Wajah Ana suram sejak pertemuannya dan Arka beberapa hari lalu. Arka benar-benar pergi haruskah ia pulang lebih awal dan mengajak Rian jalan-jalan. Ia merasa sangat sedih tapi Rian sejak dua hari ini tidak ada kabar, sebaiknya ia langsung pergi ke kafe game dan bermain game bersama Abe itu lebih menyenangkan.
"Bos! Aku pulang dulu.".
Alden tidak menjawab hanya melihat kepergian Ana. Ia tidak tahu menghadapi Ana bagaimana menjelaskan apa yang terjadi padanya dua hari yang lalu. Ditambah lagi Ana sepertinya mencintai Arka tapi Rian yang menjadi kekasihnya sekarang berselingkuh dengan banyak gadis. Dan ia juga harus segera kembali jika tidak ingin mendengar omelan super dahsyat dari mamanya.
Sedangkan Ana menikmati waktunya berjalan menyusuri trotoar dekat tempat tinggal Rian. Semakin dekat dengan bangunan bertingkat itu perasaan Ana semakin gelisah. Tiba-tiba langkah Ana berhenti pandangannya lurus pada Rian yang sedang tertawa bersama seorang gadis mereka duduk di sofa yang sepertinya baru ditempatkan di sana. Mereka duduk sangat dekat bahkan Rian terlihat sedang merangkul gadis itu. Ana berjalan mendekat untuk melihat wajah gadis tersebut dan saat itu pula Ana menyesal untuk mendekat. Karena gadis itu adalah.. Rena.
Ana mundur dan bersembunyi di balik warung kecil di pinggir jalan. Ia termenung apa yang harus ia lakukan. Di saat seperti ini ia sangat membutuhkan Arka. Air mata Ana menetes dan tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang.
"Kau harusnya bahagia tidak menangis!".
Tangis Ana semakin kencang setelah mendengar suara itu dan ia balas memeluk sosok kokoh itu. Ana menangis sampai puas dalam pelukan Arka.
"Bukankah kau pergi?"
"Bagaimana aku bisa pergi dengan tenang saat kau seperti ini! Ana putus dengannya ya? Dan jadilah kekasihku! Aku janji akan menjagamu dan mencintaimu sampai akhir usiaku!".
Ana tersentak ia melepaskan pelukan Arka menatap sosok di depannya yang tetap tampan meskipun sedikit kurus "Kau semakin kurus!".
Arka menghela nafas berat "Ana.."
"Tunggu! Biarkan aku berpikir.. Bukankah kau dan Amel?".
"Tidak! Sejak awal pertunanganku bukan dengan Amel tapi orang lain. Namun gadis itu menghilang dan belum ditemukan sampai sekarang. Jadi karena sudah berjanji mereka ingin menjodohkan ku dengan anak mereka yang lain yaitu Amel. Tapi aku menolak. Ana.. Tolong beri aku kesempatan..".
Dalam hati Ana bergumam 'Apapun itu Arka masih tetap akan di tunangkan dengan orang lain dan tidak akan ada kesempatan untuknya'
Air mata Ana kembali menetes. Tatapannya tertuju pada Rian. Jauh di lubuk hatinya cinta untuk Rian perlahan tumbuh. Meskipun banyak orang yang mengatakan kalau Rian itu playboy tapi ia memberi Rian kepercayaan sepenuhnya. Perhatian Rian selalu membuatnya bingung dan berpikir. Jika ia tidak membalas cintanya maka dirinya sanggatlah jahat. Tapi sepertinya cinta yang mulai tumbuh itu perlahan akan layu dan mati.
"Arka.. Aku butuh waktu. Maafkan aku!". Ana berbalik dan pergi meninggalkan tempat yang menyakitkan untuk dirinya.
"Ana.."
***
Ana kembali ke kontrakan sangat terlambat di sana Rena sudah menunggunya dengan gaya angkuh. Tentu saja kakaknya itu sampai lebih dulu karena ia memiliki mobil sebagai kendaraan sedangkan dirinya harus naik angkot dan berjalan dulu baru sampai tujuan.
"Apa lagi yang kau inginkan!". Tanya Ana ketus.
"Aku menjemputmu! Bukankah aku sudah mengatakannya padamu sebelumnya! Pergi berkemas aku akan menunggu!".
Ana tidak bergerak ia tidak ingin pergi bukankah keluarga itu selalu bersikap dingin padanya kenapa sekarang mereka sangat menginginkan dirinya kembali. Rasanya dia ingin memakinya.
"Jangan keras kepala! Pergi cepat!".
"Kuliah ku!".
"Aku pikir dengan kepintaranmu itu ambil libur beberapa hari tidak akan mempengaruhi nilaimu! Cepat berkemas!". Desak Rena.
Azira yang melihat dari lantai atas mengerut kening tidak senang. Ana sampai di anak tangga terakhir langsung di tarik Azira masuk ke kamar dan menghujaninya dengan banyak pertanyaan.
"Siapa dia! Kenapa dia bersikap sombong seperti itu! Dan apa yang dia mau darimu!".
Ana menatap Azira penuh kerinduan entah kenapa ia merasa mereka sangat dekat bukan sebagai senior dan junior tapi seperti saudara.
"Ana.. Jawab aku!".
"Dia Rena... Kakak ku!".
"Ka.. Apa! Kakak!! Dia! Sejak kapan kau memiliki kakak! Ah tidak maksudku apakah dia sungguh kakakmu??".
Ana mengangguk.
Kening Azira berkerut dan berpikir keras kemudian dia memegang bahu Ana erat-erat menatap gadis itu tajam.
"Katakan padaku! Siapa nama orang tuamu!". Meskipun bingung Ana masih menyebutkan nama kedua orang tuanya dan wajah Azira pucat seketika.
Ini tidak benar ada sesuatu yang tidak mereka tahu!
Azira terduduk di tepi ranjang menatap kosong pada Ana yang sedang mengemasi pakaiannya ke dalam ransel. Dia tidak pernah mengira jika adik sepupu yang selama ini dia cari tinggal bersama ayah kandungnya. Tapi, apakah pak tua itu tahu anak yang dia adopsi dari panti asuhan adalah anak kandungnya.
Pantas saja nama orang yang mengadopsi Ana bukanlah ayahnya tapi ibu tirinya. Yang sudah menghancurkan kehidupan keluarga kandungnya. Ana.. Bagaimana caranya aku mengatakan semuanya padamu. Sebaiknya ia menghubungi bibi.
"Ana, kau hati-hati saat pulang! Aku akan pergi!".
Ana menatap seniornya itu bingung "hm..". Setelah selesai berkemas ia turun dan melihat Rena sedang bermain dengan ponselnya tersenyum-senyum sendiri "Aku siap!"
Rena mendengus lalu berdiri dan berjalan keluar dari rumah sambil menggerutu"Lama banget!".
Ana tidak menjawab hanya mengikuti dari belakang, masuk ke dalam mobil dan diam. Ana hendak meletakkan ranselnya di kursi belakang ketika ia melihat sesuatu yang sangat akrab di matanya.
"Jaket siapa kak?".
"Pacar aku dong! Rian! Jangan sampai terhimpit itu banyak kenangannya!". Kata Rena dengan senyum lebar. Sedangkan Ana diam wajahnya mendung hatinya sakit. Kekasih terbaik yang selama ini menghiasi hari-harinya tidak lebih dari seorang penipu dan pengecut. Ana mengatur suaranya agar tidak bergetar.
"Kenapa bisa tinggal?!".
"Ya, beberapa hari lalu kami pergi jalan-jalan mungkin dia lupa dan meninggalkannya di mobil".
Rena bukanlah orang yang mau menjawab pertanyaan orang lain dengan mudah. Tapi kali ini dia menjawab semuanya mungkin karena dalam suasana hati yang baik.
"Kak! Kenapa memintaku pulang! Bukankah kalian baik-baik saja selama tidak ada aku! ".
Rena tertawa sinis "Tentu saja kami baik-baik saja! Tapi kau harus membayar budi pada kami sebagai bayaran untuk kami yang telah membesarkanmu!".
"Kak, bukan kah aku adikmu?".
Rena tertawa "Adik!? Ya, adik pungut! Kau ingin tahu! Mama mengadopsimu karena kasihan padamu!".
Kata-kata singkat Rena memukul langsung pada hati terlemah Ana wajahnya pucat "Jadi, benar kalau aku bukan anak kandung mama dan papa?".
"Itu benar! Aku sangat membencimu yang sok lugu dan baik hati itu. Selalu mengambil perhatian papa. Untung saja aku pintar dan membuat papa membencimu!".
Hati Ana semakin sakit "Jadi itu sebabnya kau ingin membunuhku?".
Rena tertawa "Sebenarnya tidak ingin membunuh! Hanya ingin menyiksamu itu saja! Aku senang melihatmu menderita!".
Tangan Ana terkepal erat menahan emosi yang bercampur aduk di dalam hatinya. Kenapa ia baru mendengar semua kenyataan itu saat hatinya tidak siap. Suara Rena membuat Ana kembali sadar "Dan apa kau tahu! Kau akan menggantikan aku bertunangan dengan pria jelek dan lumpuh!". Wajah Ana semakin pucat.
Tidak! Dia tidak ingin bertunangan dengan siapapun kecuali Arka!... Ana berteriak dalam hati tapi tidak ada yang bisa mendengarnya. Perlahan air mata kembali menetes membasahi pipinya. Ana menatap keluar jendela tidak mengatakan apa pun. Perjalanan itu menjadi sunyi untuk lima jam selanjutnya sampai mereka tiba di rumah.
Rumah itu ramai mereka tiba tepat jam 7 malam. Ana menatap sekeliling banyak mobil mewah terparkir di halaman rumah mereka yang kecil. "Ini..".
"Hari pertunanganmu! Cepat masuk mandi dan ganti pakaian!". Rena mendorong Ana masuk ke dalam rumah melewati pintu samping. Tanpa mereka tahu dua orang pria melihat mereka dari taman yang berada tidak jauh di sana. Satu pria duduk di kursi roda dengan wajah sedikit jelek tapi memiliki mata yang indah dan penuh semangat. Sedangkan satunya lagi berdiri di belakang kursi roda sebagai pendorong.
Lelaki yang berdiri terkejut dan berkata "Dia... Sangat mirip!".
"Mirip bibi Wen.". Kata lelaki yang duduk di kursi roda. Jika Ana di sana maka dia pasti akan mengenali suara tersebut.
"Fata.. Apakah itu mungkin! Fata anaknya bibi Wen?". Tanya lelaki yang berada di belakang kursi roda. "Dan kak, kenapa kau harus melakukan ini lagi? Aku bosan menjadi petugas yang mendorong kursi rodamu! Dan lihat dandanmu! Ya ampun mataku sampai sakit melihatnya!".
Pria yang duduk di kursi roda tak mau kalah " Ini pertahanan diri! Lagi pula kau juga membuatku sakit kepala! Kenapa kau tidak bisa mengejar Ahra dan membiarkannya pergi begitu saja!".
"Ya ampun apakah di rumah ini ada kaca! Tolong bercermin kakak saja masih luntang lantung mengejar Alea tapi masih juga di gantung memang enak!".
Dua lelaki itu saling membalas gerutuan sampai mereka mendengar panggilan untuk meminta mereka masuk ke dalam rumah. Pria tampan yang berdiri segera mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah lengkap dengan gerutuannya.
"Kakimu sangat sempurna tapi berpura-pura lumpuh dan duduk di kursi roda!".
"Sudah kau dorong saja! Kita harus menyelidiki siapa Ana sebenarnya! Apa kau tidak kasihan pada bibi Wen yang kehilangan anaknya!".
Bibir pria yang mendorong kursi roda terkatup rapat apa yang dikatakan kakaknya benar.
❄❄❄