webnovel

THE BIG BOSS BRONDONG

Sinopsis Alex, remaja 16 tahun. Tampan, Tinggi, tapi bermasalah, dikeluarkan dari sekolah, diremehkan dan dikucilkan. Sejak  Ayah dan Ibu Alex meninggal karena kecelakaan. Alex hidup luntang-lantung. Saudara-saudaranya mengusirnya karena Alex bukan saudara kandung mereka. Pria Arab, Waleed Alan Tabarak, mengaku sebagai Ayah kandungnya. Menjemputnya paksa dan menjadikan dirinya sebagai CEO di perusahaan minyak cabang Indonesia. Dia menjadi CEO termuda sepanjang sejarah. Bahkan, Alex harus melanjutkan sekolahnya di SMA meskipun dia seorang CEO. Nama belakang Alex menjadi Alex Waleed Tabarak. Ayahnya merupakan salah satu pangeran Arab yang pernah menikahi perempuan Indonesia. Seketika hidup Alex berubah drastis. IG: @i_karameena

IrmaKarameena · Urbain
Pas assez d’évaluations
23 Chs

Awal Pembalasan

7.

Awal Pembalasan

~Apalah arti dari sebuah kuasa, jika digunakan untuk melemahkan orang lain.~

 

Suara hati Alex.

copyright ©irma karameena a novel & quotes

***

BUGHHHH!!!!

Punggung Alex dipukul dengan kayu oleh Yoga. Alex terjatuh ke lantai.

"Argh!" Alex hanya mengeluh sedikit. Alex memegangi punggungnya. Lalu menatap Yoga dengan nanar.

Teriakan para siswa perempuan kembali terdengar. Mereka histeris dengan kelakuan Yoga and the genk. Genk itu tiap hari kerjaannya berantem.

Lalu, Yoga bersiap kembali melayangkan kayunya itu pada Alex.

"Ma....ti... kkk..!"

Pemukul badminton itu melayang. Lalu...

PRAK!!!!

Kayu itu terpental sebelum mengenai kepala Alex. Salah satu bodyguard sudah menendang kayu milik Yoga itu dengan keras. Empat Bodyguard itu memang tiba-tiba muncul. Menghajar Yoga dan genk. Alex masih terhenyak. Mereka tetap masuk ke sekolah meskipun Alex melarang. Apalagi Alex dalam bahaya. Itu perintah dari tuan besar. Perintah tuan besar harus lebih diikuti daripada perintah tuan muda.

Teriakan para cewek semakin nyaring. Dan para bodyguard itu menghalau anak-anak brandal itu tanpa ampun. Lantas...

"STOP!!!" Bu Dewi dan kepala sekolah tiba-tiba datang.

Para bodyguard berhenti menangkap geng sombong itu.

"Ada apa ini? Kenapa Anda-anda masuk ke sekolah kami dan menganiaya murid kami?" tanya Bu Dewi.

Ketua Bodyguard menjawab dengan tegas, "mereka mengeroyok tuan muda kami dengan kayu pemukul badminton."

Bu Dewi dan Pak Arka memandang kayu-kayu berserakan di lantai.

"Benar yang dikatakan mereka?" tanya pada Bu Dewi pada Yoga.           

Yoga dan geng tak menjawab.

"Mereka juga kemarin mengeroyok tuan muda kami di hari pertama masuk sekolah," kata ketua bodyguard itu melanjutkan, "kalau kami tidak datang. Mungkin saja kepala tuan kami sudah pecah karena dipukul dia!"

Tomy, si ketua bodyguard, menunjuk muka Yoga. Wajah Yoga sudah babak belur juga.

"Kalau kami tidak datang, mungkin saja tuan kami mati ditangan para brandal ini! Para brandal ini yang sekolah ini bela? Baik! Kami bisa memproses ini ke jalur hukum."

Pak Arka menjawab, "tunggu, Bapak! Kita bisa menyelesaikannya dengan kekeluargaan."

Bu Dewi memandang Alex yang masih duduk di atas lantai. Wajahnya memang ada bekas luka-luka lebam. Sepertinya itu bukan luka hari ini tetapi kemarin.

"Jadi benar kalian menghajar anak baru kemarin?" tanya Bu Dewi dengan geram.

Mereka terkatup. Menunduk. Lantas, mereka semua digiring ke ruang BK (Bimbingan Konseling). Alex dan para bodyguard itu juga datang ke ruang BK. Memberikan keterangan dan diproses interogasi. Salah satu bodyguard sudah menelepon Marco. Selang beberapa  menit, Marco datang bersama kawanan polisi.

"Tangkap mereka, Pak," kata Marco, "kami punya bukti dari hasil visum luka-luka tuan muda. Mereka sudah mengeroyok tuan muda kami di hari pertama sekolah."

"Bohong!" kata Yoga.

"Kau tidak bisa mengelak lagi, brandal! Kami punya rekamannya," kata Marco. Rupanya, kemarin Alex juga merekam aksi mereka itu tanpa sepengetahuan mereka.

"Semua siswa yang menonton juga menjadi saksi, siapa penyerang dan siapa yang diserang," ucap Marco tegas.

Yeah! Akhirnya, batin Alex. Mampus kau Yoga...! Kau akan mendapatkan apa yang kau tanam, batin Alex senang.

Para polisi memborgol Yoga dan geng. Membawa mereka ke dalam mobil polisi dan memproses mereka dalam jalur hukum.

Yoga, usia 18 tahun, tidak naik kelas 2 kali. Anak seorang pengusaha impor. Bagas, usia 17 tahun, orang biasa, hanya pengikut Yoga. Cepi, usia 18 tahun, pernah tidak naik kelas 3 kali. Pengikut Yoga. Anak pejabat daerah. Roni, usia 16 tahun, orang biasa. Pengikut Yoga. Damar, usia 17 tahun, orang biasa, pengikut Yoga. Dony, usia 17 tahun, orang biasa, hanya pengikut Yoga. Keenan, usia 18 tahun, anak pengusaha batubara, selalu kawan di samping Yoga.

Polisi capek mengisi biodata mereka. Mereka  ada 15 siswa dalam satu geng. Tidak bisa disebutkan satu-persatu juga.

"Kalian ini niat sekolah gak sih?" tanya polisi itu. Dia memandangi para brandal berseragam SMA itu.

"Sebentar lagi orang tua kalian menjemput. Bagi yang dibawah umur saja. Sisanya harus standby di sini. Proses masih panjang. Kalian bukan di bawah umur lagi. Paham?"

Polisi itu menatap Yoga, Cepi, dan Keenan. Beberapa orang tua dari mereka datang. Dan membawa mereka pulang. Ada yang menjewer anaknya. Ada yang memaki-maki mereka. Ada yang menyeret-nyeret mereka ke dalam mobil.

Tinggal 3 orang saja yang belum dijemput. Yoga, Cepi dan Keenan. Para master geng brandal sekolah elite. Polisi memasukkan mereka ke dalam sel penjara. Sambil menunggu persidangan.

"Orang tua kalian juga akan datang. Tapi bukan langsung bebas. Kalian akan mempertanggungjawabkan semuanya. Orang tua kalian akan membayar pengacara untuk membela kalian," ujar polisi itu sambil mengembok jeruji besi.

Yoga, Cepi, dan Keenan saling berpandangan. Lalu mereka berdebat kecil. Dan saling memukul satu sama lain.

"Hei, hei! Kalian masih mau main tinju-tinjuan terus?" tanya polisi.

Seketika mereka berhenti. Lalu duduk di atas lantai dengan lunglai. Mereka mendekam di balik jeruji.

***

Drrrttttt...

Drrrrtttt...

Ponselnya terus berdering tetapi Hendra enggan mengangkat. Istrinya sejak tadi meneleponnya. Biasanya juga menelepon hal tak penting. Pikirnya.

Di ruang Kerja Tuan Hendra.

"Tuan, kami mendapat informasi. Perusahaan minyak mitra kita tak berani menjual pada kita lagi. Karena di media sedang diberitakan Tuan Yoga masuk penjara," kata Putra, asistant pribadinya.

"Hah?" Hendra menampakkan wajah Syok.

Drrttttt... Drrrttttt...

Hendra akhirnya mengangkat teleponnya.

"Papi.... anak kita masuk penjara, Pi. Semua sudah heboh!" suara istrinya sterdengar histeris dan cempreng, "cepat datang ke kantor polisi, Pi. Anak kita butuh pengacara."

"Tunggu saja," jawabnya singkat.

Hendra langsung menutup teleponnya.

"Siapa yang berani memasukkan putraku ke penjara?"

Seseorang itu menyaut, "mereka berkelahi di sekolah."

"Hhhffff... anak itu suka membuat ulah. Apa kubuang saja sekalian anak seperti itu?"

Hendra mengambil jasnya. Lantas menggunakannya. Dia menaruh sisa putung rokok di asbak. Dia bangkit dari duduknya. Berdiri dan keluar dari kantor.

Seorang sopir sudah menunggunya di luar kantor.

Putra mengikutinya sampai ke mobil.

"Teleponkan aku Pengacara Ramon. Suruh dia datang ke kantor polisi," katanya pada Putra.

"Baik, Pak."

Yoga berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya seorang importir dan pekerja keras. Karena Maminya terlalu memanjakannya, Yoga menjadi produk gagal. Padahal dia satu-satunya pewarisnya nanti. Hendra merasa kesal. Giginya gemeretak. Dia tak sudi ada yang mengganggu putranya.

Di kantor Polisi.

Hendra sudah sampai dan duduk di depan polisi.

"Panggilkan aku brandalan itu," katanya pada polisi.

"Baik, Pak."

Selang berapa menit polisi membawa Yoga ke hadapan Ayahnya. Lalu...

PLAK!

PLAK!

Hendra menampar kedua pipi Yoga.

"Memalukan! Bukannya sekolah yang benar. Berkelahi saja kerjaanmu. Kali ini, aku tidak peduli meski sekolahmu itu mengeluarkanmu," kata Hendra dengan wajah tegas. Matanya membulat merah. Yoga bahkan tak berani menatap mata Hendra.

Yoga tertunduk. Matanya terasa perih. Baru kali ini Hendra menamparnya. Senakal apapun dirinya, Ayah tak pernah sekalipun main tangan.

"Ini kenakalan terakhir," kata Hendra, "setelah itu aku tak peduli lagi."

Hendra melangkah pergi. Lalu dia berpapasan dengan Ramon di luar.

"Eh, ada Pak Hendra. Tadi saya ditelepon Pak Putra," kata Ramon berhenti di hadapannya.

Sedangkan Yoga masih duduk mematung.

"Ya, tolong anakku, Ramon," katanya singkat, "aku pergi dulu. Ada urusan penting."

Hendra melambaikan tangannya pada Ramon. Dan terus masuk mobil. Pergi meninggalkan kantor polisi.

Ramon melihat Yoga menekuk wajahnya. Di pipinya masih ada bekas tamparan Ayahnya tadi. Sepertinya, Yoga terlihat habis menangis. Dia tampak mengusap sudut-sudut matanya. Wajahnya masih ada bilur-bilur lebam dan luka.

"Hhhhhh... kau lagi," kata Ramon mendengus saat tiba dihadapan Yoga.

Hendra menuju ke sebuah tempat. Gedung tower perusahaan minyak asal Saudi itu. Hendra tampak terburu-buru. Dia tak ingin kehilangan kesempatan. Karena kualitas minyak dari perusahaan ini paling bagus. Jika, Hendra membeli minyak pada perusahaan lain. Belum tentu kualitasnya sama dan lebih mahal.

Hendra masuk sendiri ke ruang CEO. Dia sepertinya sudah terbiasa masuk ke dalam ruangan itu. Hendra melangkah tanpa ragu dan memanggil sebuah nama. Seseorang duduk di kursinya dengan membelakangi Hendra.

"Pak Zindaq! Kenapa anda membatalkan perjanjian kita?"

Hendra tak tahu kalau CEO sebelumnya sudah dipecat. Seseorang sedang duduk dikursi itu. Dia belum menunjukkan dirinya pada Hendra. Alex sengaja memberi kejutan. Dia membelakangi meja dan Hendra.

"Saya dan Bapak melakukan banyak hal di proyek pengeboran minyak," kata Hendra lagi, "mana mungkin anda membatalkan secara sepihak begini."

"Lalu?" tanya Alex dengan memperberat suaranya.

Hendra belum tahu dengan siapa dia bicara. Seorang Alex remaja yang diremehkan oleh orang dewasa. Tentu saja, jangan meremehkan anak remaja, sekarang banyak remaja yang lekas dewasa.

***

 

to be continued...