"keruangan saya sekarang", ucap Tuan Ramelson diujung telpon.
Reista mendengus tertahan, ia bangkit dari kursinya lalu menuju ruangan Ramelson, Bos barunya itu terkadang suka seenaknya saja saat menyuruh seseorang.
"Permisi tuan Ramelson apa ada yang bisa saya bantu?", Tanya Reista sopan.
"Tolong kamu buatkan konsep untuk acara CSR perusahaan kita, karena ini adalah hal pertama yang akan saya buat sebagai CEO baru, saya harap kamu mempunyai konsep yang bagus dan cemerlang", ucap Tuan Ramelson pada Reista.
"Bukankah itu tugas untuk divisi Public Relation Tuan?". Reista sedikit takut saat mengatakan hal itu pada Tuan Ramelson, tapi pekerjaanya sudah cukup banyak, tidak mungkin hal itu harus dia juga yang mengerjakannya.
"saya ingin kamu yang menghandel untuk CSR kali ini, tapi pastinya tetap divisi Public Relation yang akan mengerjakannya. Kamu hanya memberikan instruksi saja, kamu tau sendiri atasan dari divisi tersebut belum ada. Jadi saya harap kamu yang menghandel untuk saat ini". Ramelson berbicara tanpa melihat kearah Reista.
"Baik tuan saya akan memikirkan konsep apa yang akan kita lakukan untuk acara CSR ini, ada lagi tuan?", Tanya Reista memastikan.
"Tidak untuk sekarang itu saja, kamu boleh pergi", perintahnya.
Reista keluar dari ruangannya dan sedikit memijat kening nya yang sedikit sakit, sudah seminggu ini dia menghandel beberapa pekerjaan yang seharusnya tidak dia kerjakan. Ulah Bos nya yang tak berprikemanusiaan.
"bagaimana bisa ia memecat hampir sebagian atasan dari setiap divisi, jika memang program kerja yang akan dia kerjakan akan sebanyak ini". Reista berkata pelan saat memasuki ruangan kerjanya, ia mendudukan dirinya kasar kearah sofa yang sudah tak terasa empuk sama sekali.
Lagi-lagi Reista harus lembur sampai malam, bahkan sampai jam segini ia belum menyentuh makanan apapun.
Ia bangun dari sofa itu dan duduk di kursi kerjanya, memandang laptop dan memijit kembali keningnya. Rasanya ia ingin mengundurkan diri saja, pekerjaan ini terlalu banyak menguras tenaga dan emosinya.
"Bos menyebalkan". Kutuk Reista pelan, ia tak sadar bahwa ucapaanya ternyata terdengar di dalam ruangan CEO nya itu.
CCTV dan Perekam suara ada di beberapa sudut ruangan kerja Reista, dan tentu saja Reista tak mengetahui hal tersebut.
"Ramel, kamu terlalu keras terhadap sekertarismu itu". Susliana memberikan segelas air putih pada Bos sekaligus teman semasa kuliahnya itu. Ia melihat sedikit aktifitas yang dilakukan perempuan cantik bernama Reista itu.
"aku hanya ingin melihat seberapa loyalnya ia dengan perusahaan ini". Ramelson menenggak habis air tersebut dan mulai melanjutkan pekerjaanya yang tertunda.
"Hei ayolah, kamu terlalu kelewatan". Susliana hanya tertawa pelan mendengar dengusan Ramel.
"kau tau Ramel, suara perempuan itu seperti suara dia kan?". Ramel menghentikan jentikan jarinya di atas keyboard, Ramel sedikit melirik kearah Susliana dan mengalihkan matanya kearah jendela ruang kerjanya. Ia memijit sendikit keningnya.
"ya seperti itulah". Ramel berkata pelan, pandangannya tiba-tiba kosong saat mengingat satu nama sampai saat ini.
"aku sudah tau apa yang kau pikirkan sampai saat ini, aku pikir tak ada salahnya jika kau memulai hal baru".
"tidak usah berkata yang tidak perlu Sus". Ramel memandang kearah susliana penuh arti, matanya memancarkan sebuat kesakitan yang dalam.
"seterah kau saja". Susliana memutuskan kontak matanya dengan Ramel. Ia tak ingin melihat temannya itu memakannya hidup-hidup saat ini.
(20.00 pm)
Reista membereskan peralatannya dan mematikan laptop, ia memakai jaketnya dan mengambil Tas, lalu ia melangkah ke luar ruangan untuk segera pulang ke apartemennya karena badannya sudah lelah.
Seharusnya ia sudah pulang sekitar dua jam yang lalu, tapi kerjaan yang memaksanya singgah beberapa saat. Kantor sudah mulai sepi di jam segini, Reista sedikit ngeri melihat lorong panjang menuju lift. Bukan dia takut saat muncul hantu atau sejenisnya. Tapi dia sedikit fhobia dengan suasana yang sepi.
Saat dia memasuki lift tanpa disengaja tiba tiba listrik padam, seketika itu dia langsung panik dan berkeringat dingin. Dadanya mulai sesak secara perlahan, ia meraba-raba dinding untuk keluar dari lift dan menuju arah tangga darurat
Tak jauh dibelakangnya ia mendengar suara sepatu datang menghampirinya, semakin dekat dan semakin terdengar.
"Siapa disana?", Tanyanya pada bayangan yang mulai mendekat karena lorong yang gelap.
Tidak ada jawaban dari pemilik suara sepatu itu, Reista mulai semakin panik ia bingung harus melakukan apa, para karyawan di lantainya sudah sepi bayangan itu sudah sampai tepat beberapa meter di depannya dan berhenti.
"Kubilang siapa kau?", Tanya Reista kembali .
"Hei apa kau tuli!?, Atau kau bisu?," Tanya Reista penasaran.
Apa yang kau lakukan jam segini sehingga baru pulang?," Tanya suara itu, itu suara laki laki dan Reista mengenal suara itu.
Itu suara Bos nya CEO baru itu.
" Emmm.. Emmm.. maaf Tuan Ramelson kau kah itu? maaf aku tak tau dan berkata yang tak sopan padamu", ucap Reista penuh sesal. Reista sedikit lega dan menghapus jejak keringat di pelipisnya.
"Iya ini aku, listrik padam lift itu tak bisa digunakan, kita lewat tangga bersama saja", ucap Ramelson pelan.
"Ya baiklah Tuan kita lewat tangga saja." Reista sedikit melirik kearah siluet Ramel, tak terlalu bisa melihat jelas wajahnya, karena ruangan yang sangat gelap. Hanya pencahayaan dari Handphone yang digengam oleh Ramel untuk menuntun jalan.
"mungkin kau bisa melepas High Heels mu, kita akan menuruni tangga yang cukup banyak"
Reista tersadar dan mulai melepas High Heels nya, mungkin ini akan menjadi olahraga yang cukup menguras keringat. Setelah seharian bekerja dengan laptop. Sekarang ia harus bekerja untuk menuruni beberapa ratus anak tangga.
Sial sekali hidupnya hari ini, ia akan mengalami mati rasa setelah ini pastinya.
"Apa kau ingin menemaniku ke suatu tempat?", Tanya Ramelson, Reista yang fokus di setiap anak tangga melirik sebentar kearah bos nya itu.
"Kemana itu Tuan?", Jawabnya.
"Tadi siang aku tak sempat makan aku ingin mengajakmu makan malam di cafe seberang, apakah kau mau?", Ucap Ramelson, ia sengaja mengajak sekertarisnya itu makan malam karena dia tau bahwa sekertarisnya itu juga belum makan siang karena tugas yang ia berikan.
"Saya ikut saja tuan", ucapnya sambil tersenyum kecil, Reista pikir lumayan kan ditraktir oleh Bos nya sendiri, siapa suruh dia memberikan pekerjaan yang sangat banyak. ia mengelus perut kecilnya. Tenang sebentar lagi kau akan mendapatkan makanan enak.
Setelah perjalanan menuruni tangga yang sangat berat itu. Sampailah mereka di pintu keluar. Reista sedikit mengeluh, keringat membanjiri pelipisnya. Tapi mungkin tidak dengan Ramelson, ia tetap berjalan dengan santai seperti tidak terlihat lelah.
Mereka keluar dari kantor dan berjalan ke cafe di seberang kantornya, karena tidak terlalu jauh mereka memutuskan untuk berjalan kaki.
Saat memasuki pintu cafe mereka menempati tempat duduk di ujung cafe yang menghadap jendela luar, setelah itu mereka memesan beberapa makanan. Tak ada pembicaraan sama sekali oleh dua orang dewasa itu, mereka sibuk dengan pikiran nya masing-masing.
"Berapa umur kamu Reista?". Pertanyaan Ramel membuat Reista sedikit mengangkat kepalanya bingung, ia pikir repot-repot sekali Ramel membuka obrolan dengan menanyakan umur.
"Umur saya 27 tahun Tuan". Reista melanjutkan memakan pasta yang hampir habis itu, rasanya ia ingin menambah makanannya. Tapi ia terlalu malu jika harus mengatakan itu ke Bosnya.
"oh, masih muda ternyata, apa kamu sudah punya pacar?". Ucapan Ramel membuka Reista tersedak, buru-buru ia meminum air didepannya dan menelannya dengan susah payah.
Ramel hanya melihatnya dengan serius, tatapan Ramel yang seperti itu membuat Reista benar-benar tak berkutik.
"Pertanyaan tuan terlalu pribadi, tapi tak apa karena tuan sudah menanyakan akan saya jawab. Saya tidak punya pacar, mungkin belum karena saya tidak terlalu memikirkan hal seperti itu". Reista berucap setenang mungkin.
"kenapa kamu tak ingin pacaran?".
"bukan tak ingin, tapi mungkin belum ada yang mau pacaran dengan saya". Reista sedikit mengutuk mulutnya yang bodoh ini, jatuh sudah harga dirinya. Bos nya akan merasa dia tak laku, bagaimana jika ternyata Bosnya berpikir aku tak mempunyai pacar sampai umur segini karena aku menyukai sesama jenis? Aduh, bagaimana ini.
"Kamu cantik, kamu pintar, kamu pekerja keras dan sangat mandiri, mengapa tidak ada yang mau pacaran denganmu".
"saya sudah tidak ingin pacaran di umur segini pak, mungkin lebih baik langsung menikah dan menjalani hidup berumah tangga. Apalagi saya perempuan dan menurut saya membina suatu hubungan yang serius menjadikan saya lebih dewasa dan bertanggung jawab". Reista menyudahi makannya, karena memang makanan di piringnya sudah habis.
Dilihatnya Ramel hanya mengangguk menanggapi jawaban dari Sekertarisnya itu.
"kau ingin makanan pencuci mulut?". Tanya Ramel melihat Reista sepertinya butuh banyak gizi agar ia tetap bekerja dengan baik.
"kalau boleh, aku tak keberatan menikmatinya". Ramel mengangguk dan memanggil pelayan untuk memberikan mereka makanan pencuci mulut. Ramel mengecek ponselnya dan Reista hanya melihat kesekeliling café yang menurutnya sangat nyaman dimalam hari.
Memandang sedikit kearah wajah Bosnya itu, walaupun terlihat culun namun Reista pikir ia cukup tampan jika diperhatikan, bulu matanya yang lentik dan bibirnya yang seksi belum lagi hidungnya yang mancung.
"kau memperhatikanku?". Tanya Ramel mengintrupsi pandangan Reista, Reista hanya tersenyum malu. Pesanan mereka datang, Reista sedikit berbinar melihat pudding coklat yang menurutnya pasti nikmat sekali rasanya.
"Tuan sangat tampan menurutku". Reista berucap dengan tulus, ia tersenyum dan menyendokan pudding itu kedalam mulutnya. Rasa pudding yang manis membuat pikiran yang tadi kalut menjadi lebih rileks, karena pekerjaan yang menumpuk.
"oh ya?, baru kau yang mengatakan seperti itu sejak pertama kali aku datang ke kantor ini". Ramel terkikik mendengar ucapan Reista yang menurutnya spontan dan cukup polos.
"mungkin mereka sudah ber ekspektasi mendapatkan Bos tampan dan kaya seperti dalam film".
"ya, apalagi mulut mereka yang tak tau sopan santun".
"Karena mulut mereka juga yang membuatku harus kerja lembur Bos". Reista sedikit menyindir tapi dengan senyumnya yang manis itu
"tapi aku sudah membayarmu dengan makan malam ini Reista, bagaimana jika setiap sehabis kerja kau kutraktir makan malam?". Penawaran Ramel membuat Reista berbinar namun langsung surut memikirkan pekerjaan yang hampir membuat kepalanya terbelah dua.
"tapi aku mau berbeda-beda tempat pak, masa setiap malam disini". Ucapan Reista mengundang gelak tawa dari bibir Ramel, ia tak menyangka bahwa sekertarisnya ini cukup frontal.
"tenang saja, aku tidak semiskin yang kau pikir".
"aku akan buat isi dompetmu habis pak".
"jika kau bisa". Ramel dan Reista, mereka berdua tertawa memikirkan bagaimana konyolnya hal ini, baru kali ini Ramel tertawa lepas hanya dengan ucapan seorang perempuan yang tidak ada leluconnya sama sekali.
Mungkin karena pembawaanya yang ramah dan tidak dibuat-buat, Ramel pikir siapa saja yang ada di posisinya pasti akan merasakan yang sama saat bertemu dengan perempuan bernama Reista ini.