.
"Aku lebih suka opsi kedua, Uncle Morgan. Namun seseorang tampaknya suka opsi pertama," sindir Alexander. "Bukankah begitu, Dad?"
"Cedar saja sudah cukup. Hei Morgan, bagaimana menurutmu? Mereka benar-benar ingin aku untuk turun tangan."
Alexander menuangkan wine ke dalam gelasnya yang sedang kosong. Bibirnya kembali menyesap sedikit, sebelum ia beralih pada tumpukan kertas yang baru saja dibaca oleh Terry.
"Aku ingin dengar dari Josh terlebih dahulu."
"Well," Josh mengetuk-ngetuk meja makan sehingga menimbulkan bunyi yang teratur, "aku tidak ingin banyak komentar. Ada baiknya untuk dipikirkan ulang."
"Konsep ini akan lebih berguna pada hotel yang dekat dengan pegunungan. Rincian keuangannya juga belum matang dan terlalu boros. Kemungkinan terjadinya kecurangan cukup tinggi. Jika tetap seperti ini, maka tolak saja," celetuk Alexander setelah membaca detail isi dokumen.
Morgan tertawa pelan. "Terry. Kusarankan buang jauh-jauh pikiranmu untuk mencari asisten tambahan dari orang asing di luar sana.".
"Kenapa? Aku sedang butuh Morgan. Tapi soal usulanmu untuk tidak mencari dari orang luar ada benarnya. Mungkin sebaiknya ada perputaran jabatan sementara. Oh, kau punya kenalan yang bisa dipercaya?"
Morgan menatap Josh dengan satu alisnya yang terangkat. Josh yang mengerti isyarat itu kini sedang menahan tawa. Sekarang mereka berdua memandang ke arah yang sama dengan ekspresi geli.
"Kenapa memandangku seperti itu? Hentikan," protes Alexander yang merasa tidak nyaman.
"Kami sedang mencari seorang asisten yang akan bekerja dalam waktu singkat. Sekitar dua sampai tiga bulan atau sampai asisten yang lama kembali. Pekerjaannya ringan dan mungkin hanya datang tiga sampai empat kali dalam seminggu. Untuk bayaran dia akan mendapat enam puluh persen dari gaji asisten yang semestinya. Kau tidak ingin mendaftar? Aku bisa langsung mengajukan namamu pada bos besar untuk diterima," jelas Josh sambil mengedipkan satu matanya.
"Huh? Kenapa aku?"
"Sangat penting untuk mencari orang yang tidak akan menyebarkan data-data perusahaan. Aku yakin kau tidak akan melakukannya. Kau juga punya potensi. Jawabanmu tadi sangat mewakili pemikiranku. Jadi kurasa kehadiranmu akan cocok untuk kita semua. Aku bisa menaikkan persentase bayarannya Alex. Kau masih bisa paruh waktu di kafe. Setidaknya sampai kau siap mengambil tanggung jawab lebih."
Terry mengusap dagu. Ponsel yang tadi ditatapnya sudah diletakkan di atas meja. "Aku sudah berjanji memberinya waktu untuk bersenang-senang. Jadi tidak ada paksaan," ujarnya santai.
"Apa pun posisi yang ditawarkan saat ini bukanlah masalah. Pada akhirnya kau juga akan menetap di sana. Ini akan memudahkanmu di masa depan," tambah Morgan untuk meyakinkan.
Alexander baru akan menjawab, namun kalimatnya tertahan karena Emma sudah mendahului untuk bicara.
"Ini ide yang bagus, tetapi pikirkan nanti saja. Sudah waktunya makan malam. Jangan bawa urusan pekerjaan saat makan."
Usai makan malam berakhir, Alexander langsung undur diri dan pergi menuju kamarnya. Tawaran dari Josh sebenarnya bukan hal buruk mengingat Alexander punya banyak waktu luang. Bekerja di kafe adalah hal yang menyenangkan. Ia bisa bertemu banyak orang baru dengan berbagai kepribadian. Namun setelah dipikir ulang, apa mungkin ini saatnya untuk memulai kewajibannya?
Alexander sadar, setelah ia menerima tawaran itu, sudah dipastikan dalam beberapa bulan ke depan ia akan berhenti bekerja di PrimAlesyara. Mana mungkin dirinya sanggup mengurus dua pekerjaan yang tidak saling berhubungan. Terdengar menyedihkan membayangkan ia harus mengucap salam perpisahan di depan pegawai kafe.
"How was your day?" tanya Alexander pada Hailexa. Saat ini mereka sedang bicara melalui panggilan video.
"Sedikit berat namun menyenangkan."
"Kau terlihat lelah dan mengantuk."
Wajah Hailexa kini memenuhi layar MacBook Alexander. Gadis itu tersenyum tipis. "Oh ya? Kau tahu, melihat gunung dari Verbania membuatku penasaran akan keindahan Swiss. Aku sempat membaca artikel, Swiss punya banyak tempat indah. Interlaken, Lauterburn? Aku lupa."
"Lauterbrunnen," ujar Alexander membenarkan. "Kita bisa pergi ke sana jika kau ingin. Tinggalah selama yang kau mau."
"Dari ucapanmu bisa ditebak jika kau punya rumah di sana."
"Bukan aku, tetapi orang tuaku."
Hailexa terkekeh. Dia mengubah posisinya dari telentang di atas ranjang menjadi berbaring dengan posisi miring. "Sama saja. Ceritakan harimu."
Alexander menggeleng. "Aku hanya diam di rumah seharian ini. Menonton film, minum wine, lalu bicara denganmu. Itu saja." Sebenarnya ia ingin membicarakan perihal tawaran menjadi asisten. Alexander membutuhkan saran dari Hailexa. Akan tetapi ia memilih menunda karena gadis itu terlihat lelah. "Apa saja yang kau lakukan sampai terlihat lelah?"
"Kami pergi ke perpustakaan umum. Membaca, menulis, dan berkeliling. Ini semua terbayar karena perpustakaannya indah."
"Syukurlah jika kau suka. Sekarang sebaiknya kau tidur."
"Mm-hm. Jangan terlalu lama di Milan. Awalnya kau berkata hanya tiga hari, nyatanya berubah jadi lima. Aku merindukanmu. Selamat malam, Alex," ucapnya cepat sebelum Alexander sempat membalas kalimat itu.
Seyum Alexander mengembang. Rasanya sudah lama ia tidak mendapatkan ucapan manis semacam ini. Sial, Hailexa benar-benar tahu cara yang tepat untuk membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Sebelum memutuskan untuk tidur, Alexander menyempatkan diri untuk mencari tahu perpustakaan yang berhasil membuat Hailexa terpukau. Ia ingin membandingkan perpustakaan umum di Verbania dengan milik universitasnya dulu.
Hailexa tidak salah, tempatnya memang indah. Bagian dalamnya khas ala bangunan Eropa kuno. Pantas saja jika gadis itu merasa senang. Namun ada satu hal yang dirasa mengganjal. Ketika Alexander melihat informasi yang tertulis, perpustakaan ini ditutup sementara sejak dua minggu lalu karena sedang melakukan renovasi. Hal ini jelas membuatnya berpikir keras. Bagaimana cara Hailexa dan teman-temannya masuk sekaligus melakukan banyak hal di sana?