webnovel

Takdir Cinta Diandra

Di saat cinta diuji hanya ada dua pilihan, bertahan atau lepaskan

Phat_Cute · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
8 Chs

Teman Lama

POV Diandra

"Besok aku jadi berangkat ke Sumatera sama Jhoni dan Dion. Mau lihat lokasi proyek yang baru," ucap Abimanyu sesaat setelah mobilnya berhenti di depan rumah.

"Berapa lama?"

"Satu minggu."

"Aku ikut, ya!" rengekku.

"Nggak bisa, Sayang. Lokasinya masih di pedalaman. Jauh dari kota. Kami menginap juga bukan di hotel, cuma di penginapan biasa. Aku khawatir kamu nggak betah."

"Bilang aja, kamu mau senang-senang sama mereka."

Abimanyu tidak menjawab. Ia membuatku berbalik melihatnya, dan sekarang wajah kami begitu dekat. Ia mengunci netraku. Tiba-tiba tangannya mendorong kepalaku, dan sekarang sudah tidak ada jarak di antara kami.

Abimanyu menciumku awalnya lembut, tapi begitu aku merespon, ciumannya menjadi panas, dia melumat habis bibirku.

Ciumanya terhenti saat kami membutuhkan asupan oksigen untuk bernapas.

Abimanyu menangkup wajahku, dengan kedua tangannya, ibu jarinya mengusap lembut bibirku, sambil menatapku dalam.

"Percaya sama aku. Aku janji nggak akan ngulangin kesalahan lagi," ucapnya tanpa berpaling dari menatapku.

"Janji nggak akan macam-macam di sana!"

Abimanyu mengangguk cepat. Lalu mencium keningku.

"Nanti kalau sudah jadi proyeknya, aku baru bisa ajak kamu. Sekalian kita liburan ke Pulau Pahawang."

Aku tersenyum dan mengamini ucapannya.

"Aku masuk, ya. Salam buat Mami," pamitku sebelum turun dari mobil.

"Langsung tidur, nggak usah mikir macam-macam. Salam juga buat Ayah dan Bunda, maaf nggak bisa mampir," sahutnya.

Setelah memastikan aku masuk ke dalam rumah. Abimanyu baru menjalankan mobilnya.

***

Jam enam pagi, Supir kantor Abimanyu sudah menjemputku. Semalam aku meminta agar dibolehkan mengantarnya ke Bandara.

Awalnya ia keberatan, tapi dengan berbagai alasan akhirnya menginjinkan juga aku untuk mengantarnya.

"Pagi, Sayang," sapa Mami saat aku tiba di rumahnya.

"Pagi, Mi," sahutku kemudian mencium punggung tangan Mami. "Abi di mana Mi?" tanyaku karena tidak melihat keberadaannya.

"Sedang menerima telepon di kamarnya," jawab Mami. "Kita sarapan dulu!" ajak Mami padaku.

"Diandra, mau ketemu Abi dulu, ya, Mi," ucapku.

"Belum ditinggal, udah kangen aja!" seru Mami menggodaku.

"Diandra permisi, ke atas, ya, Mi."

"Iya, Sayang."

Pintu kamarnya tidak tertutup rapat. Samar aku mendengar suara Abimanyu. Perlahan aku membuka pintu, ia sedang duduk di pinggiran ranjang sambil menelepon.

Wajahnya keliatan tegang. Saat melihatku muncul di balik pintu. Ia sedikit terkejut dan langsung memutuskan teleponnya.

"Kenapa nggak nunggu di bawah aja?" tanyanya sambil berjalan ke arahku.

"Cuma mau memastikan kalau kamu sudah siap," jawabku.

"Aku sudah siap dari pagi, Sayang. Semua keperluanku juga sudah di siapkan Mami," sahutnya setalah mencium keningku.

"Telepon dari siapa?" tanyaku sambil merapikan kerah kemejanya.

"Jhoni. Ia cuma mamastikan kalau aku sudah bangun," jawabnya.

Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Kalau aku menanyakannya saat ini bukanlah waktu yang tepat.

Selesai sarapan kami langsung menuju Bandara. Jhoni dan Dion sudah lebih dulu sampai. Mereka menunggu di cafetaria.

"Hai, Cantik, kenapa tidak ikut sekalian?" sapa Dion padaku.

"Kalau Diandra ikut yang ada kalian kerja berdua, kami bulan madu," sela Abimanyu membuat Dion melepaskan tawanya.

"Sayang, kenalkan ini Jhoni!" Abimanyu memperkenalkan aku dengan Jhoni sahabat sekaligus rekan bisnisnya.

"Jhoni," ucapnya mengulurkan tangan padaku.

"Diandra," sahutku menjabat tangannya.

"Pantesan temanku tobat, ketemu bidadari rupanya," ungkap Jhoni setalah kami berjabat tangan.

"Gue kalau dapat yang kaya gini juga bakalan tobat, Jhon," timpal Dion.

"Mana ada cowok brengsek kaya lu, tobat!"

"Lah, itu buktinya, kurang brengsek apa coba si Abi dulu. Berapa banyak cewek dibuatnya patah hati," celoteh Dion, yang membuat aku jadi penasaran dengan masa lalu Abimanyu.

"Hai, semua!!" sapa seorang wanita cantik, berpenampilan seksi pada kami semua.

"Wow ... beautiful!" seru Dion takjub saat wanita itu sudah berada di tengah-tengah kami.

Wanita itu menyapa Jhoni dan Dion dengan ciuman di pipi. Saat menyapa Abimanyu ia mengulurkan tangan. Wajah Abimanyu terlihat masam. Ia seperti tidak suka dengan kehadirannya.

"Ini pasti Diandra," sapanya padaku.

"Hai," sahutku dengan menjabat tangannya.

"Aku Marisa, kebetulan aku ikut bekerjasama dengan mereka."

Aku meresponnya dengan senyuman. Karena baru kali ini kami bertemu.

Suasana yang tadinya hangat tiba-tiba berubah canggung sejak Marisa ada diantra kami. Dion sibuk dengan ponsel di tangannya. Jhoni terlihat mengobrol dengannya.

"Langsung pulang ke rumah. Nggak usah ke kantor. Aku akan menghubungimu setelah sampai di sana." Pesan Abimanyu sebelum masuk ruang tunggu.

"Kamu juga, jangan telat makan. Jangan begadang dan keluyuran malam."

Abimanyu tersenyum dan mengangguk lalu mencium keningku cukup lama.

"Kuatkan iman hambaMu ini Tuhan!" ucap Dion sambil melewati kami. Disusul Jhoni dan Marisa di belakangnya.

"Love you," ucap Abimanyu lagi setelah mengecup singkat bibirku.

Setelah Abimanyu masuk ke dalam ruang tunggu, aku langsung kembali ke rumah, seperti pesannya, aku langsung tidak pergi ke kantor hari ini.

Selama di sana, Abimanyu tidak lupa memberi kabar padaku. Menceritakan apa saja yang ia lakukan selama di sana.

***

Urusan mereka yang diperkirakan waktu selama satu Minggu ternyata selesai lebih cepat. Abimanyu bilang besok mereka akan kembali ke Jakarta.

"Dek!" Terdengar suara Bunda memanggilku.

Perlahan aku membuka mata, yang masih ingin terpejam. semalaman aku tidak bisa tidur, menunggu kabar dari Abimanyu. Tapi sampai aku lelah dan akhirnya terlelap ia tidak juga menghubungiku.

"Iya, Bun," sahutku segera turun dari ranjang.

Sosok Bunda muncul di balik pintu. "Ada apa Bun?" tanyaku sambil menguncir rambut.

"Abi barusan telepon, ia bilang ponselmu tidak bisa dihubungi," jawab Bunda.

Aku baru ingat kalau semalam lupa tidak mencharger ponsel.

"Makasih, Bun. Adek mandi dulu, nanti baru telepon Abi."

"Ya sudah, abis itu turun, Ayah nungguin, mau sarapan bareng."

"Iya, Bun," sahutku kemudian.

Selesai mandi dan sarapan, aku langsung meneleponnya. Ia bilang semalam begitu sampai di rumah langsung tidur karena kelelahan.

Setelah merapikan bekas makan, aku menyusul Ayah dan Bunda ke ruang tengah.

"Dek, kapan Abi akan meresmikan hubungan  kalian?" tanya Ayah saat kami sedang menonton siaran televisi.

"Abi bilang, setelah urusan proyek yang di Sumatera selesai, Yah," sahutku.

"Katakan sama Abi, jangan ditunda lagi, kalian kan sudah lama berhubungan." Ucapan Ayah pelan tapi penuh penekanan.

Hubungan aku dan Abimanyu memang sudah lumayan lama. Wajar saja kalau Ayah menanyakan hal ini. Karena Ayah tidak mau kalau Abimanyu cuma bermain-main denganku.

"Iya, Yah, nanti adek sampaikan ke Abi," sahutku.

Hari ini rencananya Abimanyu akan mengajakku keluar, tapi aku menolaknya. Aku menyuruhnya beristirahat saja di rumah.

***

"Pagi cantik!" sapa Dion yang sudah berdiri di depan meja kerjaku.

"Pagi, Pak. Ada yang bisa saya banting," sahutku meledeknya.

"Hahaha ...." Ia tertawa lebar.

"Tambah cantik aja, sih. Pantesan si Abi betah banget kalau sudah di kantor," ucapnya setelah tawanya reda.

Aku merespon dengan tersenyum miring padanya, dan lagi-lagi membuatnya terkekeh.

"Pagi, Sayang!" sapa Abimanyu yang baru saja muncul.

"Pagi," sahutku singkat, karena sedang fokus pada komputer di depanku.

"Kapan ya, aku punya sekertaris kaya kamu, Di?" ungkap Dion dengan wajah memelas.

"Jangan ngimpi!" ucap Abimanyu sambil memukul wajah Dion dengan map yang ada di mejaku.

Aku tidak bisa menahan tawa melihat reaksi kesal Dion. Sementara Abimanyu malah meninggalkan Dion begitu saja masuk ke ruangannya.

"Di, kalau kamu sudah bosan sama bos di sini, bilang aku," ucapnya sambil menaikan sebelah alisnya.

"Mau ini lagi?" tanyaku sambil mengangkat map yang tadi Abimanyu pakai untuk memukul wajahnya. Yang membuat tawanya pecah.

"Dion cepat masuk, atau aku akan membatalkan kerja sama kita!" Abimanyu berteriak dari dalam ruangannya.

"Waduh, pawangnya ngamuk, kabur ahh!" Dion pun langsung bergegas masuk ke ruangan Abimanyu.

Aku tersenyum melihat tingkah kedua laki-laki itu. Di kantor atau di luar, Dion memang akrab dengan kami.  Mereka bersahabat sejak di bangku kuliah.