"Oh, kamu sudah selesai?" sambut Nara.
"Maaf, kemungkinan aku tak lagi menangani kasus Ardita Pramana."
"Lantas, apa masalahnya dengan itu, bukankah penyidik-penyidik lainnya akan menggantikanmu?"
"Aku tak yakin, bahkan kasus ini bisa saja ditutup secara tiba-tiba. Ya, ini lah yang terjadi di dalam ... yang tak diketahui banyak orang."
"Hah ... mengapa bisa begitu!"
"Karena uang menguasai segalanya ... Dokter, jaga dirimu baik-baik! Kita tak tahu apa yang akan terjadi nanti, oke!" pesan Sapto.
Seluruh file yang ada di dalam memory itu, telah disalin oleh Nara ke dalam ponsel miliknya secara diam-diam saat Sapto meninggalkan ruangan itu. Ia meninggalkan kantor investigasi itu karena masih harus melanjutkan pekerjaannya di rumah sakit.
***
Mobil ambulance silih berganti melewati parkiran lobby rumah sakit Sanita Group. Pasien-pasien berdatangan dengan mulut berbusa menumpuk pada satu ruangan entah apa yang menjadi penyebabnya. Rendra dan Vivi harus bolak-balik mengelap keringatnya, sedangkan Darril tak menampakan jejaknya di rumah sakit itu sejak pagi. Nara yang baru datang pun harus turun tangan. Dua puluh delapan pasien terindikasi keracunan, sebagian besar kritis, hingga harus di tandu ke ruangan khusus.
"Bukankah seragam ini ...." gumam Nara.
"Dok, cepat kemari ... bantu aku!" teriak Vivi.
"Astaga ... banyak sekali!"
Pasien terus berdatangan dari ambulance, empat ruangan umum yang disediakan tak lagi menampung untuk jumlah pasien yang baru datang.
"Dok, harus bagaimana kita ... ruangan kita terbatas!"
"Entahlah, lebih baik kita tangani dulu yang kritis!"
Dokter-dokter rumah sakit itu terlihat kewalahan dengan lima puluh enam total pasien terkini, namun pasien masih terus bertambah dari mobil ambulance yang datang.
"Tenda darurat dan peralatan medis siap, ndan!"
"Kerja bagus!" Ucap Sapto yang sibuk mengerahkan pasukannya. Ia membawa tenaga medis dan beberapa relawan dari rumah sakit polisi untuk membantu rumah sakit Sanita.
"Segera lakukan investigasi setelah hasil laboratorium keluar," tegas Sapto dari balik jendela mobilnya.
"Siap, ndan!"
Suara ambulance menggema di lobbi rumah sakit memecahkan telinganya, memaksa Sapto tuk segera memarkir mobilnya. Jemari di atas kemudinya mulai gemetar akibat reaksi terhadap luka di bahu dan punggungnya yang dipaksa untuk bergerak. Sebotol minuman di dashboard mobilnya menghilangkan reaksi itu walau sejenak. Sapto berjalan seperti mayat hidup menemui dokter-dokter itu. Di setiap bilik, ia mewawancarai pasien dan Dokter. Pasien-pasien yang didominasi oleh buruh pabrik itu mengaku sempat makan nasi kotak yang disediakan perusahaan sebelum akhirnya mengalami mual dan pingsan. Mereka mengira bahwa makanan yang diberikan telah mengandung racun.
"Dok, kami butuh salinan hasil laboratorium terkait kasus ini. Aku akan mengambil sampel dari pabrik itu," pamitnya pada salah satu Dokter.
Sapto membawa dua anak buahnya bersamanya menuju pabrik tempat buruh-buruh itu bekerja.
"Bukankah ... oh, ternyata dia yang membawa dokter-dokter bantuan ke rumah sakit ini," gumam Nara melihat mobil Jeep melintas melalui pintu keluar.
"Syukurlah, Dok! Sepertinya si perokok itu memang orang baik," sahut Rendra.
"Darril tak muncul lagi, kemana dia?"
"Si gila itu, ingin kubunuh saja!"
"Vivi?" kaget Nara memelototi Rendra.
"Gawat ...." Rendra sontak memutar badannya menghentakan sepatunya dengan cepat mengelilingi koridor mengintip di setiap bilik untuk menemukan Vivi.
"Sial, si bodoh itu!" Rendra menghampiri Vivi yang seperti vampir membawa kantung darah menuju ruang jenazah.
"Hei ... siapa yang menyuruhmu membawa kantong darah seperti ini!"
"Dokter baru itu, Ren!" jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
"Oh, dokter dari kepolisian itu ... sebaiknya kita ke basecamp dulu, yuk!" ajaknya sambil menuntun Vivi.
Rendra menggiringnya untuk menyeduh teh Chamomile agar panic attack yang diderita Vivi berkurang.
"Lagi pula, sudah tahu alergi darah, masih saja mau disuruh ambil kantong darah. Untung saja kamu masih berkeliaran di sekitar sini, kalau tiba-tiba jalan ke mall ... bagaimana?"
"Mana mungkin sampai ke mall ... sial." bentak Vivi.
"Ya sudahlah, kalau sudah mendingan, bantu kami di lantai atas. Habiskan dulu tehnya," pamit Rendra.
Delapan puluh buruh pabrik mengalami keracunan, hasil laboratorium menunjukan indikasi adanya senyawa berbahaya dalam makanan yang mereka konsumsi. Salinan laporan sementara dari pusat laboratorium rumah sakit Sanita diberikan kepada penyidik untuk proses investigasi lebih lanjut.
***
Jeep yang dikendarai Sapto menginjakan rodanya di sebuah pabrik pengolahan ikan. Pabrik beroprasi secara normal tanpa menunjukan insiden mencurigakan. Penangung jawab perusahaan yang bertugas saat itu pun mengakui bahwa beberapa pekerjanya mengalami keracunan usai memakan nasi kotak yang diberikan oleh seorang donatur yang sengaja mampir untuk membagikan makanan secara gratis.
"Berapa total yang dia berikan?" tanya Sapto.
"Kurang lebih seratus kotak, sepertinya sebuah perusahaan catering, terlihat dari nomor telpon tertera di kardus makanannya."
"Baiklah, kami akan bawa sampel ini, mohon kerja samanya!"
"Ndan, sepertinya ada suara teriakan dibelakang sana!" tunjuk salah satu anak buah Sapto.
"Periksa!" Sapto mengeluarkan senjata apinya menuju gudang belakang pabrik itu.
"Su ... suara apa itu ...." ucap Manager itu berjalan di belakang Sapto dan pasukannya.
Sepatu-sepatu itu mulai berdecit menginjak lantai besi yang sangat dingin, ruangan bersuhu minus dua belas derajat sontak membangunkan bulu-bulu di tubuh mereka. Sapto dan kedua anak buahnya perlahan memasuki ruangan berkabut dengan aroma ikan laut disetiap hempasannya.
Beep!!! Beep!!! Beep!!!
"Kebakaran! Kebakaran!" Teriak manager itu berlari keluar gudang.
"Hei ... tunggu!"
"Ndan, cepat keluar ... lihat ... pintu besi itu!"
"Ada seseorang di dalam sana," tegas Sapto.
"Ndan, ayo!"
Atap ruang boiler terlihat asap dan api yang membumbung tinggi dari lapangan parkir parbik itu, ratusan buruh berlarian menyelamatkan diri dari kobaran api, beberapa berusaha memadamkan dengan alat seadanya.
"Hubungi pemadam, tarik beberapa pasukan dari rumah sakit Sanita cepat!" teriak Sapto.
Patahan baja panas mengujani satu-satunya pintu keluar ruang boiler yang tersisa bersama asap hitam yang mengepul. Beberapa orang tertimpa reruntuhan dan terjebak di dalam ruangan itu.
"Ndan, jangan gila! Hei ...." tarik salah satu anak buahnya.
Sapto berlari menuju reruntuhan itu, mengambil salah satu helm buruh yang tergeletak untuk melindungi kepalannya yang mulai sadar dari efek minuman keras yang ia minum di mobil. Rasa takutnya tak mampu mengalahkan keinginannya untuk mati dalam hal yang benar. Empat orang buruh berhasil ia gendong dengan selamat, namun satu buruh tertinggal di dalam ruangan itu dengan tubuh meleleh bersama air panas yang menghujani ruangan itu akibat panci raksasa perebus ikan yang bocor. Luka-luka di tubuh Sapto ikut melepuh akibat uap panas yang meledak-ledak di udara. Amarahnya meninggi melihat satu korban tewas di hadapannya.
"Hei, anjing! Manusia bukan ... kalian? Hanya diam menunggu seperti itu ... pangkat Jendral seperti apa yang kalian nanti, dasar berandal!" bentak Sapto.
"Justru kami manusia, ndan! Ada keluarga yang menanti kami dirumah!" sahut anak buahnya.
"Bodoh, bagaimana bisa pengayom masyarakat seperti kalian dipelihara oleh negara ... Berengsek!" Ia membanting helm yang dikenakan di depan mereka.
Hujan mulai turun dari pipa mobil-mobil pemadam, butuh dua jam untuk menghabiskan sumber api di ruangan boiler itu. Mobil ambulance mulai berdatangan membawa pertolongan medis, mobil dengan logo Sanita pun turut datang ke lokasi itu lengkap dengan personilnya.
"Hei ... aku hanya menarik pasukanku, lantas mengapa kamu ikut kemari?"
"Jangan tanyakan hal tak penting itu kepadaku, tolong bantu aku menemui pekerja-pekerja yang terluka parah!" bentak Nara.
"Baiklah, mereka ada di sebelah sana. Timku akan membawamu kesana!"
"Terima kasih ... jangan lupa perhatikan lukamu, jangan sampai jarum suntikku melukai lenganmu itu!"
"Jangan suntik!" teriak Sapto.
Uap rebusan tuna bercampur pada udara sore itu, puluhan korban luka mendapatkan perawatan oleh petugas medis, beberapa diantaranya dilarikan ke rumah sakit karena luka bakar serius. Satu korban tewas diamankan dari lokasi kejadian oleh penyidik.
"Ndan, manager itu menghilang!"
"Sudah kuduga ... aku telah mencurigainya sejak awal. Argh ... sial!" amuknya.
"Lantas siapa yang akan kita amankan kali ini, ndan?"
"Tunggu ... kita harus periksa isi gudang beku itu. Bawa semua pasukan ...."