webnovel

Bab 9 : Si Jenius dan Si Biasa-biasa Saja

Pada tanggal 1 Agustus, seluruh peserta yang telah diterima menghadiri sosialisasi yang diadakan oleh pihak pelatihan yang langsung datang dari Jakarta. Mereka menjelaskan soal pelatihan yang dimulai pada hari Senin tanggal 3 Agustus 2020, yang pertama adalah jumlah peserta yang lolos seleksi berjumlah 14 peserta dari 65 pendaftar. Nama-namanya terpampang pada layar yang ditunjukkan, kulihat nama Eri Shima berada di urutan pertama, setelahnya yang tidak asing yaitu Landrik, dan terakhir adalah namaku. Setelahnya mereka menjelaskan beberapa tahapan-tahapan yang akan kami lalui sewaktu pelatihan hingga nanti diberangkatkan. Tahap yang paling awal adalah lolos seleksi, setelahnya mengikuti pelatihan hingga bulan Desember nanti, dan kami diharuskan untuk lulus N5 pada tes JLPTN. N5 sendiri merupakan tingkatan dasar dalam belajar bahasa Jepang, untuk mendapatkan N5 itu kami harus ikut tes bahasa Jepang Nasional atau JLPTN yang diadakan 1 tahun 2 kali yaitu dibulan Desember serta Juli. Pelatihannya diadakan hanya 4 hari dalam 1 minggu. Pada hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu. Di hari Senin, Selasa, dan Kamis dimulai dari jam 5 sore. Karena lokasi latihan kami adalah di SMK TI 2 sendiri, pihak sekolah pun telah memberikan izin bagi pihak pusat untuk mengadakan pelatihan. Sedangkan hari Sabtu dimulai dari pagi hari jam 7, yang sebelumnya diadakan latihan fisik agar fisik kami dapat menyesuaikan untuk hidup di Jepang... dimana di sana terdapat 4 musim, berbeda dengan Indonesia yang ada musim hujan dan kemarau saja.

Di tanggal 3 Agustus, aku berangkat menuju ke sekolah seperti dahulu. Meski sekarang berangkatnya di sore hari, ketika semua siswa telah pulang sekolah. Aku agak merasa aneh, setelah diluluskan oleh sekolahku tapi kembali lagi ke sini untuk belajar... walau apa yang kubelajari sekarang berbeda dengan waktu sekolah dulu.

Memasuki kelas pelatihan yang ada di lantai 1 gedung B, keadaan kelas telah ramai oleh peserta lain yang telah hadir sebelum diriku. Dari pengamatanku, peserta lain telah membentuk kelompok mereka masing-masing berdasarkan jurusan mereka. Kebanyakan jurusan yang diterima di program ini adalah JAK dan TK, sedangkan untuk SE hanya ada 3 orang yang diterima. Saat aku melihat ke sisi kanan, dekat pintu masuk, seseorang yang tidak asing menatap padaku. Menghampiri diriku yang hendak menaruhkan tasku pada meja terdepan yang masih kosong.

"Sudah kubilang kan. Kalau aku tidak akan kalah darimu. Aku juga diterima di program ini sama sepertimu." Katanya dengan bangga.

"Selamat untuk itu."

"Di pelatihan ini, aku juga tidak akan kalah darimu. Mari kita buktikan siapa yang memiliki pengetahuan lebih soal Jepang !"

"Ya, ya."

Aku sungguh tidak peduli dengan apa yang dikatakannya. Dari awal juga tidak tahu sebenarnya mengapa ia seperti sangat bersemangat untuk mengalahkanku. Seingatku aku tidak pernah membuat masalah dengannya, kenal saja baru-baru ini. Setelah ia pergi untuk kembali pada tempat duduknya, sosok lain menepuk diriku dari belakang saat aku baru saja duduk pada kursiku.

"Yo, Theo."

"Kamu... kalau tidak salah waktu kelas 2 itu... Ah, ya. Rendi ya !"

Sosok yang menepukku rupanya adalah teman sekelasku waktu kelas 2 SMK dahulu. Pria dengan rambut hitam pendek yang mengarah ke kanannya, dikenal sebagai pria tertampan urutan kedua setelah Yuda, dan menjadi primadona walau dirinya sendiri sudah memiliki pasangan.

"Aku tidak menyangka ternyata kamu daftar juga. Kupikir bakal melanjutkan belajarmu ke Perguruan TI."

"Aku sebelumnya juga berpikir untuk melanjutkan kuliah. Tapi, melihat ada program ke Jepang ini, aku tertarik dan mencobanya. Kamu tahu sendiri kan, aku sangat suka One Piece. Impianku ingin bisa pergi ke taman hiburannya yang ada di Tokyo. "

"Ah... Begitukah. Terkejut saja aku loh, melihatmu gabung."

"Haha... meski pengetahuanku soal bahasa Jepang masih cetek. Moga saja aku bisa mengikuti pelatihannya." Ia tertawa sambil berjalan kembali ke tempat duduknya yang berada di samping Landrik.

Seluruh peserta dari jurusan Software Engineering hanyalah kami bertiga, yang baru saja menyapaku yaitu Landrik Marvin dan Rendi Wijaya. Sedangkan dari jurusan Jaringan dan Akses Komputer ada 7 peserta dan dari Teknik Komputer ada 4 peserta, total jumlah semuanya ada 14 peserta. Namun, saat aku menghitung semua peserta yang telah berada di kelas sekarang... hanya ada 13 orang termasuk diriku. Ada satu orang yang masih belum terlihat, yaitu kehadiran Eri. Padahal sekarang sudah hampir jam 5 sore, kurang 3 menit lagi sebelum kelas dimulai tetapi dirinya masih belum ada.

Begitu aku hendak mengambil handphoneku untuk memanggilnya, pintu kelas tiba-tiba saja ditarik terbuka. Semua yang ada di kelas langsung panik, kembali pada tempat duduknya masing-masing dan tidak mengeluarkan suara sama sekali. Begitu pintu terbuka seutuhnya, seseorang menampakkan diri dari balik sana... yang rupanya adalah Eri. Dia melihat kesana-kemari, seakan memastikan sesuatu. Sampai kedua matanya mengarah padaku yang tengah melihatnya juga. Wajahnya yang sebelumnya penuh kekhawatiran berubah menjadi bahagia seketika, entah mengapa.

"Beruntunglah aku tidak telat." Katanya ketika menaruh tas punggungnya pada kursi di sampingku.

"Hampir saja kamu telat, Eri."

"Tadi ban sepedaku bocor, jadi aku harus memompanya terlebih dahulu. Syukurlah gurunya belum datang..."

Eri merebahkan tubuhnya pada kursinya, dengan mengipas-ngipaskan tangannya pada sekitar lehernya. Nafasnya juga agak tidak teratur serta beberapa bagian di bajunya yang basah karena keringat. Pasti ia mengayuh sepedanya dengan sangat cepat tadi, sampai terlihat begitu kelelahan seperti sekarang.

Kreek...

Kembali, suara dari pintu yang terbuka mendiamkan kami semua. Kali ini yang memasuki kelas adalah guru kami. Dia masuk mengenakan baju putihnya dengan celana hitam, serta membawa beberapa buku serta map berwarna coklat di tangan kirinya.

"Konnichiwa, mina-san." Dia memberi salam pada kami menggunakan bahasa Jepang.

Kami pun membalasnya dengan, "Konnichiwa." Yang memiliki arti selamat siang atau ucapan salam di bahasa Jepang.

"Selamat datang semuanya pada hari pertama pelatihan. Sensei ucapkan selamat kepada kalian yang telah masuk dalam pelatihan Program Studi ke Jepang. Sebelumnya, perkenalkan, nama saya Rezaldi Dewanusa. Kalian bisa memanggil saya, Rezaldi-sensei atau Reza-sensei. Mulai hari ini, saya akan menjadi sensei kalian selama pelatihan."

Begitu ia memperkenalkan namanya, aku teringat satu hal darinya. Pria yang tengah berdiri di depan tersebut dan akan menjadi senseiku selama pelatihan nanti... adalah pria yang sewaktu itu menginterview diriku. Tidak salah lagi, itu adalah dirinya. Brewok dan janggut yang ada di wajahnya tidak dapat menipu mataku.

"Kemudian, agenda pada hari ini adalah pengambilan buku yang akan kalian pakai setiap harinya serta latihan menulis huruf hiragana. Tapi, sensei masih belum mengetahui nama kalian masing-masing. Jadi, yang pertama perkenalkan diri satu persatu di depan ya."

Seperti apa yang sensei katakan barusan, kami kemudian mulai maju satu persatu untuk memperkenalkan diri dimulai dari barisan bangku terdepan dari sisi kiri. Satu persatu siswa memperkenalkan diri mereka, yang diharuskan menggunakan bahasa Jepang, dari nama mereka, alamat, dan hobi. Beberapa dari peserta kesulitan saat menjawab bagian hobi karena tidak tahu kosakata hobi mereka. Meski begitu, sensei dengan perlahan mengajari peserta yang kesulitan saat berada di depan.

Sampai peserta ke 14, kami telah menyelesaikan sesi perkenalan dirinya. Dari sekian banyak orang yang telah berdiri di depan, aku mungkin hanya bisa mengingat sedikit dari nama mereka, sehabisnya lupa. Sejak dulu, aku memanglah tipe orang yang tidak bisa mengingat nama seseorang dalam waktu singkat. Terkadang aku bisa mengingat mereka karena sering bertemu, atau karena mereka menarik bagiku. Selain itu, aku ingat dari wajah, bukan dari nama mereka. Jika aku bertemu orang lain di jalan dan menyapanya, aku menyapa dengan menganggukkan wajahku padanya atau mengucap salam seperti biasa tanpa memanggil namanya. Apalagi, dengan 14 orang... akan butuh waktu agak lama untuk mengingat semuanya.

Beberapa menit sensei mencoba untuk mengingat nama murid-muridnya, ia lalu menyuruh kami semua untuk memilih salah seorang dari kami demi dijadikan ketua kelas. Selama hampir 3 menit, tidak ada seseorang yang mau mengajukan diri, sampai sisi kiri yang kebanyakan dihuni oleh jurusan JAK mengajukan seorang laki-laki dari mereka untuk menjadi ketua kelas. Kami serempak menyetujuinya, terpilihlah, dia yang memiliki nama Kiki Mahendra menjadi ketua kelas kami dari sekarang hingga akhir pelatihan nanti. Tugas pertama dari ketua kelas adalah mengambil buku pelajaran yang akan digunakan pada hari ini, dia bersama seorang laki-laki yang ia pilih pergi ke kantor bersama sensei untuk mengambil buku-buku tersebut.

"Kita akan menggunakan buku merah selama pelatihan hingga bulan Desember ke depan. Sedangkan buku biru, nantinya dipakai pada pelatihan kedua yang diadakan di cabang pusat yang ada di Jakarta. Jaga baik-baik bukunya dan jangan sampai rusak ya."

Aku telah menerima 2 buah buku yang diberikan oleh sensei. Satu buku berwarna merah dan satunya lagi buku berwarna biru. Pada sampulnya tertulis judul buku yang berisikan huruf hiragana dan beberapa kanji. Aku tidak tahu dibaca apa tulisan itu, memutuskan untuk membuka bukunya halaman demi halaman. Setiap babnya berisikan dialog antara dua orang menggunakan bahasa Jepang, seluruhnya... seluruhnya berisikan hiragana, katakana, dan kanji. Tidak ada satupun yang menggunakan huruf romaji atau huruf biasa. Semakin aku membalikkan halaman, semakin pusing kepalaku dibuatnya, tidak maksud dengan seluruh tulisan yang ada di sini. Kututup buku itu.

'Serius kita pakai buku penuh huruf Jepang seperti ini setiap hari ?! Meski aku pernah mempelajarinya sewaktu SMP, tidak ada yang bisa kubaca satu kata pun. Apa aku bisa memahami isi buku nantinya...' pikirku dalam hati.

"Kalian pasti pusing saat melihat bukunya bukan ? Tenang saja. Untuk seminggu pertama kita tidak akan memakai bukunya. Minggu ini kita fokus untuk menulis hiragana dan katakana dengan benar serta hapal. Sekarang, buka buku catatan kalian."

Aku membuka tasku, mengambil buku catatan kosong beserta kotak pensilku. Di depan sensei telah menyalakan LCD Proyektor dan menunjukkan pada kami beberapa huruf yang akan kami pelajari pada hari ini.

"Hari ini kita akan belajar huruf hiragana A, I, U, E, O kemudian Ka Ki Ku Ke Ko, Sa Shi Su Se So, dan Ta Chi Tsu Te To."

Pada awal pelajaran ia mengajarkan kami huruf vokal dan juga paling dasar dalam hiragana. Memulainya dari A, menunjukkan kami cara membuat huruf tersebut yang terdapat tiga cara. Yaitu coretan pertama yaitu garis horizontal dari kiri ke kanan, kedua garis vertikal dari atas ke bawah, dan terakhir adalah garis melengkung di bagian dekat tengah ke bawah dari dalam ke luar. Lalu jadilah huruf あ(A). Kami disuruh untuk membuat huruf tersebut sebanyak 10 kali agar ingat, dari huruf A sampai O.

"Wuah, kamu cukup hebat juga Eri." Aku mengintip pada buku catatan Eri sewaktu ia tengah terfokus menulis.

"Benarkah ?"

"Bagus loh. Dibandingkan dengan buatanku... malah terlihat seperti beberapa cacing yang tengah meliuk-liuk."

Perbandingan antara huruf buatan Eri dan buatanku sangatlah jauh. Buatan Eri terlihat begitu persis seperti contoh yang ada pada layar proyektor, sedangkan diriku... seperti yang kukatakan tadi... seperti cacing. Bahkan sensei pun memuji huruf buatan Eri yang begitu bagusnya, saat melihat buatanku dia mengatakan bahwa aku terlalu kaku dalam membuatnya. Sehingga berkali-kali aku mencoba untuk membuatnya tadi, yang... hasilnya sedikit bagus dari sebelumnya, belum bisa menyamai tingkat Eri.

"Sensei, kenapa huruf ち(chi) dibaca Chi. Bukan dibaca Ti ?" seorang pria berkacamata mengangkat tangannya dan bertanya pada sensei.

"Kalau itu, huruf pengecualian yang dari asalnya memang dibaca Chi bukan Ti. Sama seperti つ(tsu) yang dibaca Tsu bukan Tu. Jadi diingat-ingat kedua huruf itu cara bacanya bagaimana."

"Seperti itukah. Terima kasih sensei."

Ketika menit demi menit pelajaran berlalu, suara dari karet penghapus yang bergesekan dengan kertas serta komentar tiada henti dari sensei yang berjalan mengitari kelas untuk melihat hasil tulisan kami tidak sadar bahwa hari telah berganti menjadi malam. Aku benar-benar tidak sadar waktu telah berjalan begitu cepatnya, padahal yang kami lakukan sejak tadi hanyalah menulis 20 dari 46 huruf hiragana.

"Mengingat sudah mendekati waktu maghrib, kalian diperbolehkan istirahat sampai pukul setengah 7. Setelahnya masuk kembali dan akan ada tes untuk mengecek hapal atau tidaknya kalian dengan 20 huruf hiragana pada hari ini."

"TEEEEESSS ?!"

Semua murid meneriakkan hal yang sama ketika tiba-tiba saja sensei mengatakan setelah ini ada tes. Kami baru saja belajar pada hari ini, lalu dia bilang langsung ada tes ?!

"Hei Theo. Menurutmu bagaimana pelajarannya tadi ?"

Saat kami tengah berjalan ke luar dari kelas, Eri mengikuti dengan berjalan di sampingku.

"Cukup susah. Aku dari tadi tidak begitu ingat hurufnya... apalagi nanti ada tes dadakan..."

"Kamu pasti bisa, Theo. Sebelumnya kamu pernah mempelajarinya kan ? Aku sendiri tidak tahu apa-apa dari awal. Agak ribet juga ternyata ada cara menulis yang berbeda di tiap huruf... tapi lama kelamaan jadi menyenangkan."

"Begitukah ?"

"Ya, lalu Theo. Bisa kamu ajari aku nanti, aku masih belum bisa menulisnya dengan benar. Cara membedakan antara huruf Ko dengan Te itu bagaimana ? Ajari aku ya."

Apa yang ia katakan... Padahal tulisannya lebih bagus dan rapi dibandingkan denganku. Tapi malahan dia memintaku untuk mengajarinya ? Seharusnya aku yang minta diajari olehnya !

"Bo-Boleh kok."

"Benarkah ? Terima kasih banyak Theo !"

Aku hanya bisa menjawabnya dengan sebuah senyuman pahit, melanjutkan langkah kami.

"Sekarang keluarkan selembar kertas. Tidak boleh ada buku apapun di atas meja. Hanya alat tulis dan kertas saja. Kalian punya waktu 30 menit untuk menulis kembali huruf yang telah kalian pelajari. Dimulai dari... sekarang !"

Ketika tesnya dimulai, sekuat tenaga aku mencoba mengingat-ingat huruf yang telah kutulis. Di awal aku bisa mengingat dari A, I, U, E, O sampai di bagian Ke... ingatanku mulai mengabur. Semakin aku mencoba untuk mengingatnya semakin cemas diriku dibuatnya. Aku mengayun-ayunkan kakiku ke belakang dan ke depan dari tempat dudukku, berulang kali menggaruk-garuk kepalaku yang tidak bisa mengingat huruf-huruf yang telah dipelajari tadi. Ketika aku menengok ke sebelah kiri, Eri terlihat begitu fokusnya dalam mengerjakan begitu juga dengan peserta lainnya. Mungkin hanya aku yang tengah terdiam sekarang, kebingungan.

Ah sial... memiliki short-term memory loss sangatlah memberatkanku. Masa baru beberapa menit sebelumnya aku mempelajarinya dan kemudian melupakannya...

Menit demi menit berlalu, dari 20 huruf yang ada... aku hanya mengingat sekitar 7 huruf saja. Tidak sampai dari setengahnya. Kutekan-tekan pensil mekanik yang kupakai pada meja, berusaha sekuat tenaga untuk terus mengingat dan mengingatnya. Sampai kemudian, suara dari sensei membangunkan diriku dari pikiranku.

"Tesnya selesai, sekarang dikumpulkan dari belakang."

Pasrah, aku menghentikan apa yang kuperbuat sekarang. Berbalik ke belakang untuk menerima hasil tes dari peserta lainnya. Kulihat satu persatu kertas mereka ketika tengah menerimanya. Hampir semuanya bisa menjawab lebih dari setengah, berbeda denganku yang bisa menjawab 7. Itu juga aku tidak yakin hurufnya sesuai cara bacanya atau tidak.

Reza-sensei langsung memeriksa hasil tes kami dan menilainya pada hari itu juga. Dipanggillah satu persatu dari kami untuk mengambilnya, sampai tiba giliranku untuk maju ke depan.

"Theo, kamu latihan menulis lagi nanti di rumah ya. Masih banyak huruf yang belum kamu ingat."

"Baik, sensei."

Seperti dugaanku, hanya ada 5 dari 7 huruf yang kuisi benar. Itu hanya huruf A, I, U, E, O.

"Peraih nilai tertinggi adalah Eri Shima, yang memperoleh nilai sempurna, 100. Sedangkan untuk kalian yang masih salah, sensei beri PR kepada kalian yaitu menulis huruf yang masih salah sebanyak 10 kali pada buku catatan kalian. Besok akan sensei cek."

Pada saat itu juga aku seakan menerima pukulan teramat kerasnya. Aku tidak menyangkanya, kupikir diriku mampu mengikuti pelajaran karena sebelumnya pernah belajar otodidak... namun kenyataannya aku jadi peserta yang memiliki nilai terendah dalam kelas. Sedangkan, Eri yang mengatakan dirinya tidak tahu apa-apa soal bahasa Jepang... dia mendapatkan nilai sempurna dalam percobaan pertamanya.

Sepulang dari pelatihan, segera aku mengerjakan PR yang diberikan sensei tadi. Berulang kali menulis huruf-huruf yang masih salah dan kurang. Aku masih salah 15 huruf yang berarti terdapat 150 kali aku menulisnya. Semalam suntuk, tiada henti aku mencoba untuk mengingat-ingatnya. Sampai keesokan harinya juga, ketika peserta lain tengah asyik berbicara satu sama lain sebelum pelatihan. Aku mencoba untuk menulis ulang kembali pada lembar belakang buku catatanku.

Namun tetap, sampai minggu pertama kami menyelesaikan pelatihan. Sampai seluruh huruf hiragana telah dipelajari... aku masih memiliki banyak salah. Meski diriku tidak lagi menjadi yang terbawah di kelas, tapi kesalahanku masihlah banyak. Sedangkan untuk Eri, dia selalu mendapatkan nilai sempurna dari awal sampai akhir bagai berada di atas angin.

"Theo, cara membedakan Nu dan Me bagaimana ya ?"

"Theo, bisa ajari aku cara menulis namaku sendiri dengan hiragana ?"

"Theo, kalau namamu ditulis dengan hiragana bagaimana jadinya ?"

Serta pertanyaan-pertanyaan yang Eri tanyakan padaku setiap harinya, semakin membuatku merasa semakin terpuruk dengan keadaanku.

-o-

Matahari telah terbenam dan lampu-lampu penerangan telah dinyalakan ketika aku tengah membereskan tasku setelah pelatihan selesai. Semua peserta telah pergi, hanya menyisakan diriku sendirian di kelas. Sambil menyingkirkan kertas-kertas hasil ulanganku, aku mengambil hasil tes terakhir yang ada di mejaku. Menunjukkan aku masih salah 12 huruf dari 46 hiragana. Tidak lagi peduli dengan kertas itu, aku memasukkannya dengan paksa ke dalam tasku.

Sebuah kertas tipis, hasil dari perjuanganku selama seminggu menulis tiada henti di buku catatanku. Hasil dari setiap kata-kata sensei yang mengatakan kepadaku untuk terus belajar lagi. Serta perasaan kesalku...

"Kamu mengatakan akan berjuang keras sewaktu wawancara. Tapi kenapa nilaimu masih seperti ini ? Minggu depan kita sudah mulai belajar katakana. Sebaiknya kamu segera menghapalkan seluruh hiragana karena akan susah nantinya ketika sudah mulai menggunakan buku merah." Kata-kata tersebut yang kudapatkan tadi saat kami hanya berdua setelah kelas usai.

"Sial !"

Aku menghantamkan tinjuku pada meja, hingga suaranya terdengar ke penjuru kelas.

Menggertakkan gigiku dengan erat, aku perlahan menelan ludahku sendiri. Seakan berusaha menahan rasa frustasiku akan hasil tes yang kuterima belakangan ini, setelah semua upayaku tidak berhasil. Pada awalnya, aku menerimanya dengan lapang dada dan berpikir mungkin aku perlu berusaha lebih keras dari sebelumnya. Tetapi setiap hari berlalu, emosiku bertambah terus dan terus, dan pada hari ini adalah puncaknya. Aku begitu marah kepada diriku sendiri. Yang yakin bisa mengikuti pelatihannya karena aku tahu lebih banyak soal Jepang dibandingkan dirinya, karena aku sudah lama mempelajari Jepang bahkan sejak SMP. Tetapi... Tetapi bagaimana bisa... dia yang baru belakangan ini mengikutinya, bisa melampaui lebih jauh dariku, bahkan di bidang yang kusukai.

Semuanya... semua ini...

Begitu aku mulai memadamkan api amarahku, seseorang muncul dari balik pintu kelas.

"Theo."

Melihat dirinya, aku menarik nafas panjangku. Dia adalah Eri yang memakai jaket merah mudanya dengan tas di punggungnya.

"Kenapa kamu balik lagi ?"

Saat aku menanyakannya, ia berjalan masuk ke dalam kelas. Terus aku memandanginya dengan emosi yang masih terpendam dalam diriku, menunggu untuk meledak. Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa mempertahankannya, juga tidak ingin meluapkannya pada Eri.

"Mengambil sesuatu yang tertinggal."

"Begitukah."

"Theo sendiri, tadi membicarakan apa dengan Reza-sensei ?"

"Hanya hal kecil kok, soal tes."

"Hm. Tidak terasa hiragana telah selesai, minggu depan sudah mulai belajar katakana ya."

Aku mengepalkan tinjuku begitu kerasnya. Dengan nafasku yang mulai tidak beraturan.

"Benar."

"Serta Theo. Bisakah kamu mengajariku lagi untuk ke depannya ? Aku tidak tahu sama sekali soal katakana."

"..."

Dengan kemarahan yang telah memuncak, pertanyaan tadi telah menghancurkan dinding yang sudah kutahan semenjak tadi.

"Apa kamu bercanda, Eri. Kata-katamu tadi bercanda bukan."

"Bercanda ? Tidak. Aku tidak bercanda."

"Berkata tolong ajari aku, tolong ajari aku. Kamu memiliki nilai lebih tinggi dariku, nilai sempurna yang tidak ada peserta lain bisa menyainginya ! Kamu lebih pintar dariku, Eri !"

"Itu... Tapi— Theo lebih tahu soal Jepang dariku—"

"Kau jenius. Berbeda denganku. Meski aku berusaha sebegitu kerasnya menulis huruf setiap hari tanpa henti, aku tidak akan pernah bisa sepertimu. Kamu jauh lebih tahu dariku."

"Theo... tolong jangan katakan seperti itu."

"Kamu berbanding terbalik dariku !"

"Kamu tidak tahu apa yang kurasakan Theo !"

Aku tidak tahu apa yang dia maksudku, tetapi kata-kata Eri sudah lebih dari cukup membuatku untuk terdiam. Itu adalah pertama kalinya aku mendengar Eri berteriak seperti itu...

"Tidak tahu soal apa ?! Jelaskan !"

"Kamu tidak tahu..."

"Aku bertanya padamu, soal apa ?"

"Katakan padaku Theo. Apa kamu tahu ?!"

Saat Eri menatapku dengan matanya yang berair, aku menghentikan amarahku. Pada saat itu aku merasa bahwa apa yang telah kukatakan telah berlebihan.

"Padahal aku juga berjuang..."

Dengan kata-kata tersebut, Eri berlari keluar dari kelas. Meninggalkan diriku yang terdiam, tanpa dapat memikirkan apapun atau berusaha mengejarnya.

"Apa-apaan... Bagaimana bisa aku mengerti..."

Kami saling berlawanan satu sama lain. Aku menyadarinya. Eri adalah orang yang bisa memahami hal dengan begitu mudahnya dalam waktu singkat meski itu hal yang baru sekalipun. Berbeda dengan diriku, walau sekeras mungkin aku berusaha tidak selalu usahaku berhasil untuk mencapainya.

Dia terlalu jenius dibandingkan diriku yang biasa-biasa saja.