webnovel

Bab 8

Pagi itu dunia menyambutnya dengan awan-awan putih di tengah langit, mengantarnya kepada pria yang menyelamatkan hidupnya. Ia memasuki ruangan investigasi dimana Sapto telah menunggunya.

Rokok yang menyala di mulut Sapto mengasapi ruangan itu hingga penuh sesak, ketika jendela ruangan dibuka olehnya, perlahan tubuhnya terlihat jelas. Nara tak henti menatap tubuh Sapto yang telanjang dada. Punggungnya kekar, otot-ototnya terlihat seperti atlit tinju kelas berat, hanya saja perban di punggung itu sedikit mengganggu imajinasinya.

"Bagaimana kamu bisa tahan dengan luka seperti itu?" Tanya Nara mengawali pembicaraan pagi itu.

"Sudah biasa bagiku, hanya luka-luka kecil yang akan pulih dengan sendirinya."

"Mana mungkin, lihatlah! Ada banyak sekali bekas luka di tubuhmu. Tunggu ... satu, dua ,tiga, empat ...." Nara menyentuh bekas luka tembak yang ada di tubuh Sapto.

"A ... pa yang sedang kamu lakukan?" mencoba menghindar dari telunjuk Nara.

"Sebelas luka tembak ... benar-benar gila. Kamu itu ... beneran manusia, kan?"

"Memangnya ada apa dengan tubuhku? Lagi pula, aku memiliki luka seratus kali lebih banyak dari pada yang kamu bayangkan."

"Sungguh? Kalau benar begitu, Dokter yang merawatmu pasti sangat profesional. Dia melakukannya tanpa meninggalkan banyak bekas luka, bahkan bekas jahitan ini saja terlihat samar!" kejut Nara sambil mengamati bekas luka yang ada di tubuh Sapto.

"Bekas luka itu ... sebagian ... ada di dalam sini ...." tunjuk Sapto ke dadanya.

Pernyataan yang memaksa Nara mengerutkan jidatnya.

Mereka memeriksa memory yang berisi rekaman proyek rahasia di sebuah perusahaan medis. Tayangan itu menunjukan promosi uji coba sebuah cairan kimia yang mampu membuat manusia berhalusinasi sebelum pada akhirnya otaknya mengirim perintah ke seluruh tubuhnya untuk menyakiti diri sendiri.

"Beberapa tahun terakhir, aku dan tim rahasia investigasi diam-diam mendalami kasus ini. Sunguh, serumit mencari sebatang korek api di tengah tumpukan jerami pada malam hari. Kini sebatang korek itu menyala dan membakar sebagian jeraminya," ucap Sapto.

"Tunggu ... tunggu ... bisakah kau ulangi lagi tayangan yang tadi?"

Sebuah tayangan seorang perawat menjadi media uji coba bahan kimia berlogo L-Pharm. Tubuhnya diseret menuju kedalam ruangan, kaki dan tangannya diikat pada sisi-sisi ranjang. Lampu medis menyoroti tubuhnya, beberapa orang memakai masker melucuti pakaiannya kemudian menyuntikan bahan kimia di leher perawat itu, sontak membuatnya lemah tak berdaya, kemudian rekaman itu berhenti. Sepertinya, salah satu orang sengaja merekam peristiwa itu.

"Hey, kenapa kamu begitu suka dengan adegan seperti itu!"

"Oh, bukan ... begitu maksudku. Hmm ... ada apa? Jangan menatapku seperti itu!" tegurnya seperti orang bingung.

"Sepertinya wanita dalam tayangan itu adalah perawat yang tewas lima belas tahun silam."

"Kamu selalu menyebutkan itu dari kemarin, lima belas tahun, bukankah seharusnya kamu belum menjadi Penyidik seperti saat ini? Atau memang wajahmu saja yang terlihat muda?" tanya Nara.

"Aku baru mengabdikan diri selama empat tahun, disini!"

"Lantas mengapa kamu bisa tahu kasus lima belas tahun lalu, bahkan mencoba mengungkapnya?"

"Ada cerita yang disampaikan mendiang kepala devisi investigasi kami, awalnya kami mengira itu hanyalah sebuah isu dengan sudut pandang yang subjektif, namun beberapa tahun terakhir, peristiwa-peristiwa aneh kami temui sepanjang tahun."

"Peristiwa aneh, seperti apa?"

"Lebih dari dua ratus laporan orang hilang kami dapatkan tahun ini, sembilan puluh persenya diantaranya adalah orang dalam gangguan jiwa yang ada di beberapa panti rehabilitasi. Lalu kemana perginya mereka, atau jangan-jangan memang ada pihak yang menjual mereka dengan perjanjian tertentu? Itu yang masih belum kami ketahui sampai saat ini," jelasnya pada Nara.

"Maksud kamu, ada seseorang yang tega menjual orang gila dan ada pula pihak yang bersedia membayar mahal untuk itu?"

"Benar, bukankah perdaganan organ semakin marak belakangan terakhir? Alih-alih menandatangani surat pernyataan donor tanpa ada perjanjian jual beli, tetapi di balik itu ...."

"Iya juga, lantas mengapa pimpinan tak mendukungmu?" sahut Nara.

"Hmm ... sepertinya aku belum bisa membahas soal itu denganmu!" tolak Sapto

"Oh, maaf!"

"Kami menyimpan beberapa barang bukti terkait kasus-kasus yang terjadi lima belas tahun lalu, aku rasa itu barang bukti kasus-kasus seperti ini. Seseorang pernah bercerita kepadaku, bahwa lima belas tahun yang lalu sempat terjadi mal praktik terhadap perawat-perawat rumah sakit oleh komunitas gelap ...."

"Apa yang terjadi padanya?" potong Nara penasaran.

"Kebanyakan dari mereka meninggal tak wajar, bahkan polisi menutup perkara itu sebagai kasus bunuh diri, bukankah ini gila?"

"Mengerikan!"

"Pagi, komandan! Pimpinan gustaf meminta berkas terkait kematian Ardita Pramana!"

"Untuk apa ... mau ambil alih perkara lagi? Ah, benar-benar pria tua itu!" pekiknya kesal.

"Bisa jadi, ndan!"

"Baiklah, kamu bisa tonton rekaman itu berulang kali sesukamu. Aku akan kembali sebentar lagi!" pamitnya pada Nara.

Ia membawa berkas itu menuju ruangan Gustaf, sedangkan Nara sibuk membuka file dalam memory dengan laptop yang sengaja ditinggalkan oleh Sapto. Selain rekaman sadis, Nara menemukan foto-foto dokumen perjanjian dan persetujuan donor organ manusia. Ia menemukan logo rumah sakit Sanita Group tempatnya bekerja. Beberapa foto bukti kerja sama dengan perusahaan kimia L-Pharm dalam membangun laboratorium inovasi bakteri pada tahun 2000.

***

"Apa-apaan lagi ini ... mengapa semua kasusku di ambil alih?" banting berkas itu ke meja Gustaf.

"Sapto, kondisimu tak memungkinkan untuk melanjutkan investigasi ini. Lihatlah, bagaimana kamu akan menyelesaikannya dengan luka yang masih basah itu?"

"Hahaha ... sebenarnya ... Anda ingin menghentikan investigasi ini kan?" sanggahnya sambil menatap Gustaf.

"Hei, apa kamu mengerti yang kulakukan dulu, sama persis seperti apa yang kamu lakukan sekarang! Anarki, kritis penuh api untuk membela hak orang lain. Dunia ini tak seperti yang kamu bayangkan, Sapto!" Bentak Gustaf membanting topinya.

"Lantas, peduli apa anda? Orang-orang tak bersalah, orang-orang awam itu, sampai kapan semua ini berjalan seakan baik-baik saja, sedangkan ratusan nyawa tak bersalah hilang sia-sia. Apa anda tahu itu?" Sapto memukul topi yang tergeletak diatas meja itu.

"Ingatlah ibumu, apa kamu masih tak sadar ,Sapto? Itu karena aku bersikap seperti mu!" Gustaf menunjukan foto keluarga yang terpajang di mejanya.

"Sudahlah, jangan bawa-bawa ibu!"

"Apa jadi nya, jika aku tetap memperjuangkannya ... adil ... sejahtera ... jujur ... apa dunia akan berjalan lebih baik, atau mungkin hari ini, satu-satunya anakku tak akan bisa membentaku di ruangan ini! Kamu tak mengerti, seperti apa kelompok yang akan kamu hadapi!"

"Pemimpin macam apa anda itu ... bahkan, memimpin keluarga sendiri saja tidak becus! Apa harus kutunjukan padamu, seperti apa layaknya seorang pemimpin itu? Aku ... akan hancurkan ... siapapun yang berusaha membunuh ibu ... termasuk ayah, jika terbukti ada di belakang dari semua ini!" Sapto meremas topi itu dan melemparkannya ke Gustaf.

Ia tak mampu meyakinkan Sapto. Seorang ayah yang tak ingin anak satu-satunya yang tersisa, menjadi seperti mendiang Ibu dan kakaknya, dibunuh secara keji oleh jaringan mafia yang Gustaf ringkus. Sejak saat itu, ia terpaksa menjalin kerja sama dengan elite mafia yang ada di kota bunga itu. Ia menutupi semua praktek kejahatan yang dilakukan kelompok-kelompok yang bekerja sama dengan mafia itu. Mulai prostitusi, judi, narkoba, aborsi dan penjualan organ. Ia tak punya pilihan selain menerima tawaran itu, jika tidak nyawa keluarganya akan terancam. Gustaf tak ingin kehilangan anggota keluarganya lagi, akibat keegoisannya untuk menentang dan melawan elite mafia itu. Ia selalu mengawasi gerak-gerik Sapto agar tetap tidak berbuat onar kepada mafia-mafia itu dan mengerahkan seseorang untuk mengawalnya secara diam-diam.

***