webnovel

Rayen Aghalenta

Perjodohan yang tidak diduga mengharuskan dua insan yang tidak saling mencintai harus membentuk sebuah rumah tangga. Apa yang akan terjadi jika seorang lelaki berpenyakitan mental harus menikahi seorang gadis yang berpenyakitan mental juga? Rayen Aghalenta, nama yang saat ini terkenal tiga tahun berturut-turut di Sma lintang biru. Berkat ketampanannya, Rayen menjadi idaman para gadis di sekolah. Bukan hanya itu, sifatnya yang dingin membuatnya sangat terkesan di mata para gadis. Namun, siapa sangka pemilik wajah sempurna ini adalah seorang DARK TRIAD, kepribadian yang begitu berbahaya. Rayen yang seharusnya dijauhi malah didekari karena ketampanannya. Lalu, apa yang terjadi jika Rayen menikah dengan seorang gadis Immature Personality Disorder alias Childish? Dan bagaimana pula Clea menghadapi Rayen yang menyimpan penyakit jiwanya? Penasaran? Baca ceritanya di RAYEN AGHALENTA. Jangan lupa tetap support ya ....

Widhi_7581 · Urbain
Pas assez d’évaluations
4 Chs

Sebuah insiden

Rayen sudah siap-siap dengan seragam sekolahnya. Lelaki itu nampak rapi dengan rambut tebal berponi menutupi dahinya. Wajahnya terlihat jelas tidak bersemangat.

Tak ada ekspresi sama sekali membuat Anze yang ingin memanggil sahabatnya itu untuk sarapan pagi begitu terkejut saat melihat pantulan Rayen dari cermin.

Anze memegang jantungnya yang sudah berporak-poranda di sana.

Rayen segera berbalik kala melihat Anze di pantulan cermin juga. "Lo kenapa?" tanya Rayen.

"Kenapa-kenapa? Muka lo itu ya kayak hantu aja. Putih bersih gak ada ekspresi. Siapa yang kagak takut coba. Sumpah gue pikir lo udah mati bunuh diri semalam karena perjodohan itu." Anze mencoba mengatur detak jantungnya yang berhenti sejenak tadi. Ia akui, jika ada lomba muka tanpa ekspresi, Anze yakin kalau Rayen akan memenangkan perlombaan itu.

Rayen mendengus kesal. Mencoba tak mempedulikan ucapan Anze yang tak bisa ia pungkiri itu sangat menganggu. Ayahnya juga pernah seterkejut Anze dan pernyataan mereka sama juga.

Memang, apa yang salah dengan wajahnya?

"Bilang aja lo iri karena gue terlalu tampan."

"Cih! Narsis lo!"

Rayen tersenyum tipis. Puas melihat dirinya dicermin, lelaki itu pun meraih tas yang berada di atas ranjang. Tas, seragam sekolah yang ia gunakan pun berasal dari Anze. Soalnya ketika datang ke sini Rayen tidak membawa persiapan apa pun. Baju sehari-harinya pun harus meminjam dari Anze. Oh, ayolah. Anze bukan orang yang kekurangan pakaian.

"Berangkat?"

"Lo gak mau sarapan dulu?"

Rayen menggeleng pelan. Perbincangan perjodohan sudah membuatnya kenyang.

"Yaudah, yuk berangkat bersama," ucap Anze.

Rayen menatap Anze sejenak, lalu berkata, "Lo kalo mau sarapan sana. Gue tungguin."

Anze tersenyum. "Gak! Gue makan di kantin aja nanti."

Mengangkat bahu acuh. "Terserah lo deh."

Kedua lelaki itu pun sudah mengendarai motor mereka masing-masing dengan tujuan ke sekolah. Meski waktu sekarang memungkinkan mereka akan terlambat.

Anze mengendarai motornya secara fokus dengan kecepatan di atas rata-rata. Berbeda pula dengan lelaki yang satu ini. Sudah pikiran kemana-mana, bawa motornya pun ugal-ugalan. Matanya begitu fokus ke jalanan, hanya saja pikiran sudah berbeda.

Hal ini tentu membahayakan dirinya juga pengguna jalan lainnya. Anze melihat itu hanya bisa bergidik ngeri. Namun, secepat mungkin ia mencoba mensejajarkan dirinya dengan Rayen, tapi tetap saja ia tidak bisa menyamangi lelaki itu.

"Rayen anak anjing!" teriak Anze memanggil.

"Ya! Hei! Lo dengar gak sih? Pelan-pelan atuh den!"

"Rayen!"

Panggilan terakhir berhasil mengalihkan perhatian Rayen ke Anze. Namun, mata Anze harus membulat sempurna ketika melihat sebuah truk yang berjalan dari arah berlawanan ingin menyela kendaraan lain, tapi tidak mengetahui kalo Rayen ada di depannya.

Alhasil, kecelakaan tidak bisa dihindari. Bunyi tak mengenakkan terdengar di telinga Anze membuat lelaki itu mengerem motornya mendadak. Matanya menyaksikan dimana tubuh sempurna itu harus melayang dan menghantam aspal setelah itu.

"R-RAYEN!"

Anze langsung saja turun dari motornya tanpa mencagaknya hingga motor besar itu jatuh begitu saja tanpa aesthetic. Ia juga membuang helm yang ia gunakan ke sembarang arah.

Fokusnya hanya tertuju kepada Rayen. Lelaki itu berlari secepat mungkin menghampiri tubuh Rayen. Ia gemetaran melihat tubuh itu tak ada pergerakan sama sekali.

"Rayen! Rayen bangun!" Anze membuka helm yang digunakan Rayen. Nampak, wajah sempurna putih bersih itu pucat pasi. Tidak heran sih. Namun, tak lama Anze merasakan basah di belakang kepala Rayen.

"Tidak!" Anze meraung ketika melihat luka di sana.

Secepatnya Anze meminta warga yang berkumpul melihat insiden itu untuk menelfon ambulans. Anze juga tidak tinggal diam. Ia menghubungi Gerald terlebih dahulu. Tidak mungkin ia langsung memberitahu Garma yang notabenenya memiliki riwayat penyakit jantung. Takutnya masalah akan semakin ribet jika hal itu terjadi.

"Rayen bertahanlah ...," lirih Anze ketakutan.

Tak butuh waktu yang lama, Rayen sudah tiba di rumah sakit. Tubuhnya langsung dibaringkan di atas brankar, lalu didorong menuju ruang UGD. Anze, lelaki itu masih senantiasa menemani Rayen, hingga tubuh lelaki itu hilang dari pandangannya memasuki ruang UGD.

Anze seperti orang tersesat tak tahu arah. Berjalan ke sana ke mari dengan wajah gelisah. Anze menunggu Gerald yang sampai saat ini tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

"Sialan! Gerald benar-benar dah! Gue takut setengah mati di sini. Dia? Malah asyik-asyik buka gudang," dumel Anze tak karuan.

Saking takutnya jika Rayen kenapa-napa, Anze keringat dingin. Tangannya menyeka keringat yang membasahi pelipis sekilas. Semua hal yang tidak diinginkan terus melayang dipikirannya bak kaset rusak. Jantungnya? Oh, sudah tidak aman lagi. Sehabis ini ia akan memeriksakan dirinya juga.

"Rayen, lo harus selamat. Kalo lo gak selamat gue bakal mati juga. Gue bakal dibunuh sama Om Garma Bokap lo nanti. Please ... lo harus selamat." Anze mencoba mengatur nafas dan detak jantungnya dengan duduk di kursi tunggu yang telah disediakan rumah sakit.

Bersamaan dengan itu pula, seorang dokter dan perawat keluar dari ruangan UGD. Melihat itu, Anze bergegas menghampiri mereka. Lelaki itu ketar-ketir menatap sang dokter. Takut jika dokter tersebut membawa kabar buruk.

"Dok, bagaimana keadaan teman saya? Apa dia baik-baik saja? Saya mohon dok, selamatkan teman saya. Dia teman saya satu-satunya ...."

'Kalo gak gue bakal mati juga hari ini,' batin Anze di dalam hati.

"... please, dok. Selamatkan dia ya. Lakukan yang terbaik," lanjut Anze kemudian.

Dokter bersama perawatnya terkekeh melihat kecemasan yang luarbiasa di wajah Anze. Dokter pun berucap, "Teman anda hanya mengalami luka di kepalanya. Setelah saya periksa, luka di kepalanya tidak terlalu dalam. Saya dan rekan-rekan saya akan melakukan yang terbaik."

"Dok, apa tidak ada luka dalam yang membahayakan dok?"

"Untuk itu kami akan melakukan CT Scan. Jadi, jika ada luka dalam maka akan kami informasikan kepada anda."

"Baiklah, saya percayakan semua kepada anda."

Dokter itu mengangguk. "Terimakasih, itu sudah tugas kami. Namun, saya ingin bertanya. Dimana keluarga pasien? Apa mereka sudah tahu tentang ini? Kami sangat membutuhkan mereka agar perawatan pasien dapat dilakukan secepat mungkin"

Anze menggaruk-garuk kepalanya-tidak tahu harus menjawab apa. Soalnya yang ia tahu keluarga Anze hanyalah Om Garma--Ayah Rayen sendiri. Namun, untuk saat ini tidak baik jika memberitahukan Om Garma tentang keadaan putranya itu.

Anze kebingungan.

"Saya keluarganya, dok." Anze tersenyum getir. "Dia, anak yatim." Terpaksa mengatakan hal itu karena itu adalah jalan satu-satunya.

Dokter dan perawat nampak terkejut. Dia dan perawatnya saling pandang. Keduanya juga bingung harus merespon bagaimana.

"Tidak masalah, dok. Saya akan membayar biaya perawatannya. Sekarang yang harus dokter lakukan adalah menyelamatkannya. Segera lakukan perawatan," ucap Anze meyakinkan. Seakan tahu maksud dari keterdiaman dua orang di hadapannya ini.

Lagi dan lagi dokter mengangguk. Percaya saja ia dengan ucapan Anze. "Baiklah. Kalau begitu kami pergi dulu."

Anze membulatkan matanya. "Kenapa pergi, dok? Teman saya bagaimana?"

Lucu mendengar ucapan Anze itu. Dokter tersenyum saja. "Saya mau mempersiapkan diri saya dulu."

Malu, Anze menyengir kuda sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. "Maaf, dok."

Usai kepergian sang dokter dan perawatnya, Anze kembali duduk di kursi tunggu. Tangannya memilin-milin kaki bajunya khawatir. Tatapannya tertuju pada ruangan UGD di depannya. Banyak doa ia panjatkan untuk Rayen di dalam hatinya agar lelaki itu baik-baik saja.

Ia juga tak lupa mengumpati Gerald yang membiarkannya menghadapi masalah ini sendirian. Bahkan, Gerald tak melihat huruf 'P' sebanyak 20 yang ia kirim kepada lelaki itu, apalagi membalasnya.

Persetan dengan Gerald!

Lima menit Anze menunggu, akhirnya sikucrit yang tidak tahu diri itu pun tiba di rumah sakit, pebih tepatnya di hadapan Anze. Siapa lagu kalau bukan Gerald. Mata sayup yang tak tahan mengantuk menunggu di depan ruangan UGD memperbesar matanya agar ia lebih jelas melihat orang di hadapannya yang ngos-ngosan seperti dikejar Zombie saja.

"Gerald?"

Anze spontan berdiri kala mengetahui itu adalah Gerald. "Sialan! Baru datang lo? Kenapa gak sekalian pas kiamat lo datang ke sini?" tanya Anze kesal menggebu-gebu. Tangannya terlipat di depan dada.

Hufft ... Gerald menyeka keringat di dagunya, lalu menatap Anze lekat. "Sorry. Tadi gue ikut rapat di perusahaan Bokap gue. Lo tahu sendiri, 'kan gue ahli waris tunggal keluarga gue."

Anze mencebikkan bibirnya. "Ahli kubur jahanam aja sekalian." Tatapan Anze menantang. Dia masih kesal.

"Sorry ya, Nze. Gue benar-bener nyesal biarin lp sendiri. Maafin gue ya. Gimana keadaan Rayen? Dia baik-baik aja, 'kan?" tanya Gerald dengan harapan Anze akan memaafkannya.

"Kepalanya pecah, tapi gak masalah kata dokter." Anze menjawab dengan dingin dan tatapan datar.

Gerald menghela nafas lega mendengar itu. Benar apa yang dikatakan oleh Gerald. Ia tidak berbohong tentang rapat bersama klien Ayahnya. Anak laki-laki satu-satunya di keluarga Pratama mengharuskannya bermain di dunia bisnis. Gerald Garzoine Pratama bukan satu-satunya anak, melainkan dia memiliki tiga saudari--satu kakak perempuan dan dua adik perempuan lagi. Bisa dikatakan, Gerald adalah anak kesayangan, itulah mengapa kedua orangtuanya begitu keras tentang masa depannya. Lepas dari itu juga, Gerald sebentar lagi akan menjadi mahasiswa dan di sana perjalanan hidupnya yang sebenarnya akan dimulai.

Berbeda juga dengan Rafael Anzelino, yang kerap disapa Anze ini. Meski terlahir dengan keluarga yang berada, Anze tak suka dengan dunia bisnis. Beruntung, bisnis keluarga dikarungi oleh kakak laki-lakinya yang sudah kuliah, tapi bukan di Indonesia. Anze sendiri, dia suka belajar dan ingin pekerjaan dari usahanya sendiri. Ketika kuliah nanti, Anze sudah bulat suara akan memilih jurusan hukum karena Anze ingin sekali menjadi seorang pengacara.

Keinginannya itu didukung sepenuhnya oleh keluarganya. Asal Anze rajin belajar, maka cita-citanya akan terpenuhi.

Rayen Aghalenta, sang tokoh utama dalam cerita ini. Dia anak tunggal yang pastinya akan menjadi pewaris dari bisnis keluarganya. Namun, masalahnya Rayen begitu mageran belajar. Baginya, hidup tidak harus kaya. Asal bisa makan dan bahagia itu sudah cukup, tapi dengan satu syarat, ia tidak ingin susah-susah cari duit.

Rayen, dia selalu mengatakan hal itu jika ditanyai apa impiannya. Namun, itu tak sepenuhnya benar.