webnovel

BAB 10: ARRRGHH! BRENGSEK!

Kinn uring-uringan saat memasuki salah satu kamar tamu kediaman Theraanpayakul mewah itu. Demi apapun, dia tak pernah melakukan ini untuk semua lelaki mainannya, tetapi sekarang harus tetap dilakukan. Jika tidak, mungkin dia akan kelepasan menafsui Porche meski dalam kondisi seperti itu.

Itu buruk! Sangat buruk!

Bagaimana bisa muka pucat pasi Porche tetap membangkitkan birahinya?

Itu sangat tidak masuk akal!!

BRAKH!

ARRRGHH!

"Shit! Shit!"

Kinn meninju tembok beberapa kali, sebelum membanting pintu kamar itu untuk sentuh diri di dalamnya.

Sinting, memang. Tangan Kinn sampai gemetar saat mengocok penisnya sendiri di tepi ranjang tersebut. Memang kapan terakhir kali dia melakukan solo?

Kinn lupa!!

Kalau pun dia ingin bercinta, pasti ada beberapa lelaki yang bisa dipanggil. Tapi, kali ini dia hanya tidak ingin. Rasanya aneh mengingat bibir Porche saja yang ingin dia masuki hingga lelaki itu bisa tersedak!

"Ahhh ... huffff ... Porche, Porche ...." desah Kinn. Sambil mendongak ke langit-langit, dia memejamkan mata dan terus mempercepat kocokannya di bawah sana.

Setiap detik, rasanya semakin panas dan gila.

Kinn membayangkan Porche duduk diantara dua kakinya yang mengangkang, memberikan senyum nakal khas dia, lalu mengeluskan pipi-pipi gemasnya ke paha.

Seperti kucing besar, mungkin?

Kinn benar-benar ingin menjambaki rambut Porche andai lelaki itu sungguh-sungguh di sana.

"Hhrrrm ... nnggh ... ahhh ... Fuck! Aahhh, Porche ....."

Kamar itu terus diisi dengan desahan-desahan nyaringnya, lengkap bayangan Porche yang makin menjadi.

Kinn merasakan nikmat yang tiada tara saat memuncratkan benihnya dengan sia-sia ke lantai, tetapi di matanya yang buram, semua cairan kental itu mengenai wajah Porche yang tetap menatapnya dengan menggoda.

"Hhhh ... hahhh ... Hhaaa ...." Kinn menyibak rambutnya ke belakang karena keningnya mulai berkeringat. Dia merasa lega sesaat, tetapi begitu sadar, dia membanting kotak tisu ke lantai dengan frustasi.

BRAKH!

"BRENGSEK KAU PORCHE! BRENGSEK!" maki Kinn tak henti-hentinya. Dia bahkan memijit kening saat penisnya yang tadi lemas kini malah menegang lagi.

HEI, SEBENARNYA APA YANG BEDA DARI PORCHE?!

Lelaki mainannya banyak yang tampan dan tidak kalah nakal dari Porche. Mereka binal dan suka menjadi dominannya sebelum ditusuk-tusuk. Tapi, Porche ... hmm ... bahkan ekspresi sakitnya bisa membuat Kinn ingin menggempur bokongnya hingga lumpuh, mungkin?!

Kinn pasti sudah mulai kehilangan akal.

"ARRRRGHHHHH!"

Drrrt ... drrt .... drrt ....

Mendadak ponsel Kinn bergetar di saku celananya. Dia pun mengeluarkan benda itu dengan susah payah lalu mengangkatnya dengan masih mencoba mengatur napas.

Dadanya naik turun dan penisnya yang terus mengeras dibiarkan begitu saja dengan resleting celana yang terbuka. Sesekali dia memijat benda itu, tetapi berusaha keras tak mendesahkan nama Porche karena lawan bicaranya adalah sang ayah.

"Halo, ya, Ayah? Hhh ...."

Korn menyahutnya dengan santai di seberang sana. Pria itu memang sedang dalam berada dalam mobil limusinnya, baru saja mengurus sesuatu di luar, dan tengah menuju pulang.

"Hei, Nak. Kau tidak lupa kalau besok rekan Ibu mengadakan reuni, bukan?" kata Korn.

"Hah? Iya. Aku sudah mempersiapkan beberapa hadiah untuk menghadiri acara beliau, Ayah."

"Hmm ... baguslah. Ayah hanya memastikan saja," kata Korn. "Karena jika belum, aku akan sekalian membeli sesuatu dulu sebelum sampai ke rumah."

"Huh ... tidak, tidak. Semua sudah kuurus. Tinggal Phi Khun mau atau tidak ikut serta di dalam acara--"

Prakhh!

Ponsel Kinn tanpa sadar tergelincir jatuh dari tangannya yang licin keringat. Dia pun mendengar suara Korn samar-samar yang memanggil, "Nak? Kau masih di sana? Hei ...."

Kinn malah memaki-maki pelan dan meninju ranjang. Dia pun mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar, dan berpamitan cepat "Maaf Ayah, aku ada sesuatu yang mendesak. Nanti kutelpon lagi--"

Lalu mematikan benda itu dan membantingnya ke lantai.

"AWAS SAJA KALAU KAU SEMBUH, FUCK!" marah Kinn pada Porche yang tidak ada di sana. Dengan susah payah, dia pun beranjak ke kamar mandi dan mengocok penisnya untuk kesekian kalinya di dalam sana.

***

"Akhh ... sakit," keluh Porche, tapi nyaris tak terdengar. Dia hanya meringis-ringis dan menatap suster yang menusuk lubang nadinya kembali dengan tusuk infus.

Ngilu sekali rasanya, kebassss!

Porche tapi tak mungkin memarahi seorang wanita begitu saja.

"Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya si suster.

"Ahaha ... iya, baik," kata Porche. "Hanya butuh senyum saja. Bisa kau senyum sedikit? Nanti aku takkan merasakannya," candanya.

Suster itu pun mengulum senyum. Di menggeleng-gelengkan kepala karena tersipu ringan. Namun, kalau ingat pasangan Porche sekarang adalah boss-nya sendiri, mental ciut langsung merasuk daripada senang digodai.

"Baiklah, Anda harus banyak istirahat, Tuan. Saya pergi dulu karena sudah selesai."

Porche malah menangkap tangan si suster. "Oi ... tunggu!" katanya. "Mn, boleh aku tanya Kinn tadi kemana? Ini sudah malam tapi kenapa lama tidak kembali?"

Suster itu pun menangkap kode dari seorang pelayan yang baru masuk ke kamar untuk memberikan minuman kepada Porche. Segelas susu dan segelas lagi air putih untuk diletakkan di atas nakas. Dia berkedip-kedip saja, tetapi si suster paham kalau Porche tidak boleh bertemu Kinn malam ini.

"Aaaah, beliau sepertinya ada pekerjaan mendadak?"

"Aih, masak iya? Serius aku tidak akan ditemani malam ini?"

Suster itu merona tipis, tapi kali ini bukan karena dia merasa digoda.

"Tuan Kinn kelihatannya terburu-buru tadi? Kami kaget karena emosinya agak meledak-ledak."

"Sshh ... ya sudahlah. Tapi, boleh aku menelpon adikku sebentar? Porchay harus kuberitahu dimana letak uang jajannya seminggu kedepan."

Senyum si suster begitu masam. "Maaf, kalau soal itu kami semua tidak berwenang--"

"UPS UPS UPS! KATA SIAPA DIA TAK BOLEH MENELPON~" sela seorang lelaki nyentrik dengan pakaian warna-warni menyakiti mata. Gayanya seperti akan menghibur panggung dansa saat masuk ke kamar Porche hanya untuk menginterupsi.

"Ah, Tuan Thankun."

Seketika suster dan para pelayan pun memberi jalan dan hormat untuk Putera Pertama dalam keluarga Theeranpanyakul itu.

Porche bingung, Thankun justru mengeluarkan senyuman maut yang centil. "Hai, calon adik! Sini kupinjami Ipon-ku!" katanya, lalu mengulurkan ponsel dari saku celana.

"Aha ... terima kasih?" kata Porche. Dia tetap melihat Thankun curiga meskipun sudah menekan dial nomor sang adik.

Thankun lalu duduk di tepi ranjang Porche dan melihat body-nya dari atas ke bawah. Tidak seperti tatapan bernafsu, melainkan sedang menilai.

Porche jadi kurang tenang dibuatnya.

"Tapi tidak bisa tersambung ...." gumam Porche kecewa.

"Oh, iya? Utututu ... ya ampun, kecewanya~" kata Thankun. Dia mengedip-ngedipkan mata seperti Dragqueen terlatih. "Tapi, harusnya kau tak perlu cemas, Sayang. Pengawal Kinn kan sudah ada yang menjaga dia. Tadi siang adikku juga menemui adikmu. Ulala~ aku jadi punya banyak CP yang bisa dilihat sejak kemarin. Betapa senangnya~"

Porche mengerutkan keningnya dalam. "Hah? CP?"

Thankun mengibas-ngibaskan tangannya kesal. "Ugh, sudahlah. Kau ini benar-benar tidak paham," katanya. Lantas lagi-lagi tertawa aneh. "Ngomong-ngomong, namaku Thankun. Kau boleh memanggilku Phi Khun mulai sekarang. Oke, Bocah?"

Porche memandang beberapa pelayan di belakang Thankun sebelum mengangguk segan. "Ha ha ... oh. Kinn punya saudara juga?"

"Oiya jelasssssss!!! Aku ini Kakak kesayangan dia," kata Thankun percaya diri. "Dan kami masih punya adik yang gantengnya tidak kalah dari dirimu, meskipun melihat mukanya saja selalu minta kupukul!"

"Hah?"

"Iya ....! Namanya adalah Kim. Cepat atau lambat kau pasti bertemu dengannya," tegas Tankhun antusias. "Well, tidak penting juga sih. Aku hanya mau bikang selamat, Sayang. Adikku Kinn si kepala dan hati batu itu akhirnya semakin sembuh."

Porche pun memiringkan kepalanya bingung. "Tunggu ... jadi, Kinn punya penyakit atau semacamnya?"

"Ckckck! Kau ini bagaimana sih!" kata Thankun. "Kondisi pacar sendiri malah tidak tahu? Kepalamu itu pasti kupukul kalau tidak melihatmu sakit begini."

"...."

Thankun pun menghela napas kasar. "Intinya Kinn itu punya trauma, oke? Pacar lamanya mati karena dia hajar sendiri. Jantungnya pecah dan mengalami pendarahan hebat."

Deg!

"Apa?" Seketika bulu kuduk Porche berdiri. "Pecah ... kata Phi?"

"Yup. Mungkin ... apa ya? Kinn yang dulu itu beda dari yang sekarang," kata Thankun. "Semakin suka dia kepada seseorang, semakin ingin mempermainkannya. Seperti bocah, ha ha ha. Tapi, biasanya memang tidak parah. Hanya saja, suatu hari anak itu membuatnya salah paham. Jadi, begitulah. Mereka berkelahi dan semuanya berakhir."

Porche pun lingung sejenak. "Oh ...." desahnya. "Kalau begitu, Phi ... boleh aku lihat seperti apa orang itu?"

"Huh? Mau apa?"

"Aku hanya--"

"Tidak-tidak-tidak!" kata Thankun segera. Lelaki itu auto melompat dari sofa dan menoyori kening Porche. "Begini, ya .... calon adik. Meskipun di jarimu sudah ada cincin darinya, tapi masalah seperti ini hanya diantara kalian. Aku tidak akan ikut-ikut lebih jauh. Kau tahu? Seperti film masterpiece, kalau kebanyakan spoiler jadi tidak seru. Mending kau tanya dia sendiri kapan-kapan, arrrrreee youuuuu underrrsstannndd?" tanyanya.

Porche pun tergugu diam.

Thankun lalu mengibaskan rambutnya yang bahkan tidak panjang samasekali. "Sudah yaaaa~ cukup perkenalan dan cipika-cipikinya malam ini. Aku mau bobok cantik. Dahhh~ calon adik~"

Malam itu, Porche pun kesulitan untuk memejamkan matanya.

"Tidak mungkin. Kinn membunuh kekasihnya sendiri?"

Bersambung ...