webnovel

THE BIG BOSS BRONDONG

Sinopsis Alex, remaja 16 tahun. Tampan, Tinggi, tapi bermasalah, dikeluarkan dari sekolah, diremehkan dan dikucilkan. Sejak  Ayah dan Ibu Alex meninggal karena kecelakaan. Alex hidup luntang-lantung. Saudara-saudaranya mengusirnya karena Alex bukan saudara kandung mereka. Pria Arab, Waleed Alan Tabarak, mengaku sebagai Ayah kandungnya. Menjemputnya paksa dan menjadikan dirinya sebagai CEO di perusahaan minyak cabang Indonesia. Dia menjadi CEO termuda sepanjang sejarah. Bahkan, Alex harus melanjutkan sekolahnya di SMA meskipun dia seorang CEO. Nama belakang Alex menjadi Alex Waleed Tabarak. Ayahnya merupakan salah satu pangeran Arab yang pernah menikahi perempuan Indonesia. Seketika hidup Alex berubah drastis. IG: @i_karameena

IrmaKarameena · Urban
Not enough ratings
23 Chs

Hari Kedua Di Sekolah

6.

Hari Kedua Di Sekolah

~Memang, orang yang tak lebih baik dari kita, tak akan mampu mengakui keberadaan kita. Sekalipun sebenarnya kita sedikit lebih baik dari mereka.~

 

Alex dalam keluhannya tentang para pembully.

copyright ©irma karameena the novel & the quotes

***

Pertanyaan-pertanyaan dari teman-temannya itu tak pernah berhenti begitu saja. Segala sesuatu yang belum pernah usai, harus tetap dilanjutkan. Seperti memilin benang-benarng kusut dalam kisah ini. Semuanya mungkin akan terurai suatu saat ini, tapi tidak hari ini. Berkali-kali Bagas, teman bangku sebelahnya mencoba memancing emosinya. Namun, Alex belajar untuk tenang dan tak lagi melakukan kesalahan yang sama seperti dulu. Kehidupan ini memang pembelajaran baginya, barangkali dia memang ditakdirkan untuk bertahan. Kali ini, seperti dia memutar waktu menjadi dirinya yang baru dan membalikkan segalanya yang buruk di masa lalu itu menjadi sesuatu yang mungkin lebih baik. Setidaknya untuk dirinya sendiri.

"Kau tuli ya? Aku bertanya padamu, apa kau sedang menipu kami semua?" tanya Bagas terus memancing emosi Alex, "akan kubuktikan kalau kau Alex yang sama."

Alex berusaha tak menjawab apapun. Dia lebih memilih membuka buku dan peralatan belajar lengkap. Semuanya serba baru. Benar-benar bukan seperti Alex yang dulu. Biasanya dia hanya membawa satu buku saja ke sekolah. Alex sudah bertekad ingin serius belajar. Tak seperti dulu malas-malasan. Setiap hari adalah awal yang baru bagi Alex. Semua jendela kesempatan untuk memperbaikinya dibuka lebar-lebar untuknya. Kisah ini memang panggung untuknya.

Teeeeeeettttttttt~

Suara bel istirahat berbunyi. Tiba-tiba, Alex diseruduk oleh para siswi. Mereka menyentuh, mencolek dengan genit, dan duduk di sekitar Alex. tak segan mereka juga duduk mepet-mepet kepadanya. Sungguh menyebalkan, namun Alex tetap berusaha tenang. Sesekali Alex hanya bisa menahan nafas dan menghembuskan nafas dalam-dalam.

"Kau sangat mirip dengan teman kami lho," kata Dina.

"Iya, bahkan kami mengira kau Alex yang sama," Misca menimpalinya. Siapa yang tak kenal Misca? Alex menganggapnya sebagai perempuan idaman dalam bentuk paras.

"Kau sungguh tampan," Siska menimpalinya dan menyentuh pundak Alex, "jaket kulitmu juga sangat cocok denganmu. Kau kaya raya?"

Alex hanya diam seribu bahasa. Sedikit risih tapi tak bisa bergerak.

"Coba saja Alex yang dulu seperti kau. Kita pasti juga sudah naksir dia, tapi sayang dia maling," kata Dina.

Cewek-cewek itu tertawa.

Bibir Alex bergetar. Rasanya dia ingin menindas cewek-cewek sialan itu. Tetapi dia berusaha menahan diri. Ini belum saat yang tepat Alex. Batinnya. Alex mengepalkan tangannya. Dia menahan emosinya. Dia membawa nama baik Ayah kandungnya sekarang.

Yoga tiba-tiba saja berteriak. Mengusir para gadis centil itu.

"Minggir! Minggir! Minggir!Hushh.. Husshh!" kata Yoga mengusir mereka dengan tangannya. Lalu Yoga duduk di atas bangku Alex.

Alex menatapnya dengan wajah menahan marah.

"Kau yakin kau Alex baru?" tanya Yoga, "kata Bagas, kau itu Alex yang dulu."

Alex diam saja. Yoga memperhatikan penampilan baru Alex. Lalu menyentuh rambut dengan gaya barunya. Alex menghempaskan tangan Yoga dari rambutnya.

"Ohoooo... kau bahkan sama tidak sukanya padaku," kata Yoga, "kalau kau memang bukan Alex yang dulu. Jadilah temanku. Masuk ke dalam geng kami."

Yoga mendekatkan wajahnya ke wajah Alex.

"Kau mau?" Yoga mengulurkan tangannya.

Alex menatap uluran tangan Yoga. Lalu Alex menerima tangannya itu.

"Oke," kata Alex.

Yoga berdiri dan bertepuk tangan.

"Hebat! Dia mau berteman denganku," kata Yoga, "kalau begitu ayo..ikut denganku."

Yoga merangkul bahu Alex dan membawanya ke belakang sekolah. Semua teman-teman geng Yoga juga sudah menanti di sana. Yoga penguasa di sekolah ini. Tak ada yang berani melawannya. Termasuk kepala sekolah.

"Guys... ini anggota baru kita. Harus kita kerjain dulu nih... Hahaha," kata Yoga.

Mereka mengelilingi Alex. Memperlakukannya seperti mangsa. Sedangkan Alex berdiri saja, tak bergeming. Lantas, mereka mengeroyok Alex sampai babak belur. Dan Alex tak berniat untuk melawan mereka. Mereka terus memukul, menginjak, dan meninju Alex. Sampai Alex terkapar di atas tanah dengan luka dan lebam di sekujur tubuhnya. Sedangkan Yoga tertawa terbahak-bahak menonton penyiksaan dan pembullyan itu.

"Kau... kini resmi menjadi bagian dari geng kami," Yoga menarik tangan Alex.

Alex kembali berdiri dengan tegak. Mengusap bibirnya yang berdarah dengan krah seragamnya. Sejak saat itu, Alex dianggap menjadi bagian dari geng brandal itu.

***

Sepulang sekolah, Alex keluar dengan wajah penuh lebam. Empat bodyguard itu mendekat dengan cepat padanya. Pasti mereka merasa bertanggung jawab apapun yang terjadi pada Tuan Muda.

"Apa ada yang menyakiti Tuan Muda?" tanya kapten bodyguard.

Alex menggeleng.

"Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir," katanya.

"Siapa yang sudah menyakiti Tuan? Kami bisa dimarahi oleh Tuan besar, Tuan," katanya.

Alex berjalan ke samping sekolah. Tempat dia menunggu jemputan. Para bodyguard itu tetap mengikutinya dari belakang. Penampakan itu diketahui oleh Yoga dan geng. Mereka memperhatikan gerak-gerik Alex.

"Apa Alex itu bergabung dengan mafia? Bukankah tadi itu bodyguard, Bos?" tanya Bagas pada Yoga.

"Diam kau!" kata Yoga dengan kesal. Dia tak rela bila Alex tampak lebih keren darinya.

Dari jauh, Alex masuk ke dalam mobil. Ada Marco membukakan pintu seperti biasa. Yoga memperhatikan adegan Alex diperlakukan dengan sangat terhormat. Rasa-rasanya dia teringat pada sosok seseorang di masa lalu. Ini persis sama, seperti replay, kejadian yang berulang di depan matanya. Entah kenapa, Yoga merasa Alex ini adalah seseorang musuh dari masa lalu. Kebencian Yoga padanya sangat besar dan mungkin tidak akan pernah padam. Seperti api yang akan terus menjalar sekalipun dalam sekam.

"Apa yang terjadi dengan Tuan? Wajah Tuan kenapa?" tanya Marco dengan ekspresi khawatir.

"Jangan ada satu pun yang melaporkan ini pada Ayah," kata Alex pada Marco.

"Hm, baik Tuan muda. Setelah ini kita langsung ke Penthouse saja ya," ujar Marco berusaha untuk memahami situasi tua muda.

Sesampai di penthouse, seorang dokter pribadi mengobati lukanya. Selepas itu, salah seorang pelayan meminta Alex ke meja makan. Di sana sudah ada Marco. Dia menunggu Alex makan malam sendirian. Dia berpikir pasti remaja ini merasa kesepian. Meskipun hidupnya terlihat ramai, tak ada yang benar-benar tulus mencintainya.

"Paman, apa paman tidak mau makan juga? Kenapa selalu berdiri mengawasiku?" tanya Alex memperhatikan Marco.

"Saya sudah makan, Tuan muda." Marco tampak sangat santun padanya.

"Tapi aku tidak mau makan sendiri. Hidangan menu sebanyak ini? Hanya untukku?" kata Alex memutar-mutar hidangan di atas meja super besar itu. Di atas meja tresebut terdapat meja susun yang dapat diputar.

"Benar Tuan. Tuan besar ingin kami menjaga kesehatan tuan muda. Dengan menyiapkan makanan sehat dan banyak untuk masa pertumbuhan Tuan."

"Kalau begitu makanlah bersamaku," pintanya dengan wajah memohon.

Marco sedikit tidak enak. Dia sudah lama bekerja pada Ayahnya. Sekitar 20 tahun sejak usianya masih 25 tahun. Baru kali ini, dia diajak makan dengan tuannya sendiri.

"Ayo, Paman," Alex menarik tangan Marco.

Akhirnya Marco duduk juga di meja makan besar itu. Meja dengan warna keemasan dan mewah. Menjadi ciri khas isi penthouse. Di sana dipenuhi dengan pelayan-pelayan. Berdiri di sekitar Alex dan Marco.

"Paman, apa paman sudah menelepon Kak Ardhy?"

Alex mengambil sepotong daging dan menaruhnya di atas piring Marco.

"Ya, dia menawar 4 miliar harga jual rumah mendiang Nyonya," kata Marco.

Alex tampak makan dengan sangat lahap. Setiap makan memang begitu. Dia suka sekali makan. Marco terkekeh setiap kali melihat cara makan Alex. Lucu juga.

"Paman DP saja dulu, pakai surat bermaterai," kata Alex sambil mengunyah makanannya.

"Harga asli rumah itu setidaknya 3 Miliar, Tuan. Harga awal kata tuan besar 2 miliar. Kalau sekarang mungkin 3 miliar. Bahkan sepupu Tuan muda itu minta 5 miliar."

Alex berhenti mengunyah. Di terlihat berpikir keras.

"DP saja 1 miliar, Paman. Setelah itu bawa kasus ini ke jalur hukum. Itu punya Ibuku," kata Alex, "aku tahu Ayah tidak menyuruhku untuk merebutnya kembali. Tetapi itu punya ibu. Mahar dari Ayah untuk Ibu."

"Baik, Tuan muda. Jangan khawatir. Saya akan membayar DP segera pada Kakak sepupu Tuan."

Alex mengangguk saja. Kembali makan dengan lahap.

***

Esoknya. Pagi bersinar dengan cerah. Musim hujan datang, hanya rintik gerimis yang membasahi menyatu dengan embun. Suasana itu terlihat ketika Marco membuka korden. Di kamar Alex. Kamar berinterior klasik. Ranjang besar. Ornamen-ornamen mewah. Dan pilar-pilar tinggi. Di depannya ada televisi besar. Ada kursi panjang dan meja berukiran mewah dan klasik. Ada beberapa koleksi gitar dan ada juga piano. Sedangkan di sana, Alex masih meringkuk di bawah selimut tebal.

"Tuan muda, selamat pagi," ucap Marco.

Sinar matahari menyinari wajah Alex.

Alex menggeliatkan tubuhnya. Pelan-pelan matanya terbuka karena silau matahari. Dilihatnya Marco sudah berdiri di samping ranjangnya.

"Hari ini, apa jadwalku?"

"Setelah sarapan, tuan ke kantor sebelum jam 7 pagi, setelah itu Tuan ke sekolah sebelum jam 8 pagi. Pulang sekolah jam 2 siang, lalu kembali ke kantor sampai sore," kata Marco membacakan jadwal Alex dari tabletnya.

"Oke, aku bersiap dulu," katanya langsung meninggalkan Marco di kamarnya.

Beberapa saat kemudian, Alex sudah siap dengan seragam putih abu-abunya. Tak lupa juga Alex memasang jam tangan mewah dari gucci. Dia mengambil jaket LV (Louis Vuitton). Dia menggunakannya untuk melapisi seragamnya. Udara pagi ini cukup dingin. Mulai musim penghujan.

Mobil Alpard sudah masuk ke dalam kantor. Alex memimpin meeting pagi dengan menggunakan seragam SMA. Dia tak peduli tanggapan orang.

"Aku sudah mengecek blueprint kalian dari berbagai divisi. Dan kenapa strateginya sama seperti sebelumnya?" tanya Alex pada para kepala divisi di ruangan itu, "kalian tahu kan, CEO sebelumnya terlibat kasus korupsi?"

"Iya boss, kita sudah mempertimbangkan kalkulasinya. Minyak yang dikirim dari Arab dan pengeboran dalam kerjasama Arab-Indonesia itu berbeda," karyawan ini dari divisi produksi, dia terus membantah.

"Kalau begitu, aku minta divisi produksi dan divisi keuangan sinergi. Biar gak ada lagi kasus korupsi. Administrasinya harus transparan. Aku gak mau ya, minyak yang dibor sekian barel tapi ternyata yang dijual berbeda barel. Jangan mentang-mentang aku masih remaja dan jangan membodohiku."

Setelah rapat 30 menit selesai. Alex di antar ke sekolah sebelum jam 8. Seperti biasa, Alex turun dari mobil agak jauh dari sekolah. Lalu berjalan kaki sebentar.

Seluruh penjuru sekolah tampak heboh dengan kehadirannya. Iya, Alex pakai Louis Vuitton ke sekolah. Jaket keluaran Louis Vuitton terbaru. Jaket mahal dan hanya orang-orang tertentu mampu membelinya. Itu edisi limited edition.

"Alex...Alex.. Alex...!" terdengar suara para gadis di sekolah itu histeris memanggilnya.

Alex menjadi idola baru para siswi di sekolah.

ALEX...!

ALEX...!

ALEX...!

Mereka terus memanggil histeris. Bahkan ada yang mengejar dan membuntutinya. Semua orang memanggil dan memujanya. Dengan cepat terkenal sekali lagi. Semua cewek-cewek menyambutnya, menggandengnya, dan mengantarkannya ke kelas.

Puspa atau panggil saja Pupus mendengar rumor, kalau ada murid baru mirip Alex. Dan dia kaya raya. Puspa sengaja menunggu kehadiran murid baru itu. Dia berpikir mana mungkin Alex jadi orang kaya raya? Pupus penasaran dengan rumor itu.

"Hei! Berhenti!" Pupus meneriaki Alex dengan berkacak pinggang.

Alex menghentikan langkahnya. Itu Pupus, batinnya. Alex sangat mengenalnya. Kakak sepupunya ini super galak saat dirinya dulu tinggal bersama mereka.

"Kau masih hidup rupanya," kata Pupus saat Alex membalikkan badannya.

Alex menatap gadis 17 tahun itu dengan dingin.

"Maaf, apa maksudmu?" tanya Alex baik-baik. Walaupun sebenarnya dia ingin meneriakinya juga. Gadis ini pasti akan selalu menyebalkan.

"Kau pasti Alex maling itu kan?!" pekik Pupus dengan mata mendelik, "gara-gara kau, Ayahku meninggal!"

"Kau siapa sih?" kata Alex pura-pura tak mengenalnya.

"Pembunuh!" pekiknya.

"Tak berguna!" kata Pupus lagi.

Alex meninggalkan Pupus. Tak mendengarkan sumpah serapahnya. Dasar! Masalah keluarga dia bawa juga ke sekolah. Alex hanya bisa menggeruti dalam hati.

Alex sudah sampai di kelas. Dia masih dikelilingi cewek-cewek itu. Yoga menyambutnya dengan membawa kayu pemukul badminton. Dia menepuk-nepukkan kayu itu di hadapan Alex. Begitu juga dengan teman-teman geng Yoga. Mereka juga membawa kayu pemukul badminton. Semua cewek yang mengikutinya tadi langsung mundur teratur.

Mereka pasti bakal bertengkar. Pasti Yoga ingin menghajar Alex. Semua siswa sudah bisa menebak endingnya setiap pertemuan Yoga dengan siapapun.

"Mau apa kalian?" tanya Alex.

"BACOT!!!!" pekik Yoga.

BUG!!!

Yoga memukul punggung Alex dengan pemukul badminton itu dengan keras.

***

 

 to be continued...