webnovel

Blurry Plan

Di saat lempengan besi itu bergerak naik, Alessa memanfaatkan kesempatan itu untuk memperhatikan wajah Edgar secara dekat, rahang tegas, hidung mancung dan bibirnya yang... Oh, astaga. Seksi.

Damn, sejak kapan Alessa mengakui bahwa pria ini terlihat menawan. Hampir saja tangannya terulur untuk menyentuh wajah tampan itu tadi, namun untung saja otaknya masih bisa berpikir dengan normal, kalau tidak si nyamuk besar ini akan besar kepala nanti.

Tidak lama suara denting terdengar, tanda lift sudah sampai di lantai teratas. Edgar keluar dengan Alessa di gendongannya.

Membuka pintu kamar dengan kaki, lalu menaruh Alessa di tempat tidur dengan hati-hati.

"Masih terasa sakit?" tanyanya sambil tersenyum lembut, yang membuat wanita mana saja pasti akan betah menatap berlama-lama, tak terkecuali Alessa.

Alessa mengangguk mengiyakan, "Akan ku panggilkan Dokter!"

"Tidak. Aku hanya perlu beristirahat," jawab Alessa dengan cepat.

Menurutnya terlalu berlebihan jika harus memanggil Dokter.

Edgar mengangguk mengiyakan, lalu berjalan membuka pintu kamar dan keluar setelahnya.

***

Edgar membuka pintu rahasia. Pintu yang sudah terhubung dengan kerajaan sang Ayah.

Pria itu menutup mata dan ketika ia membuka mata kembali, ia sudah berada di tempat asalnya.

Pria itu berjalan menuju tempat Ayahnya berada sekarang. Johnson menatap tajam anak satu-satunya itu.

"Edgar, dimana wanita itu. Mengapa kau tidak datang bersama wanita itu?"

"Belum saatnya," ucapnya datar.

"Apa lagi yang kau tunggu?" bentak Johnson.

"Tidak, aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Apa itu?" Edgar diam tidak menjawab pertanyaan sang Ayah.

"Kau mencintainya?" tanya Johnson lagi.

Edgar tetap diam menatap lurus kedepan, dengan ekspresi wajah datar.

"Jangan mencintai seseorang yang bukan dari kaum kita!" Larang Johnson.

"Aku bisa mengubahnya menjadi seperti kita!" ucap Edgar.

"Bisa saja. Tapi kau tidak bisa mencintai Alessa. Dia hanya penolong bagi kita."

"Apa ada cara lain?" tanya Edgar dengan serius.

"Tidak ada. Karena darah wanita itu sudah terpilih."

"Kita bisa mencari darah yang sama."

"Tidak akan ada lagi!" sentak Johnson dengan tegas.

Edgar masih ingat tujuan pertamanya ke dunia manusia. Untuk mencari pemilik darah abadi. Dan ia masih ingat kata-kata dari Ayahnya. 'Jika ia bertemu orangnya segeralah miliki dia' apa maksudnya itu.

"Lalu, apa maksud dari aku harus memilikinya?"

"Memiliki bukan berarti kau harus mencintainyakan, Edgar?" omong kosong macam apa itu.

"Kau hanya perlu meyakinkannya," tambah Johnson.

'Meyakinkan apa?' batin Edgar ia bingung sekarang.

Edgar menarik rambutnya frustrasi. Pria itu berjalan keluar kerajaan, tanpa mempedulikan teriakan sang Ayah.

Edgar menutup matanya, setelah itu ia sudah berada di luar pintu rahasia.

"Edgar!" panggil Alessa.

Edgar terkejut melihat Alessa yang tepat berada di depan pintu. "Alessa apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku ... Ingin keluar mansion!"

"Jangan!"

"Aku ingin pergi ke suatu tempat. Aku bosan di sini!"

"Tapi kau sedang sakit."

"Sudah baikan sekarang. Aku tidak apa-apa."

"Besok saja ya. Aku akan menemanimu besok!" tawar Edgar.

Alessa menggangguk pasrah dan kembali ke kamarnya. Ia harus sabar menunggu besok pagi. Dan Alessa berharap Edgar tidak menyadari sesuatu.

Di saat Edgar pergi ke ruang rahasia tadi. Alessa berpikir dengan keras di saat merasa badannya tidak terlalu sakit lagi.

Ia penasaran dimana Edgar menyembunyikan ponselnya.

Dan akhirnya ia berhasil menemukan ponselnya. Edgar menyimpan di dalam lemari pakaian pria itu, di tumpuk bersama pakaian-pakaian lainnya.

Sebuah keberuntungan karena Alessa berhasil menemukannya.

Alessa membuka ponselnya dan melihat banyak pesan baru yang belum di baca. Ada satu pesan dari sang Ibu yang belum dibuka, menanyakan bagaimana kabar tentangnya.

Dan yang paling banyak dari Mahesa jumlahnya ratusan, karena memang pesan itu tidak ada yang dibaca.

Alessa membaca pesan terakhir dari Mahesa. Di sana tertulis bahwa Mahesa sedang ada di Hawaii, Alessa tidak membaca pesan yang lain lagi. Ia memiliki rencana untuk ini.

Entah sebuah keberuntungan atau apa, tapi Alessa berniat untuk mencoba keluar dari mansion.

Ia memang menyukai mansion ini, tempatnya sangat nyaman, tapi Alessa juga punya kehidupan lain. Ada mimpi yang harus ia kejar.

***

Saat ini mereka berdua tengah berada di taman kota. Alessa sangat gugup, ia menggenggam tangannya yang berkeringat dingin.

Di pagi yang dingin ini membuat tubuh Alessa semakin kedinginan. Edgar membawanya duduk di bangku taman.

Alessa mengedarkan pandangannya. Ia melihat stand yang menjual minuman-minuman. "Edgar aku haus!" rengek Alessa.

"Akan ku belikan tunggulah di sini!" perintah Edgar.

Edgar beranjak dari tempat duduk menuju penjual minuman yang jaraknya lumayan jauh.

Malam tadi Alessa sudah mengabari Mahesa bahwa ia berada di kota yang sama dengannya. Dan Alessa meminta Mahesa untuk bertemu di taman kota dan Mahesa menyetujuinya.

Mata Alessa menangkap sosok pria yang sangat ia kenali, dan Alessa beralih menatap Edgar yang sedang membeli minum, beruntung posisi Edgar sekarang tengah membelakanginya.

Tanpa pikir panjang Alessa berlari menuju Mahesa. Dan langsung menarik Mahesa menjauh dari tempatnya berdiri.

"Alessa...,"

"Di mana mobilmu? Cepat kita pergi dari sini!" ucap Alessa dengan keringat yang mengucur deras di pelipisnya.

"Hey, tunggu dulu. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Mahesa. Alessa terus menarik tangannya.

"Tidak ada waktu menceritakannya sekarang, aku dalam bahaya. Sebaiknya kau katakan cepat di mana kau memarkir mobilmu?"

Mahessa menunjuk di mana mobilnya terparkir. Dan Alessa kembali menariknya sampai ke mobil.

Alessa mendorong tubuh Mahesa ke kursi pengemudi. Dan ia sendiri bergegas duduk di kursi penumpang.

"Cepat lajukan mobilnya! Kita ke bandara sekarang! Jangan banyak bertanya!" perintah Alessa.

Mahesa mengikuti perintah Alessa dan melajukan mobilnya dengan cepat. Sesekali Alessa menoleh ke belakang berharap Edgar tidak mengikuti.

Entah seperti apa reaksi Edgar saat mengetahui Alessa tidak ada lagi di sana. Alessa yakin pria itu akan sangat marah padanya.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kau ada di tempat ini? Bukankah harusnya kau di Boston?"

"Mahesa, tolong jangan banyak bertanya. Aku akan menceritakannya nanti. Jika kita sudah di Brooklyn. Tolong bantu aku!"

"Baiklah!" Mahesa mem-fokuskan konsentrasi kepada jalan raya. Tidak lama mereka sampai di Bandara.

Setelah membeli dua tiket dan menunggu beberapa menit. Merekapun langsung meluncur ke Brooklyn.

Selama perjalanan Alessa hanya diam. Ia sangat takut sekarang. Mahesapun hanya diam. Seakan mengerti kegelisahan yang di rasakan wanita di samping nya.

Mahesa menggenggam tangan Alessa dengan lembut. Seolah berkata 'semua nya akan baik-baik saja'.

Alessa membalasnya dengan senyum tipis, walaupun kegelisahan terlihat nyata di wajah cantiknya.

Alessa berharap ia tidak akan bertemu lagi dengan Edgar, walaupun, jujur saja ia mulai menyukai pria itu.