webnovel

Terlahir Kembali: Dokter Genius Cantik

“Fariza… Fariza-ku yang malang. Kenapa kamu begitu bodoh?” Suara tangisan tersedu-sedu membangunkan Fariza dari tidurnya. "Di mana aku?" Yang dia ingat hanyalah dia telah memenangkan Hadiah Nobel pertama dalam pengobatan tradisional, dan tertabrak oleh sebuah truk besar saat perjalanan pulang. Kini dia mendapati dirinya terlahir kembali pada tahun 1980an di tubuh orang lain yang memiliki nama yang sama dengannya. Ternyata kehidupannya sebagai Fariza yang baru saat ini ternyata sangat buruk. Dia, adik, dan ibunya diperlakukan tidak adil oleh ayah kandungnya serta keluarga dari selingkuhan ayahnya. Dengan kecerdasan dan pengalamannya dari abad 21, Fariza yang sekarang tidak takut menghadapi semua permasalahannya dan perlahan-lahan membereskannya satu per satu.

MikaZiyaddd · Urbain
Pas assez d’évaluations
119 Chs

Anak Itu Seenaknya Sendiri!

"Tak diduga, itu memang dia." Satria bersandar pada mobil dan tiba-tiba tersenyum, "Sepertinya tugas kita hampir selesai." Dia benar-benar tidak senang untuk menyelesaikan tugas dengan begitu cepat.

"Kakak iparku luar biasa. Dia meminta wanita tua itu untuk menyebutkan nama Edi hanya dalam beberapa kata. Satria, kenapa kamu tidak ke sana dan menemui kakak ipar? Apakah kamu tidak ingin membantunya?" Adimas menatap kerumunan yang ramai tidak jauh dari sana. Setelah menyingsingkan lengan bajunya, dia ingin bergegas.

"Tidak." Satria sedikit mengerutkan keningnya, "Kakak iparmu tidak akan butuh bantuan dari kita."

"Ya, kamu benar-benar mengenal kakak ipar."

"Tentu saja." Satria mengangkat alisnya dengan bangga dan menatap Adimas. Namun, dia merasakan kesedihan di dalam hatinya. Apakah mereka tidak punya malu? Bisakah mereka berhenti memanggil Fariza sebagai jalang dan memperlakukannya dengan baik?

Di sisi lain, Yuli masih berdebat, "Kamu tahu, alangkah baiknya jika seseorang bersedia menikah dengan gadis yang memiliki reputasi seperti dirimu. Selain itu, Edi tidak memiliki hubungan darah denganmu. Kenapa kamu tidak bisa bersama dengannya, hah?"

"Nyonya yang terhormat, apakah kamu tidak tahu malu? Dia tetap saja pamannya." Wawan hendak bergegas untuk berdebat dengan Yuli, tetapi lengan bajunya ditarik oleh keponakannya. Dia memandang Fariza dengan curiga, tetapi dia melihatnya tiba-tiba tersenyum dan berkata, "Nenek, apa nenek berkata bahwa apa yang terjadi hari itu ada hubungannya denganmu?"

"A-apa… Kamu tidak masuk akal!" Mata Yuli tiba-tiba berubah. Dia berkedip berulang kali.

Wawan segera mengerti maksud keponakannya, dan tiba-tiba berteriak, "Hei, kamu telah mengakui bahwa kamu adalah kaki tangan dari Gita yang sudah dibawa polisi itu, kan? Kamu bekerja sama dengannya untuk menjual cucumu sendiri pada seorang pria."

Orang-orang di sana yang sudah lama melihat pertengkaran antara dua keluarga ini segera bergegas setelah mendengar perkataan Wawan. "Tempat ini tidak jauh dari kantor polisi. Aku akan melapor, biar dia jongkok di balik jeruji besi seumur hidupnya!"

Melihat salah satu dari mereka hendak pergi ke kantor polisi, Yuli tiba-tiba panik, "Dia hanya berbicara omong kosong. Apa yang terjadi pada menantu perempuanku benar-benar tidak ada hubungannya denganku. Itu bukan salahku sama sekali! Oh, serangan jantungku sepertinya kambuh, aku harus pergi untuk istirahat." Setelah berbicara, dia bersembunyi di belakang putranya dengan memegang dadanya.

Jaka memandang Fariza dengan marah, tetapi tidak berani berbicara lagi. Keributan itu berakhir dengan cara ini, dan penonton secara bertahap menghilang ketika mereka melihat bahwa tidak ada lagi hal menarik untuk ditonton di sini.

Seiring dengan berlalunya waktu, antrean di depan untuk menyetor hasil panen menjadi semakin pendek. Fariza melihat seluruh prosesnya dengan sangat jelas. Ketika memeriksa biji-bijian, ada seorang petugas dengan baju merah. Dia memegang besi berbentuk sekop berukuran kecil di tangannya dan menusuknya ke dalam kantong jagung, lalu menariknya keluar lagi hingga mengeluarkan banyak jagung.

Petugas ini mengambil beberapa biji-bijian dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam mulutnya untuk dikunyah hingga membuat suara berderit. Kemudian, dia menentukan apakah biji-bijian tersebut memenuhi persyaratan. Yang memenuhi persyaratan akan lolos, dan yang tidak memenuhi persyaratan harus dikembalikan dan dijemur lebih lama. Untuk melakukan ini, pasti akan membuang banyak waktu. Jadi, mereka yang tidak memenuhi persyaratan pasti akan sedih saat pergi.

Gerobak Keluarga Juwanto ada di depan Wawan. Jagung mereka mungkin lebih baik, dan mereka lolos. Setelah mendapatkan uang, Yuli sudah lupa bahwa dia hampir memasuki kantor polisi tadi. Dia menunjukkan tatapan penuh kemenangan pada Wawan, kemudian pergi menjauh.

Satu jam setelahnya adalah giliran Wawan. Saat itu hampir tengah hari, dan para petugas yang bekerja di sana sedang lapar. Oleh karena itu, suasana hati mereka menjadi buruk. Setelah pemeriksaan, petugas yang memeriksa biji-bijian milik Wawan langsung berkata dengan wajah serius, "Tidak memenuhi syarat."

Wawan buru-buru menghapus senyumnya, "Pak, lihat ukuran jagungku. Bagaimana ini bisa tidak lolos? Anda bisa memeriksanya lagi."

"Kami tidak punya banyak waktu, cepat kembali!" kata petugas itu dengan ekspresi tidak sabar.

Fariza sedikit mengernyit. Biji-bijian ini awalnya disiapkan untuk dijual ke sini. Jagung yang ditanam di tanah telah dipilih secara khusus dan dijemur selama beberapa hari sebelum dimasukkan dalam kantong. Bagaimana bisa tidak memenuhi persyaratan? Banyak jagung yang sebelumnya berkualitas tidak sebaik jagungnya, tapi lolos. Sepertinya ada yang tidak beres.

Wawan dan Fariza saling memandang. Wawan mengeluarkan rokok yang telah disiapkan sejak lama untuk mengatasi rasa sakit di hatinya. Pada saat ini, seseorang dengan penampilan seperti pemimpin buru-buru berjalan ke tempat penyetoran hasil panen. Setelah dia membisikkan sesuatu di telinga petugas pemeriksa biji-bijian, ekspresi petugas itu langsung berubah.

Petugas itu menatap Wawan dan Fariza, lalu mengangguk ke atasannya. Ketika kembali, sikapnya jelas berubah. Tidak hanya dia menjadi lebih sabar dari sebelumnya, tetapi dia juga memberikan sanjungan yang jelas pada Wawan dan Fariza, "Tuan dan nona, maaf saya salah barusan. Biji-bijian milik kalian adalah biji-bijian kelas satu, dan itu memenuhi syarat."

"Apa, biji-bijian kelas satu?" Wawan tiba-tiba menatap kaget. Matanya tidak bisa menutup. Dia awalnya berpikir akan cukup bagus jika hasil panennya bisa lolos, tapi dia tidak menyangka biji-bijian miliknya akan dinilai sebagai biji-bijian kelas satu.

Wawan tampak bingung, dan bahkan lupa untuk memindahkan jagungnya ke lumbung di tempat penyetoran. Para petugas yang memeriksa biji-bijian tidak marah, tetapi malah memperlakukan Wawan dengan baik dan membantunya memindahkan biji-bijian itu.

Perlu diketahui bahwa para petugas di tempat penyetoran hasil panen selalu merasa mereka berada di atas. Mereka mengandalkan identitas mereka sendiri untuk menggertak petani yang datang untuk memberikan hasil panen. Para petani selalu marah, tetapi tidak berani berbicara. Bahkan Wawan, seorang pria jangkung dengan otot menonjol ini, tidak bisa melawan mereka, apalagi orang lain.

Ini adalah pertama kalinya Wawan melihat proses penyetoran hasil panen menjadi sangat mulus setelah bertahun-tahun dia pergi ke sini. Jadi, sampai dia keluar dari tempat itu, pikirannya masih sedikit tidak karuan.

"Paman, Fariza." Melihat mereka berdua telah selesai menyetor hasil panen, Satria menghampiri dan berkata.

"Kamu baru saja membantu kami," kata Fariza. Dia menggunakan kalimat pernyataan, bukan kalimat tanya. Fariza tahu bahwa pasti Satria yang telah berbicara pada para petugas itu, jika tidak, tidak mungkin mereka mengubah sikapnya begitu cepat.

"Jangan terlalu berterima kasih padaku. Adimas dan aku ada yang harus dilakukan, kami kembali dulu." Satria berbalik dan masuk ke dalam jip setelah menunjukkan senyum pada Fariza.

Wawan tiba-tiba bereaksi dan bertanya dengan heran usai melihat Satria dan Adimas pergi, "Anak itu yang membantu kita tadi?"

"Siapa lagi yang ada di sana selain dia?" Fariza mengangguk, dan sudut bibirnya tanpa sadar tersenyum.

"Anak itu seenaknya sendiri." Wawan memberikan keluhannya sambil mengemudikan gerobak keledainya. Dia punya firasat bahwa Fariza tidak akan bertahan lama di keluarganya. Satria pasti akan segera membawanya pergi dari rumah.

____

Kantor polisi.

Jip berwarna hijau itu diparkir di depan pintu kantor polisi. Saat pintu mobil terbuka, orang pertama yang keluar adalah pria berusia 30-an. Adimas telah mengikat tangan pria itu di belakangnya dengan borgol, jadi dia tidak bisa bergerak.