webnovel

Tertangkap Basah

Andini berjalan dengan sangat hati-hati, setiap langkahnya sebisa mungkin selalu di temani dengan tatapan was-was dan hati-hati. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak bertemu dengan Gibran diluar jam mengajar dan les tambahan.

Sikap itu diambil oleh Andini akibat permintaan konyol Gibran malam itu. Sampai saat ini saja dia masih terus terngiang-ngiang dengan suara Gibran yang meminta Andini untuk menjadi pacarnya. Jelas saja Andini akan menolak keras permintaan Gibran tersebut, karena dirinya tidak akan mau berpacaran dengan brondong seperti Gibran.

"Dia tidak mungkin datang sepagi ini kan?" Andini bertanya dalam hati, ia melihat ke arah tempat Gibran biasa memarkir mobilnya. Saat dirasa aman, barulah Andini berjalan cepat memasuki gerbang sekolah. Dia bahkan sengaja berangkat jam 6 pagi disaat belum ada siswa satupun yang datang.

Ia terus menengok ke kanan dan ke kiri, menjaga sosok Gibran bisa saja seperti hantu yang muncul tiba-tiba. Saat dirinya sudah dekat dengan ruang guru, barulah Andini bisa bernapas lega.

Ia melangkahkan kaki dengan lebih tenang menuju keruangan guru, tapi seketika Andini berteriak.

"Huaaaaahh.." teriakannya menggema di ruangan itu.

Gibran terlihat sudah duduk manis dikursi tempat Andini biasanya duduk, dia langsung tersenyum lebar sambil mengangkat tangan kanannya seolah sedang menyapa Andini.

"Hay." Sapa Gibran.

Andini memegangi bagian dadanya karena terkejut, hampir saja dia jantungan karena ulah Gibran.

'Ya Tuhan, ampunilah dosaku.' ucap Andini sebelum akhirnya masuk menuju ke mejanya, ia tidak merespon sapaan Gibran pun tidak menganggap keberadaan Gibran.

"Tumben ibu datang sepagi ini?" tanya Gibran, Andini hanya diam tidak merespon dalam hati ia heran mendengar Gibran untuk pertama kalinya memanggilnya dengan sebutan ibu.

'Harusnya aku yang bertanya kenapa kau yang selalu datang terlambat, sekarang justru datang sepagi ini?' Andini menjawab pertanyaan Gibran tapi hanya dalam hati.

Andini langsung menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya, dia bahkan tidak meminta Gibran untuk menyingkir dari kursinya. Dibiarkannya Gibran tetap duduk disana seolah-olah dia tidak ada.

"Apa ibu sedang sibuk? Ayolah ini masih terlalu pagi untuk urusan tugas sekolah anak-anak itu." protes Gibran, ia ingin Andini hanya mengobrol dengannya pagi ini.

'Aku memang sangat sibuk! Jadi pergilah sekarang jugaaaa.' Lagi-lagi Andini hanya menjawab dalam hati. Sepertinya dia benar-benar gemas dengan tingkah Gibran kali ini.

Andini terus memeriksa setiap buku para siswa dikelas mata pelajarannya, itu adalah tugas yang Andini berikan dan sudah dikumpulkannya sejak kemarin, namun belum habis diperiksanya.

Gibran tau Andini tengah mengabaikannya. Tiba-tiba pandangan Gibran tertuju pada kotak bekal yang tadi dibawa oleh Andini, dengan cepat tangannya menyambar kotak itu. Andini sontak mencegahnya.

"Jangan!" Seru Andini dan langsung menarik kotak itu dari genggaman Gibran.

"Akhirnya bu guru satu ini bicara juga."

Rupanya Gibran sengaja menyentuh kotak bekal itu untuk membuat Andini mau berbicara dan fokus kepadanya. Andini mendengus sebal, kekesalannya sudah sampai ke ubun-ubun.

"Aku hanya ingin melihat bekalmu saja." Jelas Gibran.

Krrruuukkkkk...

Suara perut Gibran terdengar jelas didalam ruangan sepi yang hanya ada mereka berdua disana. Andini sontak menahan tawanya dan Gibran langsung memegangi perutnya dengan wajah malu.

"Jangan tertawa! Apa kau tau aku sampai tidak sarapan karena pergi ke sekolah sepagi ini? Huhhh ini rekor tercepatku kesekolah sejak aku jadi siswa disekolah ini." Gerutu Gibran sambil memanyunkan bibirnya.

"Ehh, kenapa kau berhenti memanggilku dengan sebutan ibu?" Kali ini Andini sudah mau merespon Gibran.

"Hmmm, siapa suruh kau mengabaikan ku disaat aku sudah berusaha bersikap baik padamu!"

Krruuukkk.. krruuukkk..

Lagi-lagi suara perut Gibran menggema, membuat Gibran semakin malu saja. Akhirnya dengan berat hati Andini menyerahkan kotak bekal itu ke hadapan Gibran.

"Makanlah."

Andini menyuruh Gibran untuk memakan makanan yang dibawanya langsung dari rumah.

"Kenapa?" Gibran bertanya dengan rasa heran.

"Kenapa apanya sih? Kau mau makan tidak?"

"Yah aku bertanya karena tadi kau mencegahku untuk menyentuhnya, kenapa sekarang diberikan padaku?" Gibran terus bertanya hal yang tidak penting menurut Andini, membuat Andini seketika berubah pikiran.

"Yah sudah kalau tidak mau makan."

Saat Andini akan menarik kotak bekal itu, Gibran spontan menahannya. Andini memicingkan matanya, ia kembali menarik kotak bekal itu. Tapi Gibran terus menahannya.

"Jangan diambil! Akan aku makan." Ucapnya dengan suara lugu. Andini memutar bola matanya karena jengah, akhirnya dilepaskannya kotak itu untuk Gibran.

Segera Gibran membuka kotak bekal itu, mata Gibran berbinar melihat nasi goreng didalam kotak bekal. Ini adalah makanan kesukaan Gibran. Dengan cepat ia langsung melahapnya.

Andini menatap Gibran dengan sedikit lucu, seorang Gibran kini terlihat menyantap makanan dengan lahap Dihadapannya. Rasanya Andini tidak bisa percaya dengan pemandangan ini. Tiba-tiba Andini terpikirkan sesuatu.

"Kenapa kita jadi seperti orang pacaran?" batinnya heran, dengan cepat ia menepis pikiran itu.

"Hmm. Kau pintar masak juga rupanya." Gibran berbicara bahkan saat mulutnya dipenuhi oleh makanan. Andini terlihat tidak menggubris pujian dari Gibran.

"Besok bawakan aku makanan lagi yah." Imbuh Gibran yang membuat Andini langsung menatap tajam ke arahnya.

"Jangan seenaknya memerintah—"

"Uhuk.. uhukkk.. air!" Gibran tersedak membuat Andini sontak panik.

"Aduh kau ini!" Dengan cepat Andini mengambil botol air minum miliknya kepada Gibran, Gibran menenggak air itu hingga tandas. Lehernya bahkan sampai basah karena air minum.

Andini yang melihat itu tanpa pikir panjang mengambil tissu dimejanya, dia mengelap leher dan mulut Gibran yang basah.

"Kalau makan minum jangan kayak anak kecil dong, sudah besar masih saja kaya anak kecil." Protes Andini, Gibran terdiam mendapat perlakuan itu dari Andini.

Tatapannya tertuju pada wajah cantik Andini saat itu.

'Sial, ternyata memang cantik! Pantas saja ayahku mulai tertarik.' Batin Gibran.

Jantungnya saat ini bahkan terdengar seperti tabuhan genderang. Gibran merasa Andini mungkin akan bisa mendengar suara debarannya dengan jarak sedekat ini.

'Sadarlah Gibran.' Batin Gibran berusaha mengontrol jantungnya yang sudah berlebihan detakannya.

Diraihnya tangan Andini agar berhenti mengelap sisa air di mulut dan lehernya, tepat saat tangan Andini hendak mengelap bagian atas bajunya yang juga terlihat basah.

Andini seketika memelototi Gibran. "Lepaskan tanganmu dariku!" Perintah Andini.

"Eeheemm.." Gibran berdehem dan langsung melepaskannya. "Jadi menurutmu aku sudah besar? Berarti kalau aku sudah besar aku boleh jadi pacarmu, bukan begitu?" Gibran bertanya dengan begitu berani, padahal debaran jantungnya sendiri sudah tidak mampu dikontrolnya.

Ia spontan menanyakan hal itu karena jika terus diam mungkin Andini akan bisa melihat wajahnya yang memerah menahan malu saat ini.

"Jangan mimpi!" Andini menyahut dengan tetap tenang, meski dalam hati gugup setengah mati. Tapi tidak akan dibiarkannya Gibran melihatnya menahan malu dengan wajah yang merah padam.

Saking gugupnya, tanpa sadar tangan Andini terus saja mengelap baju Gibran yang bahkan tidak seberapa basahnya, ia bahkan menundukan kepalanya mencegah pertemuan mata dengan Gibran. Gibran tersenyum miring mendengar ucapan Andini.

'Kita lihat saja nanti, tidak akan ku biarkan ayahku yang memenangkan hatimu.' Kata Gibran dalam hati.

Ditengah suasana canggung itu, terdengar suara yang mengagetkan Andini juga Gibran. Rupanya beberapa guru sudah tiba, ada siswa juga yang sengaja datang ke ruangan itu untuk mengantar tugas dimeja guru sebelum bel apel pagi berbunyi. Mereka tidak berani masuk karena melihat Gibran disana bersama dengan Andini.

Mata mereka membelalak menyaksikan Andini menyentuh wajah dan pakaian Gibran. "Bu Andini." Itu adalah suara dari bu Widya. Dia terlihat sama kagetnya dengan yang lain.

Meja Andini yang berada disudut ruangan, juga percakapannya dengan Gibran sedari tadi membuatnya tidak memperhatikan sekeliling. Dia bahkan sampai lupa bahwa ini adalah tempat para guru berkumpul.

Dua orang guru dan juga 2 orang siswa terlihat menatap tidak percaya ke arah Gibran dan Andini.

"Ya ampun, mampuslah aku!" gumam Andini pelan dengan wajah pucat. Sementara Gibran terlihat santai seolah tidak ada hal yang perlu dikhawatirkannya.