webnovel

Hal Tidak Terduga

"Arce!" pekik Bedric mengetahui Aldrich yang masuk tanpa permisi.

"Dari tadi aku memperhatikan dari balik dinding bersama Alesya. Kerja kalian hebat. Sekarang kita selesaikan kode-kode sialan ini."

Benar saja, ada banyak kertas yang diselipkan pada bahan yang tertulis pada resep. Alesya mengumpulkan setiap kertas itu dan menyusunnya hingga membentuk sebuah kalimat dalam bahasa italia.

Rumah untuk polaris. Seperti ini jika diterjemahkan.

"Polaris? Siapa dia? Perusahaan, nama samaran, atau nama sebuah klan?" tanya Aldrich.

"Kurasa bukan salah satu dari itu. Polaris yang pernah kupelajari merupakan sebutan lain dari bintang utara atau bintang kutub. Pole Star atau polaris," celetuk Hailexa.

"Dia ingin menjadi anggota NASA atau bagaimana? Ada baiknya jika kita tanyakan ini pada ibu Simone, mungkin beliau tahu sesuatu."

Arune Panza mengangguk setelah Alesya menanyakan soal bintang utara. Kedua mata wanita itu tampak berbinar. "Dulunya aku bekerja di usaha rumahan yang memproduksi makanan manis. Sekarang sudah tutup karena bangkrut. Lokasinya berada di sebelah utara rumah lama kami. Tempat itu memiliki atap yang difungsikan sebagai taman terbuka. Saat malam, setiap ada kesempatan aku selalu membawa Simone untuk melihat bintang di sana. Dia sangat bahagia saat melihat bintang." Arune menarik napas, air matanya mulai berjatuhan. "Jika memang Simone ada di sana, minta dia untuk pulang. Aku sangat merindukannya. Kumohon, bantu untuk menemukan putraku. Hanya dia yang kumiliki saat ini," pintanya dengan suara yang begitu menyayat hati.

"Kami akan mengusahakan yang terbaik."

Bedric memberikan isyarat untuk berdiskusi di sisi lain, menjauhi Arune. "Shit shit shit," umpatnya seperti sedang frustrasi.

"Sebenarnya ada apa?" tanya Alesya kemudian.

"Satu-satunya bahan dari buku resep yang tidak ditemukan kertas adalah botol madu." Bedric menunjukkan foto botol madu yang hampir kosong melalui kameranya. "Tetapi di sini tertulis tanggal kadaluarsa dan tepat pada hari ini. Jika memang masuk pada petunjuk, aku yakin Simone sedang dalam masalah. Kita harus segera pergi sekarang."

Mobil yang Bedric kendarai melaju dengan kecepatan tinggi saat mulai menyentuh jalan raya. Hailexa yang ikut bersamanya mulai memanjatkan doa. Bukan hanya untuk Simone, melainkan keselamatan dirinya. Sungguh, ia tidak ingin meregang nyawa karena kecelakaan mobil.

Tempat yang Arune maksud berada di ujung pemukiman. Jalanan di sini sempit, mengakibatkan mobil tidak bisa masuk. Satu-satunya cara untuk mencapai tujuan hanya dengan menggunakan kedua kaki.

Mereka semua berlari, sementara beberapa warga tampak mengawasi. Aldrich memberikan komando untuk mempersiapkan pistol yang saat ini sedang dibawa. Ada kemungkinan jika seseorang akan menyerang mereka atau bahkan Simone sendiri.

Saat bangunannya mulai tampak, tanpa sengaja mata Bedric berhasil menangkap dua orang berpakaian hitam yang melompat dari jendela. "Empat orang cepat kejar mereka. Usahakan sampai dapat!" titahnya.

"Pintunya terkunci," ujar salah satu anggota tim.

"Bedric." Aldrich maju satu langkah, Bedric berada di sebelahnya. Kepala Bedric mengangguk, lalu dalam satu kali tendangan pintu kayu yang mulai rapuh itu berhasil terbuka.

Dilihat dari luar, bangunan ini memiliki tiga lantai. Ketika masuk, partikel mulai debu berterbangan dan cukup mengganggu pernapasan. Dindingnya kotor, catnya juga memudar dimakan usia. Beberapa perabotan seperti meja, kursi, serta lemari sengaja ditinggalkan sampai-sampai dipenuhi dengan sarang laba-laba.

"Agent Arce," panggil seorang laki-laki berambut gelap. "Di atas."

Seketika semua kepala mendongak, memandang pada arah yang disebut. Aldrich sudah siap dengan pistolnya, namun tidak jadi digunakan. Apa yang mereka lihat saat ini bukanlah seseorang yang akan menyerang, melainkan Simone.

"Oh astaga," desis Aldrich sembari mengusap wajahnya kasar. Reaksi lelaki ini sudah tidak karuan saat menemukan tubuh Simone tergantung pada tali yang diperkirakan berada tiga meter di atas tanah.

Hailexa membuang muka, tidak kuasa melihat keadaan ini. Terlebih lagi saat membayangkan bagaimana jika Arune tahu putra kesayangannya harus kehilangan nyawa dengan cara mengerikan.

"Kita keluar dari sini. Kalian yang bertugas untuk keadaan ini bisa mulai bekerja. Gunakan pakaian khususnya, jangan mengotori lokasi atau barang bukti."

"Arce, aku tahu kau menyembunyikan sesuatu dari kami," tebak Bedric usai mereka semua berada di luar. "Simone memberikan banyak petunjuk dan semua benar. Namun aku merasa masih ada yang kurang. Tidak lengkap."

"Bukan menyembunyikan, namun menunda memberikan informasi."

Aldrich mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan sebuah foto. Di sana terlihat catatan kecil yang ditulis pada kalender.

pertandingan Juventus dalam 13 minggu, 21 hari, 14 jam, 15 menit, 26 detik.

"Hanya ada satu huruf kapital," ujar Alesya.

Hailexa menambahkan, "Angka-angka itu akan membentuk satu kata jika disesuaikan dengan urutan alfabet."

"Tentu saja." Bedric tersenyum karena berhasil menyimpulkan. "J Munoz. Barvo Munoz. Aku akan hubungi markas untuk mengamankan bajingan itu."

Lidah Alexander mengecap kagum setiap kali cairan pekat membasahi mulutnya. Ketika disandingkan dengan semilir angin serta langit Milan yang mulai menggelap, segelas red wine tidak mungkin cukup untuk memenuhi rasa puasnya. Dari semua red wine yang pernah ia minum, Alexander sangat menyetujui jika yang satu ini punya posisi nomor satu. Entah dari mana Terry mendapatkannya, namun Alexander benar-benar berterima kasih.

Usai pesta pernikahan Reiji berakhir, Alexander dan keluarganya tidak langsung kembali ke Turin. Sebuah rumah yang pernah Terry beli, digunakan sebagai tempat tinggal selama singgah di Milan. Lagi-lagi Alexander berterima kasih sekaligus mengucap syukur karena ayahnya berhasil mendapatkan rumah ini. Meskipun memiliki dua lantai, ukuran rumah tidaklah besar mengingat tempatnya berada di dekat pusat kota. Akan tetapi Alexander sangat suka dengan desain dan strukturnya, jauh dari kata mengecewakan. Terlebih soal balkonnya. Damai dan menyejukkan.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan rumah yang katanya pemberian Morgan Walter sebagai hadiah ulang tahun pernikahan. Ukurannya besar, halaman luas, dan terdiri dari empat lantai. Menurut Alexander itu bukanlah rumah, melainkan vila untuk disewakan. Desainnya memang tidak buruk, namun entah mengapa Alexander tidak memiliki ketertarikan untuk tinggal di sana. Mungkin karena terlalu besar. Nicholla juga pernah mengatakan jika bangunannya mirip dengan markas para vampir pada serial televisi.

Alexander memejamkan mata. Badannya bersandar malas pada kursi, membiarkan rasa kantuk menguasai. Akan tetapi keheningan itu menjadi terusik ketika suara lembut menginterupsi pendengarannya.

"Maaf jika mengganggu, tetapi Nyonya Emma meminta Anda untuk segera turun."

"Ya. Terima kasih."

Alexander berlari kecil menuruni tangga dengan gelas kosong pada genggamannya. Langkahnya mulai melambat ketika memasuki dapur. "Ada apa Mom? Perlu bantuan?" tanya Alexander usai memberi kecupan pada masing-masing pipi Emma.

"Makan malamnya hampir siap. Mommy pikir kau sedang tidur di atas. Ingin menu lain Alex?"

Kaki Alexander bergeser sedikit untuk melihat menu makan malam yang sedang disiapkan oleh seorang koki pribadi beserta satu asistennya. Meski beberapa pemikirannya satu jalan dengan Terry, terkadang Alexander merasa heran mengapa ayahnya itu suka sekali melakukan hal-hal tak terduga. Salah satunya dengan menyewa jasa koki pribadi selama mereka tinggal di Milan, padahal tidak ada tamu penting yang akan datang.