Seperti yang sudah Johan duga, pagi harinya Ayahnya telah heboh melihat sangkar burung Jalak Bali nya yang telah kosong.
"Kalau kau tidak lupa mengunci nya, kenapa pintu kandang bisa terbuka dan burug itu hilang ?!" Wajah Aji merah padam dengan mata melotot memarahi Pelayan Laki-laki yang bertugas mengurus burung-burung kesayangannya.
"Ta, tapi saya benar-benar sudah menutup nya Tuan..." Lelaki berperawakan kecil itu berkata takut-takut.
"Alasan !" bentak Aji makin emosi.
"Maaf kan saya Tuan..." Pelayan itu langsung menunduk memohon. Ia sangat takut jika seandainya Tuan nya itu meminta ganti rugi atas hilang nya Burung seharga jutaan rupiah itu.
Johan yang sedang duduk di meja makan bersama Lira dan Ibu tirinya itu makan dengan santai, seolah apa yang kini ia dengar tak ada hubungannya dengan tindaknya semalam.
"Kasihan Pak Tedjo, dia sudah ikut kita lama..." Lira berkata dengan raut wajah memelas ketika di dengarnya suara Ayahnya yang keras dan sarat akan emosi.
"Memang kasihan, tapi dia benar-benar ceroboh." Liana yang duduk di seberang meja berkata. "Dia di beri kepercayaan mengurus Burung-burung Kesayangan Papa mu, tapi malah bisa-bisa nya ada yang lepas." ucap nya sambil mengelap ujung bibir nya dengan tisu makan.
"Apa Mama nanti juga akan ikut Papa lagi dalam perjalan bisnis...?" tanya Johan mengalihkan pembahasan mengenai Burung yang hilang karena kecerobohan Pengawainya.
Fokus Liana segera teralihkan ke anak tiri nya yang sedang menyantap sarapannya dengan tenang di ujung meja makan.
"Kau tahu Jo, Mama tidak bisa membiarkan Papa mu sendirian di Negeri orang dalam waktu lama." Wanita berusia 47 tahun itu tersenyum penuh arti.
Johan terkekeh mendengarnya. "Perjalan bisnis jadi seperti bulan madu, iyakan Mah...?" Johan balas tersenyum lalu meminum air putih nya. "Yah...lebih baik kalian pergi dari dunia ku dan Lira..." diam-diam ia berucap dalam hati.
Liana tertawa mendengar gurauan anak tirinya tersebut. "Kau juga cari lah pacar Jo, " ia berkata. "Jangan terlalu pemilih, nanti tahu-tahu kau sudah tua dan tidak ada yang menyukai mu lagi." lanjutnya dengan nada bercanda.
Johan tertawa terbahak mendengarnya. "Aku nggak suka terikat pada seseorang Mah." Johan berkata setelah berhenti tertawa. "...Tapi aku suka mengikat seseorang." Kembali ia berkata, namun dengan suara yang dalam dan lebih seperti bisikan.
"Tapi aku yakin, kau akan seperti Papa mu." ucap nya. "Semakin tua, tapi semakin tampan." Liana terkekeh sambil menutup mulutnya.
Wanita 47 tahun yang pagi ini terlihat cantik dengan rambut nya yang di sanggul sederhana itu, rupanya tidak menyadari perubahan raut wajah dan nada suara dari anak Tirinya tersebut.
Lira yang masih diam menikmati sarapannya mendadak jadi teringat pesan Anya saat mendengar percakapan Ibu dan Kakak Tiri nya tersebut.
"Hampir lupa kalau Anya meminta ku untuk mendekatkannya pada Kakak..." ia melirik ke arah Johan yang masih asik bercanda dengan Ibu nya.
"Sepertinya Papa akan lama meratapi hilangnya salah satu koleksi Burungnya sampai beliau lupa dengan sarapannya." Johan sudah mencangklongkan tas ransel nya. "Dan aku nggak bisa memunggu karena ada latihan pagi di Kampus." ia tersenyum kepada Ibu Tiri nya tersebut.
Lira terkejut mendengarnya. "Bareng Kak !" ucap nya sambil bangkit dari duduk nya. "Tunggu, aku ambil tas dulu !" Tanpa menunggu persetujuan Johan, gadis berambut panjang bergelombang itu sudah berlari menuju Kamarnya.
"Anak itu...kenapa tadi tas nya tidak di bawa sekalian...?" Liana berkata sambil mengeleng-ngelengkan kepalanya melihat tingkah Putrinya tersebut.
"Aku akan menunggunya sambil memanaskan mobil." Kata-kata Johan seperti di tunjukkan pada Ibu Tirinya yang masih duduk di meja makan, tapi pandangan Johan terarah pada punggung Adik tirinya sampai ia berbelok di ujung ruang.
Johan baru saja akan masuk ke dalam mobil Chevrolet Camaro RS warna metallic nya yang tampak mengkilat setelah beberapa saat lalu di cuci dan di bersihkan isi nya oleh seorang Pekerja, ketika matanya melihat sosok Pelayan yang diam-diam menatapnya si sela pekerjaannya menyirami tanaman.
Johan memirigkan kepalanya saat si Pelayan yang tertangkap basah sedang menatapnya itu langsung menunduk dan memutar tubuhnya untuk menyirami tanaman lain.
Johan mengingat Pelayan tersebut, membuat ia mengurungkan niat untuk masuk ke dalam mobil dan berjalan ke arah nya.
"Se, selamat Pagi Tuan Muda." Pelayan wanita yang semalam memergoki Johan itu gagap.
Ia menunduk dalam-dalam, tak berani memandang sosok dengan wajah rupawan dengan aroma parfume segar yang menyeruak dari tubuh tinggi nan tegap nya.
"Terimakasih kau sudah membereskan nya untukku." ia berkata, membuat si Pelayan wanita itu mendongkak ke arah nya.
"Kakak...?!" Suara Lira dari kejauhan terdengar.
Johan kembali tersenyum, sebelum kemudian ia berjalan ke arah Lira yang sudah menunggu.
"Kakak sedang apa tadi...?"
Si Pelayan mendengar Nona Muda nya bertanya pada Tuan Muda nya, yang hanya di jawab senyuman lebar.
Senyum yang semalam membuat dia merinding dan pagi ini terlihat begitu indah, membuat wajahnya semakin memerah.
"....Menurut Kakak, Anya bagaimana..??" Lira bertanya ragu-ragu saat mereka berdua berjalan memasuki kawasan Kampus.
"Dia cantik." jawab Johan sambil tersenyum memandangnya.
Wajah Lira langsung cerah mendengar Jawaban Kakaknya. "Selain cantik ?" tanya nya lagi sambil mengapit lengan Johan.
Lelaki yang pagi ini memakai kaos warna abu tua dan tas ransel hitam di punggung itu pura-pura berpikir. "...Sepertinya baik." jawab nya bohong.
Wajah Lira semakin sumringah memandangnya, dan itu membuatnya senang.
"Kakak..." Lira berhenti berjalan dengan tangan yang masih memegangi lengan Johan.
Johan ikut menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah nya.
"Kakak...benar belun punya pacar...?" tanya nya sambil memandang ke arah nya.
Johan terkekeh, tebakannya benar. "Teman baru mu itu menyukai ku Lir..?" tanyanya.
"Kakak tahu ??" Lira membulatkan matanya.
"Semua orang yang melihat sikap nya yang agresif pasti tahu Lir." ucap nya santai sambil kembali berjalan.
"Benar, dia memang agresif sekali. " Lira berucap dalam hati. Ia berjalan mengikuti langkah kaki Kakaknya. "Sebenarnya aku nggak mau membantu nya dekat dengan Kakak, tapi...." ingatan Lira langsung melambung pada sosok Andreas yang menatapa dirinya dengan mata cokelat terangnya yang sipit.
Ia menguatkan tekat nya dan kembali meraih lengan Johan dan berjalan di sampingnya. "Jadi...apa Kakak mau...??" tanyanya sambil memandangi wajah Johan dari samping.
Harus Lira akui, Kakaknya itu sangat tampan. Namun sayangnya, hati nya telah tertambat pada Andreas yang baru di temui nya 1 kali dan langsung membuat jantungny berdebar.
"Ayolah...demi aku..." Lira memohon. "Aku sudah janji pada Anya mau mendekatkannya pada Kakak..." ucap Lira jujur.
BRAAAKK !!
Johan yang sudah memakai Judogi, yaitu seragam Judo warna putih yang terdiri dari umagi (baju), shitabaki (celana) dan obi (sabuk). Melakukan teknik uchi mata atau bantingan paha pada Junior nya.
Membuat Lelaki berambut cepak itu langsung terbanting ke matras dan meringis kesakitan karena begitu kuat nya bantingan yang di lakukan Johan.
"ippon !" seorang Lelaki lain yang bertindak sebagai wasit mengangkat tangan nya ke arah Johan sebagai tanda memberi nya nilai.
Saat itu mereka sedang berada di ruangan milik UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Klub Judo Kampus, dengan beberapa amggotanya yang semuanya berseragam Judogi duduk bersila membentuk setengah lingkaran.
Kembali Lelaki berambut cepak itu bangkit dan menyerang dengan teknik kumikata dengan memegangi tangan kanan Johan dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya berpegang pada kerah nya.
Namun sayang Johan yang sudah Dan 1 dengan mudah kembali menjatuh kan Lelaki itu dan melakukan okuri eri jime atau teknik kuncian dengan mengalungkan kedua lengan pada leher lawan dari belakang.
Nafas lelaki berambut cepak itu tercekat karena lengan Johan yang mencekik leher nya begitu kuat, hampir-hampir membuat nya tak bisa bernafas.
Mata Johan nyalang melihat wajah Juniornya itu memerah kehabisan nafas. Sensasi menyenagkan kembali menjalar dalam dirinya, membuat ia ingin memiting leher dengan urat nya yang terasa berdenyut panas pada lengannya.
Semua yang melihat terdiam, karena memang begitu lah teknik yang ada dalam Judo. Tidak ada pelanggran karena Johan sangat halus dalam melakukannya.
Setelah berkali-kali gagal melepaskan cekikan lengan Johan pada lehernya, akhirnya dengan tangan gemetar karena nafas nya yang hampir putus. Lelaki yang keningnya sudah berkeringat dingin itu menepuk matras 3 kali, sebagi tanda jika ia telah menyerah dan minta di lepaskan.
Namun Johan yang begitu menikmati penyiksaan itu, seperti tak ingin menyudahi nya. Ia ingin mematahkan leher lelaki yang menjadi Junironya itu, dan mendengar bunyi patahan tulangnya yang pasti akan terasa begitu indah di telingannya.