webnovel

Rebirth Of The Queen

"Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Kita adalah jiwa yang sama" -Fu Xie Lan- . . . Dikhianati oleh organisasinya, jiwa Clara terlempar ke tubuh putri dari wanita yang dituduh berkhianat. Berada pada dunia yang sama sekali tak pernah ia duga. Semua hal yang pernah dianggapnya hanya mitos benar-benar menjadi nyata. Sihir? Demon? Peri? dan segala jenis makhluk immortal berkeliaran di sana. Dipertemukan dengan pemuda yang selalu mengikuti dan memanggilnya ibu. Dan sebuah jiwa lain yang ikut tersegel di dalam tubuhnya, serta misteri tentang kejadian 700 tahun lalu yang selalu membayanginya. Bagaimana Clara menghadapi semuanya? Bagaimana cara ia terbebas dari segel yang ada di tubuhnya dan membalaskan dendamnya? Siapa pemuda yang selalu memanggilnya ibu? Mampukah ia membalaskan dendamnya? Jawabannya ada di dalam cerita ini.

Gloryglory96 · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
473 Chs

Bab 22 Ibu, Bertahanlah

Fu Xie Lan yang baru saja membersihkan dirinya kini berdiri mematung didepan cermin memandangi bayangannya sendiri dari ujung kaki hingga ujung rambut. Tubuhnya sangat kecil dan agak pendek. Pantas saja pria pria tua itu memanggilnya gadis kecil.

Satu hal yang membuatnya terkejut adalah iris matanya. Warnanya violet gelap. Warna yang muncul saat ketika ia menggunakan kekuatannya. Namun ia merasa senang akan hal itu karena sekarang ia bisa menggunakan kekuatan matanya kapanpun ia butuhkan tanpa harus takut untuk ketahuan.

"Aku adalah kamu, kamu adalah aku. Kita adalah jiwa yang sama."

Tiba tiba saja ia teringat dengan perkataan gadis yang ia temui di alam bawah sadarnya. Itu berarti bahwa sejak awal ia juga memiliki hak atas tubuh yang ia tempati sekarang.

Melihat beberapa bagian pada kulit wajahnya yang terlihat sangat kusam dan agak berbintik, tetapi, meski begitu semua hal itu tidak mempengaruhi lekuk wajahnya yang pada dasarnya memang sudah cantik.

"Wajah ini sebenarnya sangat cantik, hanya saja kurang perawatan" gumamnya berbisik sambil memperhatikan beberapa bagian dari wajahnya.

Adegan demi adegan ketika setengah jiwanya yang sebelumnya menempati tubuh itu mendapat sikasaan. Jangankan untuk merawat diri, diberi makan saja sangat jarang.

"Suatu saat aku pasti akan membalas mereka" gumamnya lagi mengepalkan tangannya karena menahan amarah yang bersarang di dadanya.

Ia harus terlebih dahulu mencari tahu tentang dirinya agar setengah jiwanya yang lain bisa terbebas.

Larut dalam pikirannya, sayup sayup inderanya mendengar suara keributan. Alisnya berkerut, kemudian berjalan menuju jendela yang masih tertutup rapat. Perlahan membukanya dan apa yang menantinya adalah sesuatu yang tak terduga.

Saat ini ia berada di lantai dua, dan sangat sepi disekitar gedung. Hanya beberapa orang yang lalu lalang dibawah sana. Lantas darimana suara suara itu?

Indranya juga menangkap segerombolan semut yang sedang berkumpul di dahan pohon. Apa yang aneh baginya adalah pohon itu letaknya sangat jauh dari tempatnya berada. Oh tunggu, tidak hanya semut, beberapa lebah dan hewan kecil lainnya juga bisa ia lihat dengan jelas.

"Apakah aku sudah gila?" Mencoba menggosok matanya untuk membenarkan apa yang dilihatnya namun tidak ada yang berubah.

Beberapa warna samar juga ikut menguar dari dalam tubuh orang orang yang mencapai pandangannya. Ia yang dikehidupan sebelumnya sangat tenang dalam menghadapi situasi apapun ketika dihadapkan pada segala kejadian yang dialaminya sekarang bahkan sikap tenangnyapun tidak bisa ia pertahankan.

Jujur saja, ia merasa sedikit gelisah karena begitu banyak hal baru yang terjadi pada dirinya. Seperti halnya sekarang, ia tidak tahu sejak kapan inderanya menjadi begitu tajam dan hey, apa maksud dari warna yang menguar dari tubuh orang orang itu.

"Disana, lihat. Ada manusia."

"Apa yang dilakukan manusia ditempat ini?"

"Makhluk laknat."

"Dia setengah manusia, tapi tetap saja darah manusia mengalir ditubuhnya"

"Manusia terkutuk."

"Dasar makhluk pembawa bencana."

"Makhluk serakah."

Berbagai macam suara makian dan sumpah sarapah mengetuk pendengarannya, tidak salah lagi yang mereka maksud adalah dirinya. Suara suara itu semakin jelas dan keras seakan merobek gendang telinganya. Berusaha menghalau suara suara itu dengan menutup telinga menggunakan telapak tangannya. Mencari asal suara tapi yang ia jumpai hanyalah beberapa orang dibawah sana, dan beberapa hewan kecil yang seakan...menatapnya??

"Manusia itu melihat kita."

"Teman lihat, dia sepertinya sedang kesakitan."

"Kenapa dengan telinganya?"

Suara suara itu terus saja berdatangan tanpa henti.

"Apakah suara itu berasal dari hewan kecil disana?"

" Hey tidak, tidak. Apa aku sudah gila?" Pikirnya berusaha menepis segala dugaan yang membuatnya seperti orang gila, namun separuh dirinya mengatakan bahwa memang benar suara itu berasal dari makhluk kecil yang memasuki pandangannya.

Gelenyar panas tiba tiba mengalir dari kaki hingga keseluruh tubuhnya, terdapat rune (pola) samar yang perlahan terbentuk memenuhi seluruh tubuhnya.

"Sshhh, sakit."

Tubuhnya terhuyung kebelakang akibat rasa sakit yang tiba tiba menyerbu. Ditambah suara makian yang terus terdengar itu ikut membuat kepalanya berdenyut sakit.

"Yang hilang telah kembali"

"Dunia akan kembali terguncang"

"Cinta membawa kematian"

"Ahh, nyanyian itu.."

Tidak lagi mampu menopang tubuhnya akibat rasa sakit, ia terjatuh, tersungkur di lantai. Keringat dingin begitu cepat membasahi tubuhnya. Perasaan sakit seperti ribuan paku mengoyak daging pada seluruh tubuhnya hingga ikut menggerogoti jantungnya. Perasaan seakan sesuatu dalan dirinya akan direnggut secara paksa.

Napasnya mulai memburu, pandangannya mengabur. Kali ini ia tidak tahu lagi, apakah akan ada orang yang menyelamatkannya seperti waktu itu atau tidak.

Tanda yang memenuhi sekujur tubuhnya semakin jelas diikuti dengan rasa sakit dan panas yang juga ikut meningkat.

Sayup terdengar suara decitan pintu yang dibuka secara terburu buru dengan beberapa langkah kaki yang juga ikut memasuki ruangan dengan tergesa gesa.

"Ibu, bertahanlah. Kumohon!" Suara seorang pemuda juga terdengar olehnya. Entahlah, mungkin itu suara lain yang berasal dari luar gedung. Pikirnya.

Tiba tiba sebuah tangan meraih tubuhnya, dengan tangan yang lain menyentuh keningnya, seketika menciptakan cahaya yang yang bisa dibilang tidak terlalu menyilaukan. Fu Xie Lan tidak tahu apa yang terjadi, namun perasaan nyaman memenuhi dirinya.

Rasa panas dan sakit yang dirasakan sebelumnya juga berangsur berkurang. Meski begitu, tetap saja tubuhnya sangat lelah karena rasa sakit yang benar benar tidak bisa ditanggung oleh tubuhnya. Kesadarannya perlahan memudar.

Satu hal yang ia bisa pastikan bahwa, orang yang berdiri tidak jauh darinya adalah tetua Huang Bao dan tetua Chen, serta seorang pemuda tampan yang saat ini menopang tubuhnya bisa dilihatnya sebelum ia benar benar kehilangan kesadaran.