“Kok aku deg-degan sih mau masuk ke kantormu, Leen.”
Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. Ia berjalan beberapa langkah di depan Gama dan sengaja mempertahankan kecepatan langkahnya agar tidak perlu berjalan berdampingan dengan laki-laki itu. Namun, dalam sekejap Gama berhasil mensejajari langkahnya.
“Sana, daftar dulu ke resepsionis.” Lagi-lagi sengaja Aileen mengisengi Gama.
“Harus? Kan aku sama kamu. Masa nggak boleh masuk?” tanya Gama heran. Pasalnya ia tahu kalau Aileen bukan pegawai biasa. Aileen seorang direktur di perusahaan itu, ditambah lagi anak pemilik perusahaan. Mana mungkin Aileen tidak bisa ‘menyelundupkannya’ masuk. “Serius nggak bisa, Leen? Kamu kan orang dalem.”
“Iiih! Peraturan ya peraturan, Gam!” Aileen berhenti di dekat swing barrier gate sambil menunjuk ke arah resepsionis dengan dagunya.
Gama mendengkus pelan sebelum akhirnya pasrah berjalan ke depan meja resepsionis.
Dari jauh Aileen menahan tawanya melihat Gama bersungut kesal sambil membuka dompet seperti sedang mengeluarkan KTP untuk ditukar dengan kartu akses masuk.
“Bu Aileen, nggak langsung masuk?” tanya satpam yang sejak tadi siaga tidak jauh dari swing barrier gate dan menunggu petinggi perusahaan itu untuk masuk.
“Saya nunggu … seseorang dulu, Pak.” Ok. Itu lebih aman untuk Aileen. Menyebut Gama dengan ‘seseorang’ dibanding menyebut Gama sebagai teman apalagi calon suami.
Mendengar hal itu, security mundur beberapa langkah dan kembali mengerjakan job desc-nya.
Sementara Gama menoleh beberapa kali, memastikan Aileen tidak meninggalkannya. Kalau dipikir-pikir, ia jadi seperti anak kemarin sore yang takut tersasar, padahal tak terhitung berapa kali ia pergi ke luar negeri demi pekerjaannya. Dan sekarang apa? Ia takut Aileen menghilang dari jangkauannya.
“Aileen.”
Aileen tahu itu suara papanya meskipun ia belum menoleh.
“Ngapain kamu berdiri di situ?”
Menoleh pelan, Aileen menemukan sang papa yang sedang berjalan bersisian dengan Bara, diikuti sekretaris papanya, tapi tidak ada sosok selingkuhan Bara di belakangnya. Sampai sekarang pun Aileen tidak tahu apa maksud Bara dengan tidak mengikutsertakan Erika ke berbagai kegiatan kantor yang biasanya mereka datangi berdua. Mungkin sengaja untuk menutupi kesalahannya. Mungkin agar tidak ada yang curiga. Mungkin—
“Siang, Om.”
Aileen terkesiap saat (kali ini) mendengar suara Gama tepat di sampingnya.
“Loh, kamu ngapain di sini? Dari tadi bareng sama Aileen.”
“Iya, Om. Baru makan siang sama Kak Alfa.”
“Oooh.” Naren mengangguk mengerti. Yang tidak ia mengerti, kenapa Gama ada di kantornya? Kalau untuk mengantar Aileen, kenapa tidak sampai area drop off saja? Namun kemudian ia menghela napas panjang saat sadar kalau ia mulai kembali ke sikap posesifnya. Padahal berulang kali sang istri telah mengingatkan untuk pelan-pelan mengurangi rasa posesifnya sekaligus agar ia bisa belajar pelan-pelan melepaskan si sulung untuk laki-laki lain.
“Aku mau nunjukin ruang kerjaku ke Gama, Pa.” Entah itu pemberitahuan atau izin, yang ingin dilakukan Aileen adalah menunjukkan kedekatannya dengan Gama di depan papanya dan (terutama) di depan Bara. Karena itu juga, ia dengan impulsifnya menautkan tangannya dengan tangan Gama.
Gama melirik sebentar ke arah tangannya dan tangan Aileen yang sekarang tertaut. “Izin ya, Om. Cuma mau tau gimana Aileen kerja.”
“Kamu lagi nggak nggarap film?” tanya Naren yang mulai menggiring mereka semua untuk melewati swing barrier gate yang sejak tadi masih terbuka karena security menahannya dengan remote di tangan.
“Belum mulai sih, Om. Kan yang film terakhir juga masih tayang di bioskop. Ada rencana untuk berikutnya, tapi karena … kayaknya habis ini sibuk ngurus pernikahan sama Aileen, mungkin bakal ditunda beberapa bulan.”
“Yakin? Nggak sayang tuh waktunya?”
“Nggak apa-apa, Om. Biar bisa fokus ngurus pernikahan sama Aileen, sambil pelan-pelan nyari sponsor buat film baru.”
Bara sepertinya tidak sadar kalau ia kelepasan mendengkus saat mendengar percakapan antara dua lelaki yang berada tak jauh darinya.
“Kenapa, Pak Bara? Ada yang salah sama ucapan calon suami saya?” tanya Aileen setelah pintu lift menutup dan membuat mereka terisolasi dari pegawai di perusahaan itu yang sejak mereka berada di lobby sering mencuri pandang ke arah mereka.
Bara menggeleng sambil mengangkat satu sudut bibirnya. “Buat nge-treat anak sulung di keluarga Candra, apa bisa kalau bikin film on off begitu? Kan belum tentu filmnya meledak di pasaran juga.”
Naren mengernyit bingung dengan ucapan Bara yang tumben-tumbennya menyindir orang dengan sefrontal itu. Kemudian ia melirik ke arah Aileen yang terlihat sedang menahan kekesalan. Mata anaknya itu tidak bisa berbohong ketika sedang marah kepada seseorang.
Kemudian ia melirik ke arah Aileen yang terlihat sedang menahan kekesalan. Mata anaknya itu tidak bisa berbohong ketika sedang marah kepada seseorang.
“Maaf, saya nggak bermaksud apa-apa. Cuma khawatir dengan keadaan Aileen,” ralat Bara setelah merasakan atmosfer yang tidak nyaman di dalam lift.
Aileen baru akan membalas ucapan Gama, namun tangannya terasa digenggam lebih erat. Ia mendongak, menatap Gama dan membiarkan Gama membalas ucapan Bara.
“Mungkin Pak Bara belum tau ya, kalau satu film yang berhasil itu bisa nutup kerugian tiga sampai empat film yang gagal. Mungkin Pak Bara juga nggak tau kalau dari sekian banyak film yang saya buat, hanya satu yang gagal, dan itu pun karena male lead di film itu terlibat skandal. Pak Gama juga mungkin nggak tau kalau saya juga beberapa kali menjadi executive producer untuk film yang saya garap sendiri.”
Bara terdiam, sejujurnya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Gama. Namun melihat keyakinan pada nada ucapannya, Bara mulai menakar seberapa besar penghasilan Gama sebagai seorang produser.
Naren memperhatikan ketiganya dengan tertarik—Bara yang tumben merendahkan orang lain, Gama yang mencoba mempertahankan harga dirinya, dan Aileen yang mendadak kehilangan sorot mata marahnya ketika Gama menggenggam tangannya. ‘Ada yang salah sama hubungan mereka,’ pikir Naren.
***
Begitu berpisah dengan papanya dan Bara di depan lift, Aileen langsung melepas tautan tangannya dengan Bara. Tanpa berkata apa pun, ia berjalan lurus menuju ruang kerjanya, lantas menuju sudut ruangan untuk mengambil segelas air dingin dari dispenser.
Sumpah, ia benar-benar merasa dirinya bodoh karena pernah menjalin hubungan dengan orang yang memiliki kepribadian seperti Bara. Ke mana akal sehatnya dulu?
“Hey, hey, aku yang dia remehin, kenapa kamu yang marah?” Gama mendekat, kedua tangannya bertumpu pada dispenser untuk mengungkung Aileen.
“Bego banget, bego banget.” Aileen menggeleng-gelengkan kepala dengan frustasi. “Kenapa dulu aku bisa pacaran sama orang kayak gitu?”
“Nggak banyak orang yang langsung nemuin pasangan tepat. Banyak yang harus melewati hubungan gagal sebelumnya, mungkin karena memang nggak cocok, karena pasangannya toxic, terlalu bucin, atau belum sadar aja kalau orang itu bukan pasangan yang tepat. Kamu salah satunya. Aku juga.” Selain malam di saat ia menenangkan Aileen, ini adalah jarak terdekat antara dirinya dengan Aileen.
“Kamu juga pernah?”
Gama tidak terlalu mendengar pertanyaan Aileen. Ia telah kehilangan fokus akibat ulahnya sendiri yang mendekati Aileen. “Lihat aku aja mulai sekarang, Leen.”
Aileen baru tersadar kalau jaraknya terlalu dekat dengan Gama. Percuma tangannya berusaha mendorong Gama agar menjauh, kalau sekarang tangan Gama malah melingkari pinggangnya dan memaksanya memupus jarak.
“You deserve someone better, Leen.” Hanya tinggal beberapa centi lagi bibir Gama bisa merasakan kembali bibir Aileen yang belakangan ini sering mampir di imajinasinya, saat tiba-tiba Aileen melemparkan pertanyaan yang membuatnya membeku di tempat.
“Is it love? Or just lust?”