Malam di Rumah Keluarga Prawira yang bergaya ernik-modern begitu sunyi kendati di luar Rumah terdapat banyak Satpam dan Bodyguard yang berjaga.
Di dalam kamarnya yang gelap, Johan terbaring telentang dengan mata nya yang menatap nyalang langit-langit kamarnya.
PLAAKK !!
Tamparan Ayahnya tadi padanya membayang dalam ingatannya.
"Kenapa nilai mu bisa turun ?!" Dari pada bertanya, kata-kata Ayahnya tadi sebelum tidur terdengar seperti bentakan.
Saat itu Johan berada di ruang kerja Ayahnya. Dan di situ hanya ada mereka berdua. Ayahnya tadi yang memanggilnya. Dan Johan tahu, pasti Ayahnya akan memanggil ke ruang kerjanya, di saat Ibu tiri dan Adik tirinya Lira sudah masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat.
"Sudah merasa hebat menjadi President BEM dan di sukai orang banyak makanya nilai-nilai mu tidak kau perhatikan ?!" kembali suara Aji yang di penuhi amarah terdengar.
Johan hanya diam melihat kertas berisi nilai semesterannya, yang sebenarnya di situ hanya ada 1 mata pelajaran yang nilai nya turun, dan itu pun masih mendapat nilai B.
"Percuma Mama mu sampai mengorbankan nyawanya hanya untuk melahirkan anak tolol seperti mu !"
Kembali Johan mengingat makian Ayah kandung nya itu pada dirinya.
"Memang seperti apa rasanya Mama itu...??" ia berguman seorang diri. Ia tersenyum-senyum sendiri dengan pandangan mata yang masih menatap langit-langit kamarnya yang gelap.
Johan memang sama sekali belum pernah merasakan kasih seorang Ibu. Ibu kandungnya langsung meninggal begitu melahirkannya. Dan sampai detik ia berusia 23 tahun ini, Ayahnya masih menyalahkan dan membencinya atas meninggalnya Istri nya tersebut karena melahirkannya.
Meskipun sekarang Aji sudah menikah lagi dengan Ibu Lira, dan membuatnya tidak sesering dulu memukul bahkan mencambuknya dengan ikat pinggang untuk hal sepele. Tetap saja kata-kata makian dan kadang kala tamparan masih mendarat di wajah tampan anak nya tersebut.
Johan menghela nafas panjang, lalu bangkit dari tidurnya. " Kenapa malam ini aku nggak bisa menahan nya...??" ia berkata sambil melihat telapak tangan kanannya dengan pandangan bertanya.
Setelah terdiam dan mengamati telapak tangan kanannya yang sesekali ia kepal. Johan bangkit dari ranjang kamarnya yang besar dan keluar dari ruang tidurnya yang luas.
Suasana di dalam Rumah nya remang-remang karena hanya mengandalkan penerangan dari beberapa lampu 5 watt warna kuning yang terpasang di beberapa titik.
Johan yang mengenakan kaos polos warna putih dan celana pendek hitam berjalan tenang menelusuri ruangan yang gelap dan sunyi tanpa alas kali.
"Akhir-akhirnya ini aku merasa seperti ada yang kurang walaupun melakukannya..." kembali ia berkata dalam hati sambil mengenggam dan membuka jari-jari tangannya.
Jam menunjukkan jam 1 dini hari, ketika Johan berjalan melintasi ruang Keluarga dan mengeser pintu dari kaca yang menjadi sekat dengan halaman belakang yang di penuhi sangkar-sangkar berisi berbagi jenis burung kicau dan kolam ikan yang luas dengan miniatur air terjun mini berisi berbagai jenis ikan Koi.
Dua jenis hewan yang menjadi kegemaran Ayahnya. Yang bahkan Ayahnya itu rela menglontorkan beberapa ratus juta hanya untuk pakan dan perawatannya.
Susana di taman belakang itu dingin dengan udara malam dan sedikit angin yang berhembus mengenai Johan yang hanya berpakaian tipis. Tapi Johan tak merasakan hawa dingin itu, karena percaya lah seringai Johan di tengah kegelapan malam seperti saat ini, terlihat lebih dingin dari apa pun.
Sesaat matanya bergerak, memastikan jika tidak ada Satpam yang berkeliling. Untuk bodyguard, ia tahu mereka hanya berjaga di beberapa titik saja. Kamera CCTV pun di situ hanya terpasang satu dan area yang akan ia datangi tertutup rimbunnya pohon Akasia yang tumbuh tinggi di halaman belakang Rumahnya.
Langkah Johan ringan menelusuri keremangan halama belakang yang hanya di sinari lampu taman. Bunyi beberapa hewan malam terdengar, menambah debaran di hati lelaki yang wajahya bagai pahatan yang sempurna.
Ia berhenti pada sangkar burung Jalak Bali yang terletak paling pojok dari sangkar-sangkar burung yang lain.
Burung indah berbulu putih dengan lingkar matanya yang berwarna biru itu terbangun dari tidur nya saat Johan membuka pintu kandangnya dan menjulurkan tangannya.
Senyum di wajah Johan melebar saat burung kecil yg kini berada dalan genggamannya itu mencicit lemah karena cengkraman tangannya.
Hewan kecil itu bergerak-gerak tak berdaya, dan Johan hanya memandang miring pada burung indah tersebut tanpa rasa kasihan.
Kembali burung malang itu mencicit, mengeluarkan suara indahnya yang terdengar sangat merdu di telingan lelaki yang masih berdiri dengan pandangan tertunduk mengamati mahluk malang yang mencoba melepaskan diri dari genggaman tangan besarnya.
"Maaf kan aku, tapi ini terlalu menyenangkan..." Suara dalam Johan terdengar seperti bisikan di malam yang gelap.
Sedetik kemudian, terdengar suara remukan tulang di barengi cicitan keras saat tangan Johan meremas kuat-kuat burung kecil berbulu putih itu.
Sayap burung kecil itu masih bergerak lemah saat Johan membuka remasan tangannya.
Mata hitam nya memandang tak berperasaan pada mahluk kecil dengan isi perut yang keluar berhamburan dari paruh dan lubang pembuangannya.
Bulu putihnya kotor bernoda darah bercampur kotoran dan usus kecil yang tejulur keluar.
Johan masih diam berdiri dalam kegelapan malam sambil memandangi mahluk malang tak bernyawa yang masih berada dalam telapak tangannya.
"Tuan Muda Johan...??" Terdengar suara seseorang.
Johan menoleh ke sumber suara, Pelayan wanita itu membelikkan matanya sambil menutup mulutnya tak percaya.
Mata kecilnya memandang ngeri saat melihat apa yang berada di telapak tangan Tuan Muda nya.
"Ah..kebetulan kau bangun." Johan tersenyum, ramah seperti biasa. Menambah ketampana wajahnya. "Bisa kau bersihkan ini ?" tanya nya sambil menjatuhkan burung dengan isi perut nya yang berhamburan itu begitu saja.
Perlahan pelayan wanita itu berjalan mendekat ke arahnya. Ia langsung merasa mual, perutnya serasa di aduk melihat burung Jalak Bali kesayangan Tuan Besarnya itu sudah tak bernyawa dengan kondisi mengenaskan.
"Ke, kenapa...??"
"Sssssttt..." Dengan jari telunjuk kananya yang kotor bernoda darah. Johan meletakkan nya di dekat bibir, sebagai tanda agar si Pelayan tersebut tak bersuara.
Dalam kegelapan, mata Pelayan wanita itu tampak nyalang menatap Tuan Muda nya.
"Terimakasih." ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang membuat tidak hanya dirinya, tapi juga Para Pelayan wanita lain di Rumah mewah tersebut berdebar karena pesonanya.
" Gadis pintar." Johan menepuk-nepuk pundak Pelayan wanita tersebut dengan tangan nya yang satu sambil berjalan melewatinya.
Nafas Pelayan itu tercekat, bulu kudunya langsung meremang saat Johan menepuk pundak dan berjalan melewatinya.
Kedua tanganya yang saling tertaut di dada gemetar memandang bangkai burung dengan ususnya yang terburai dan tergeletak mengenaskan di rerumputan dalam gelapnya malam.