Sumirah keluar dari kamar dengan memakai baju longgar. Sebuah topi lebar menutupi kepalanya, menutupi rambut yang beruban hampir separuhnya. Zesa menatapnya dengan aneh.
"Ibu mau kemana?" Gadis itu bertanya kepada Sumirah sambil memperhatikan pakaiannya.
"Ini waktunya aku berlibur. Selamat bekerja. Semangat dan pantang menyerah. Ibu yakin kamu bisa," ucap Sumirah ambigu.
Ia pergi bersama sopir seperti nyonya rumah. Bukan cuma para tuan muda yang menilai tinggi posisi Sumirah, tapi tuan besar Damar Wicaksana pun sangat segan padanya. Hanya Sumirah yang mampu merawat lima anak kecil dengan baik dan penuh kasih sayang. Hingga mereka besar, ia tetap memperlakukan mereka seperti anak-anak.
"Kenapa aku merinding mendengar pesan bibi Sumirah, ya? Apa hanya perasaanku saja, ya," gumam Zesa sambil mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin. Ia pergi ke kamar dan mengganti bajunya dengan baju yang diberikan Sumirah pagi ini.
Baju longgar tanpa lengan, celana jeans pendek, serta sebuah handuk kecil yang diperintahkan untuk tetap dibawa kemana pun ia pergi hari ini. Zesa cukup nyaman dengan pakaian santai itu. Ia mengambil baju dari setiap kamar untuk diserahkan ke pegawai binatu. Setiap tiga hari sekali, pegawai binatu datang mengambil baju kotor milik para tuan muda.
'Wangi parfum mereka berbeda-beda, tapi ada bau khas yang sama dari setiap parfum. Aroma mint yang lembut. Enak juga bekerja di sini, aku tidak perlu mencuci baju atau membersihkan rumah. Cukup mengumpulkan pakaian kotor, mencuci piring, dan memasak. Kalau aku bekerja tanpa dibebani hutang perbaikan mobil tuan muda Zayden, aku pasti bisa cepat kaya dengan gaji yang di atas rata-rata gaji asisten rumah tangga.'
"Sudah selesai, Sayang?"
'O ow… ini kandang serigala.'
"Sudah selesai, Tuan muda. Saya permisi," jawab Zesa sambil mengangkat keranjang cucian.
Brak!
Aron menutup pintu dan bersandar menghalangi pintu. Zesa gemetar ketakutan melihat laki-laki itu menutup pintu kamar. Di luar kamar saja ia berani mencolek dagu dan pinggang Zesa. Jika mereka berada di dalam kamar, entah apa yang akan dilakukan laki-laki itu padanya.
"Biarkan saya keluar, Tuan muda," ucap Zesa. Berusaha setenang mungkin untuk bicara dengan serigala liar itu.
"Kenapa aku harus membiarkanmu pergi? Berikan satu alasan yang bisa membuatku melepaskanmu," goda Aron sambil membuka satu persatu kancing kemeja putihnya.
Glup!
Zesa menelan saliva. Otaknya berpikir keras untuk mencari alasan yang bisa menyelamatkannya dari kandang serigala. Hanya satu hal yang terlintas di benak Zesa.
"Saya akan memanggil tuan muda Zayden," ucap Zesa sambil memejamkan mata.
Ceklek!
"Kau sangat pintar mencari perlindungan. Aku sangat menyukaimu," goda Aron sambil memberikan kemejanya kepada Zesa untuk sekalian dibawa di dalam keranjang cucian.
Zesa bergegas lari keluar dan menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Kakinya tergelincir di anak tangga kedua dari bawah. Bertepatan dengan Zoe yang baru keluar dari dapur.
"Ah, awas!" Zesa memekik karena ia tidak bisa menahan beban tubuhnya dan terjatuh bersama keranjang cucian kotor.
Cup!
Zesa terjatuh tepat di atas tubuh Zoe dan bibir mereka menempel secara tidak sengaja. Keduanya membelalak. Zesa segera bangkit dengan tergesa-gesa.
Wajah mereka bersemu merah seperti tomat ceri yang telah matang. Zoe terlalu syok karena baru saja ia berciuman dengan Zesa. Itu adalah ciuman pertama Zoe. Tubuhnya masih terlentang di lantai dengan pandangan mata kosong, seperti jiwanya baru saja terbang ke tempat lain.
"Saya tidak sengaja, Tuan muda Aron. Maafkan saya." Zesa berjongkok dan memungut pakaian kotor yang berserakan. Sampai Zesa selesai memungut pakaian itu, Zoe masih terdiam kaku.
"A-anda baik-baik saja, Tuan muda? Jangan membuat saya takut. Tolong jawab saya," ucap Zesa. Ia mulai terisak ketakutan. Bagaimana jika kepala Zoe membentur lantai dan membuatnya mati?
Aron melihat mereka berciuman saat Zesa terjatuh. Ia sedikit kesal karena Zoe sangat beruntung. Meskipun terjatuh dan tertimpa tubuh Zesa, tapi ia seperti mendapatkan jackpot. Bagaimana tidak? Laki-laki polos itu sampai terdiam kaku cukup lama di lantai.
"Sedang apa di situ?" Zayden keluar dari ruang baca. Ia melihat Zesa sedang menangis di depan tubuh Zoe yang terbaring kaku. Sontak saja Zayden berlari dan berteriak cemas. "Zoe!"
Mendengar teriakan kakak pertamanya, Zoe langsung bangkit, dan duduk sambil menatap bibir Zesa yang terluka. Itu karena mereka berbenturan cukup keras. Ujung bibir Zoe juga terluka, membuat Zayden menatap mereka
berdua dengan pandangan penuh tanya.
"Apa yang terjadi dengan bibir kalian?" tanya Zayden sambil menunjuk bibir mereka bergantian.
"Ti-tidak apa-apa, Kak. Zoe mau ke kolam renang lebih dulu," jawab Zoe. Ia segera berlari dengan wajah tersipu.
Zesa bangun dan membawa keranjang cucian. Setelah gadis itu pergi, Aron turun dengan tubuh bagian atas sudah polos. Mereka hendak berenang seperti hari liburan biasanya.
Kesibukan mereka membuat mereka sangat menghargai waktu libur untuk berkumpul. Persaudaraan antara mereka terjadi di jalanan, tanpa hubungan darah sama sekali, tapi hubungan mereka melebihi hubungan saudara kandung. Satu orang terluka, maka semua merasa sakit.
"Apa kau tahu kenapa mereka terluka?" tanya Zayden saat melihat Aron.
"Tidak tahu," jawab Aron dengan malas. Ia yang mengejar gadis itu, tapi Zoe yang mendapatkan manisnya.
Zesa memotong sayuran untuk membuat salad. Ia menarik napas berat. Kini ia mengerti kenapa Sumirah menyemangatinya sebelum pergi.
"Hah …. Pantas saja bu Sumirah menyemangatiku. Ternyata mereka libur hari ini. Masih pagi saja sudah banyak masalah. Ah!" Zesa menjerit frustrasi.
"Berisik. Kamu itu teriak-teriak sendirian, bikin aku takut. Kenapa lagi?" tanya Ian. Ia datang untuk membantu Zesa menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk dibawa ke kolam renang.
"Tuan muda Ian. Apa yang Anda butuhkan?" tanya Zesa. Ia mengubah sikapnya seketika.
"Tidak ada. Aku datang untuk membantumu. Eh, apa yang terjadi dengan bibirmu?" Ian menyentuh bibir Zesa dan lagi-lagi Aron melihat kejadian itu.
"Haish! Gadis ini …. Kau itu suka sekali bermesraan di depanku," gerutu Aron sambil menepis tangan Ian dari bibir Zesa.
"Siapa yang bermesraan? Kak Aron jangan bicara sembarangan. Kalau kakak pertama mendengar, dia bisa memecat Zesa hari ini juga," ketus Ian.
"Sudah selesai membuat salad?" tanya Aron sambil menyenggol pelan bahu Zesa.
"Belum, Tuan muda," jawab Zesa dengan tangan mengepal di belakang punggungnya.
"Cepat selesaikan dan bawa ke kolam renang. Jangan lupa dengan minuman kesukaanku," ucap Aron sambil menarik Ian pergi dari dapur. Ia tidak mau membiarkan adik-adiknya mendekati gadis itu, apalagi sampai berduaan saja.
'Fiuh! Kenapa lama sekali hari berlalu?' Zesa bergumam dalam hati. Rasanya sangat lelah berpura-pura diam saat Aron menggodanya. Ia sangat ingin memarahi laki-laki itu, tapi ia harus tetap bekerja di sana demi melunasi hutang.
*BERSAMBUNG*