webnovel

Sebuah Perjodohan

Pernikahan itu kata orang sekali seumur hidup. Kalau menikah berulang kali terus terjadi perselisih salah pahaman kemudian cerai berai, apa masih di sebut Pernikahan seumur hidup? Perjodohan kali ini sangat berbeda untuk Velda. Orang tuanya sudah menentukan pilihan terbaik untuk putri satu-satunya. Seorang pemuda yang parasnya biasa saja, tidak terlalu sempurna namun sifatnya jauh berbeda dari pria kaya raya. Velda masih trauma dengan pernikahan, bukan karena dia pernah menikah. Hanya trauma dengan hal membuatnya lebih memilih tidak menikah seumur hidup. Lantas bagaimana dengan pemuda yang tidak sengaja jatuh hati pada Velda pandangan pertama. Pemuda itu sangat penasaran dengan kepribadian Velda yang berpenampilan biasa saja. Sama halnya Pemuda ini telah dijodohkan oleh kedua orang tua atas pilihan mereka sendiri. Pepatah pernah mengatakan Jodoh itu tidak kemana-mana hanya belum memunculkan wujudnya. Bagaimana kisah mereka ketika pertemuan terjadi bagai dunia begitu sempit. Apa yang di alami oleh Velda dengan traumanya? Cerita baru Bukan karena cinta Tgl. 24 Juli 2019 Note Penulis : Maaf jika bahasanya tidak nyambung...

Lsaywong · Histoire
Pas assez d’évaluations
40 Chs

21. Kehendaknya

Hari telah sore waktunya Velda kembali pulang ke rumah. Seharian menjadi supir pribadi pria menyebalkan itu tidak luput untuk dirinya bermanja diri duduk menikmati secangkir teh hangat di warung seperti anak seusianya.

Bagi Velda nongkrong itu adalah membuang waktu jam kosongnya. Ia memang tergolong sangat keras untuk kegiatan diluar lapangan, entah kenapa ia lebih menyukai pekerjaan seperti ini daripada berkerja kantor milik kedua orang tuanya.

Tidak terasa baginya telah bekerja di perusahaan percetakan media surat kabar sebagai kurir pengantar koran selama dua tahun ini. Hidupnya tanpa di kekang oleh siapa pun terkecuali Mamanya, bagi Raiya (Ibunya) pekerjaan seperti itu tidak cocok untuk wanita seperti dirinya. Seharusnya lebih cocok bekerja itu di kantoran mengurus administrasi keuangan dan mengawasi kinerja pengawai lainnya.

Akan tetapi untuk Velda, ia paling benci namanya pekerjaan menyimpang itu. Kerja di kantoran duduk menatap komputer hingga berjam-jam, mengoleksi segala kertas penuh angka dan coretan setypo, belum lagi mendapat omelan dari perusahaan lain jika akan menagih pembayaran, terus bukan itu saja segala pekerjaan seperti itu bagi Velda membuang tenaga dan hanya dapat tekanan batin.

Hidupnya lebih menyenangkan adalah terjun lapangan meskipun dirinya memiliki fasilitas sendiri tetap yang ia gunakan hanya satu yaitu sepeda buntutnya. Karena itu lebih cepat tanpa rasa menunggu ketika jalan padat polusi asap kenalpot, mobil, bangunan pada jam untuk kerja di pagi hari hingga sorenya.

Seperti biasa ketika sampai di rumah komplek, ia lebih suka menghemat keuangan di kantongnya. Daripada membeli makanan di luar terkecuali seorang pembantu rumah tangga tidak memasak.

Menarik kursi ada di meja makan dekat dapur lalu ia membuka penutup sayur. Masakan sederhana dari rumah baginya tidak bosan. Setelah makan nanti barulah ia menuju ke kamar mandi bersihkan dirinya yang berdebu di kulit dan wajah mulusnya.

"Nona Velda sudah pulang," Sapa Bibi Zaina.

"Iya, Bibi sudah makan?" Sahut Velda mengambil lauk di piring.

"Sudah, Non. Oh ya tadi nyonya telepon menanyakan kenapa Non Velda tidak ke kantor?" Ucap Bibi Zaina mengingat penyampaian dari Mamanya Velda (Raiya)

Velda tidak mengopeni ucapan Bibi Zaina itu. Ia lebih mengutamakan adalah perut yang telah kosong tersebut. Bagi Bibi Zaina hal biasa jika memberitahukan kepada putri majikannya, karena kebiasaan Velda adalah tidak suka menunda makanan ketika berada di depan matanya.

"Bibi cuma mau kasih nasihat, kalau bisa sekali-kali turuti saja dulu kemauan nyonya. Soalnya nyonya marah-marah mulu setiap meminta Non Velda ke kantor. Mungkin saja ada hal penting harus di bicarakan oleh beliau kepada kamu, Non," Lanjut Bibi Zaina berbicara walau masih belum ada tanggapan dari Velda.

Bibi Zaina telah lama bekerja di rumah putri majikannya sejak Velda berusia 5 tahun. Walau pun begitu kemandirian Velda membuat Bibi Zaina bangga tidak pernah merepotkan orang lain. Tidak rewel seperti anak lainnya walau dia kurang kasih sayang dari kedua orang tua yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.

Bibi Zaina selalu berikan waktu untuk putri majikannya, padahal dia juga memiliki keluarga sendiri di kampung tapi untuk Bibi Zaina keluarga yang lebih bahagia itu adalah Velda. Karena baginya Velda adalah seorang wanita yang patut di pertahankan walau kedua orang tuanya telah lama menjodohkan dirinya dengan seseorang sahabat baik mereka.

"Jadi Bibi jawab apa ke Mama?" Velda baru bersuara setelah semua ada di piring kosong tanpa ada sisa lagi di sana.

"Bibi jawab seperti biasa, kamu kerja tidak bisa di tinggalkan," Jawabnya.

"Ya sudah, nggak apa-apa, paling nanti Velda dapat omelan lagi sama Mama. Lain kali kalau Mama tanya seperti tadi, jawab saja tidak tahu. Aku tidak mau Bibi dapat imbasan dari Mama." Kata Velda selesai menyucikan piring kotornya dan untuk kembali ke kamar nya sendiri.

Bibi Zaina hanya duduk memperhatikan putri majikan dari jarak beberapa meter kemudian menghilang dari pandangannya.

Pada malam harinya suara mobil dari halaman rumah terdengar sangat jelas oleh Velda berada di kamarnya. Letak kamar Velda sangat berdekatan dengan halaman parkiran mobil.

Kedua orang tua Velda telah pulang, namun bagi Velda tidak penting melihat keadaan mereka. Ia lebih mementingkan adalah HP miliknya permainan konyol anak-anak.

( Tok... Tok... Tok...)

Suara pintu kamarnya seseorang mengetuk. Velda menghentikan permainan game di HP sendiri dan menoleh arah pintu jarak beberapa meter.

"Non, sudah tidur?" Suara dari balik luar pintu kamarnya adalah Bibi Zaina.

Velda bangun dari posisi tidur tersebut kemudian melangkah arah pintu kamarnya.

Ceklek!

Pintu dibuka seperempat dan di sana Bibi Zaina berdiri menatapnya. Tentu Velda sudah mengetahui jika pembantu rumah tangga dengan posisi seperti itu adalah perintah dari Mamanya sendiri. Velda hanya bisa menghela napas pendek.

"Nanti aku keluar, Bibi kembali tidur lagi. Maaf sudah merepotkan Bibi jam malam tidur." Akhir kata dari Velda semakin bersalah kepada pembantu itu.

"Tidak apa-apa, sudah kewajiban Bibi menjaga keluarga ini. Baik-baik sama nyonya, ya. Ingat pesan Bibi tadi sore." Senyum Bibi Zaina, dia kembali kekamarnya.

Dan Velda pun keluar dari kamar tersebut kemudian melangkah kaki menuju arah ruang tamu di sana telah hadir seorang wanita dan pria paruh baya tengah duduk menikmati acara televisi bisnis.

"Mama memanggilku?" Velda lebih dulu bersuara dan bergabung duduk bersama mereka.

Raiya mengecilkan suara televisi sementara Jonathan sang kepala keluarga tengah mengoleksi pemasukan barang dari impor.

"Mama ingin bertanya sekali lagi, apa begitu pentingnya pekerjaanmu daripada urusan keluarga?" Raiya tidak berbasa-basi lagi langsung ke intinya.

"Ma, berikan pertanyaan itu pelan-pelan." Sambung Jonathan menegur istrinya kemudian menatap putri tunggal satu-satunya.

Velda memang sudah mengetahui bahwa ibunya akan menanyakan hal ini lagi, tidak ada yang bisa dia bantah percuma jika pun memberi alasan bagi ibunya itu pekerjaan tidak berguna.

"Bagaimana pekerjaanmu sekarang apa semua baik-baik saja? Apa makin bertambah pelanggan mengambil percetakan?" Kini Jonathan yang bersuara.

"Lumayan, tapi sekarang Velda sudah bagian pengantar kurir koran lagi sudah di ganti oleh Joni. Velda hanya mengantar satu pengantar paket dari perusahaan dekat kantor Velda tempati dan bukan itu saja Velda juga mendapat tawaran dari perusahaan itu menjadi sampingan supir pribadi nya." Jawab Velda pelan menjelaskan kepada beliau sang Ayah tercinta lebih mengerti situasi daripada beliau sang ibu penuh emosional.

"Supir?" Raiya bersuara shock mendengar terakhir jawaban dari putrinya.

"Iya, supir, tetapi pulang seperti biasa, kok." Ulangnya lagi.

"Lihat, Pa, kelakuannya semakin menjadi, pertama kurir koran dan sekarang menjadi supir lalu selanjutnya menjadi pembersih sampah jalanan? Apa ini yang kamu bilang berguna? Buang semua pekerjaan itu mau taruh di mana muka Mama sama Papa kalau putri tunggal kami bekerja di tempat tidak layak itu?!" Raiya kembali bersuara dengan nada emosional dan sedikit menekan pada Velda.

"Ma, sudah di bilang jangan langsung ngegas! Berikan dia menjelaskan dulu." Jonathan memperingatkan kepada istrinya.

"Terserah Mama, bagi Velda itu penting dan berguna. Karena percuma juga Velda kerja di kantoran apa yang bisa aku lakukan di sana? Hanya mendengar cemoohan orang yang iri terhadap Velda? Gosip tidak berguna membicarakan sifat orang lain? Cacian dari orang padahal kita sama-sama bekerja tapi untuk melihat mata sendiri keburukan orang lain. Velda bekerja seperti ini juga keinginan sendiri bukan keinginan Mama. Menurut Mama ini memang tidak berguna tapi Velda lebih menyukai seperti ini daripada pekerjaan membuang waktu dan tekanan batin! Tapi maaf Velda, Ma. Buat Velda perkerjaan sekarang menurutku telah cocok!"

"Velda tidak peduli orang lain keburukanku asal Velda tidak pernah membalas keburukan orang lain karena kita hidup sama dan lahir atau tempat berbeda. Tuhan itu mempunyai mata jadi tidak perlu Mama menghina pekerjaan Velda. Sudah cukup Velda menuruti kemauan Mama, tapi untuk hal ini, Velda belum bisa, selamat malam!" Panjang lebar untuk Velda menjelaskan kepada Raiya sang Ibu nya.

Raiya tidak bisa berkata-kata, setelah putrinya berbicara panjang lebar dan membuatnya darahnya semakin naik.

"Kamu..."

Jonathan menenangkan istrinya percuma memberi berapa kali nasihat ada betul penjelasan putrinya tapi jika tujuan itu tetap sama saja tidak bisa di larang lagi.

"Kamu itu selalu memanjakan putrimu! Lihat sekarang dia sudah mulai melawan mama!" Raiya tidak terima dan menyalahkan Jonathan.

Velda yang berada di kamar pun menyentuh dadanya debaran jantung terus berdetak setelah apa yang dia katakan kepada ibunya telah diluapkan semua selama berbulan-bulan akhirnya dia dapat mengeluarkan keberanian itu.