webnovel

Secret Warehouse

Alessa tak henti-henti mengucap syukur selama perjalanan menuju rumah. Setelah beberapa hari di tempat asing akhirnya ia bisa menginjakan kaki di tempat asalnya lagi.

Seulas senyuman membingkai di wajah cantiknya, walaupun gurat kegelisahan juga terlihat kentara di sana. Ia takut. Takut makhluk berdarah dingin itu murka atas tindakan yang dilakukan Alessa. Takut jika Pria itu mencarinya dan membawanya kabur lagi.

Pikiran-pikiran buruk yang meliputi dirinya perlahan memudar, ketika mobil berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Sebelum turun Alessa mengucapkan terimakasih kepada Mahesa yang sudah membantunya. Alessa berjanji akan menceritakan semuanya kepada Mahesa sebagai balasan atas pertolongan yang didapatkannya.

Setelah mobil Mahesa benar-benar pergi. Alessa masuk ke dalam rumah keluarga Wildblood. Alessa sangat merindukan kehangatan yang terpancar dari rumah Orangtuanya ini. Alessa merindukan orang-orang rumah. Ayah dan Ibunya.

Ia mencari-cari sosok yang sangat ia rindukan itu. Dentingan suara piring dan sendok yang bersentuhan membuat Alessa melangkahkan kakinya ke arah dapur. Terlihat Ibunya yang sedang makan siang sendiri.

"Ibu!" panggil Alessa. Alana terkejut mendapati anaknya ada di depannya dengan senyum merekah.

"Alessa." Alana berdiri dari kursi dan memeluk Anaknya.

"Aku merindukanmu, Bu," ucap Alessa.

"Ibu juga Alessa. Mengapa kau pulang apa ada sesuatu yang tertinggal?" tanya Alana setelah mengurai pelukan hangat itu.

Alessa meringis dalam hati. Merasa bersalah bahwa ia tidak pergi ke tempat tujuan asalnya, jangan salah kan Alessa, salahkan Edgar yang sudah membawa nya pergi jauh.

"Hm, ada berkas penting yang harus diurus di sini dulu Bu," Alessa terpaksa berbohong, tidak ingin membuat Ibunya cemas. Tidak mungkin jika ia harus mengatakan bahwa dirinya tidak pergi ke Boston, akan ada penjelasan baru lagi nanti.

Alana mengangguk paham, tanpa tersirat rasa curiga sedikitpun. "Apa kau sudah makan?" tanya Alana.

"Belum, tapi aku tidak lapar, aku lelah, mau istirahat dulu." Alessa mencium pipi Alana sekilas dan berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

Sungguh ia sangat merindukan kamarnya ini, merindukan berbaring di atas kasurnya yang nyaman, karena bagi Alessa tidak ada tempat lain yang senyaman kamarnya.

Semua barang-barang masih tertata rapi, masih sama seperti terakhir kali ia meninggalkan kamarnya. Alessa langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur. Matanya terasa berat karena mengantuk. Tadi malam Alessa tidak tidur dengan nyenyak, karena terlalu berpikir banyak.

Karena merasa sangat mengantuk Alessa pun tertidur. Di dalam tidurnya Alessa bermimpi bahwa ia sedang berlari dengan cepat menuju rumahnya, anehnya semakin cepat ia berlari, ia malah merasa semakin jauh dari rumah.

Beruntung mimpi aneh itu tidak berlangsung lama. Wanita itu sudah terbangun dari tidurnya, dengan keringat dingin yang membasahi dahi. Sial! Mimpi itu nampak nyata, Alessa ketakutan dan segera mengenyahkan pikiran buruk yang sudah merambat di pikirannya.

Ia sudah ada di rumah sekarang, bukan? Tidak ada yang perlu ia takutkan. Alessa hanya berharap semoga sesuatu yang buruk tidak terjadi lagi.

Merasa tidak mengantuk lagi Alessa memutuskan untuk mandi. Berusaha menyegarkan pikiran yang nampak kacau.

Setelah beberapa menit kemudian Alessa keluar dari kamar mandi. Ia memakai baju rumahan dan bergegas turun ke bawah.

Alessa sangat lapar sekarang, terakhir kali ia makan di mansionnya Edgar ketika ditemani oleh Emely.

Alessa jadi merindukan pelayan Edgar itu. Emely yang dengan mudahnya mengatakan bahwa lift di rumah Edgar rusak dan ternyata lift itu tidak rusak sama sekali.

Alessa tersenyum jika mengingat insiden yang di alaminya di mansion Edgar.

Karena tidak hanya kenangan buruk saja yang terjadi padanya di tempat itu.

Cara Edgar meng-khawatirkannya juga membuat Alessa merasa perasaannya sedikit menghangat. Dan saat terakhir kali Alessa menatap wajah Edgar dari jarak dekat, membuatnya tak akan pernah lupa dengan wajah sempurna Pria itu.

Alessa menggeleng kuat, ia tidak boleh lagi mengingat tentang Edgar. Edgar hanya orang asing yang baru ia kenal.

Sebuah fakta bahwa Edgar bukan manusia biasa juga jadi alasan kuat agar Alessa tidak seharus nya memikirkan Edgar. Ingat Alessa! Dia vampir.

Alessa mencoba melenyapkan pikirannya. Ia membuka kulkas mencari sesuatu yang bisa dimakan. Ketika hendak meraih sebuah apel tangannya berhenti di udara, kala mendengar sesuatu dari arah gudang yang letaknya bersebelahan dengan dapur.

Karena rasa penasaran. Alessa berjalan menuju pintu yang letaknya di samping dapur. Ketika hendak membuka pintu itu, seseorang lebih dulu membuka pintu itu dari dalam. Alana. Ibu Alessa yang keluar.

Alessa menghela napas dengan lega, sedangkan Alana nampak tegang dan gemetar seperti ada sesuatu yang di sembunyikannya. Namun sedetik kemudian Ibunya itu tersenyum lembut. Alana memang sangat pandai menyembunyikan mimik wajah.

Alessa menjulurkan kepalanya melirik ke dalam gudang, namun Alana segera menutup pintu dan menepuk pundak Alessa dengan pelan, "Kau sudah makan?" tanya Alana dengan lembut. Alessa menggeleng.

"Mari ke dapur. Ibu siapkan makanan kesukaan kamu! " Alana menggiring Alessa ke dapur. Alessa hanya pasrah dan mengikuti Ibunya.

Setelah selesai makan Alessa kembali ke kamar, dengan sebuah tanda tanya besar di kepala. Ibunya memang tidak pernah membiarkan Alessa pergi ke gudang sejak kecil.

Alessa masih ingat kata-kata sang Ibu yang mengatakan bahwa di gudang banyak tikus dan binatang-binatang lainnya.

Alessa jadi teringat Edgar lagi, yang tidak mengijinkannya masuk ke pintu rahasia itu dengan alasan yang sama. Kenapa orang-orang di sekitarnya bersikap misterius?

Alessa tergoda untuk masuk ke dalam gudang. Ya, dia akan ke sana nanti malam. Di saat Ibunya sudah tertidur.

***

Perlahan mentari telah digantikan dengan cahaya sang rembulan. Menyisakan cahaya jingga dari ufuk barat. Alessa kini tengah berdiri di balkon kamarnya, menunggu sang rembulan dengan mata berbinar. Senyumnya semakin lebar menatap langit yang menggelap.

Alessa bergegas turun ke bawah memastikan bahwa Ibunya memang sudah tertidur. Senyumnya semakin lebar saja ketika melihat sang Ibu tengah tertidur pulas.

Dengan mengendap-endap Alessa berjalan menuju gudang. Semua lampu di lantai bawah dimatikan semua, Alessa menggunakan penerangan dari cahaya ponselnya.

Ketika sampai di depan pintu gudang Alessa meraih handle pintu dan membukanya.

Gelap. Di dalam gudang sangat gelap.

***

Di malam yang sama. Seorang pria tampan tengah memijit pelipisnya, bagaimana bisa Alessa membodohi dirinya.

Seharusnya Edgar tidak meninggalkan wanita itu sendiri. Alhasil sekarang ia kehilangan Alessa. Alessa kabur darinya.

"Arghhh, sialan. Siapa yang sudah membantu Alessa kabur dariku!" Edgar menggeram marah, matanya berkilat merah.

Edgar membuka lemarinya dan mencari ponsel Alessa yang sudah tidak ada lagi.

Shit, ternyata Alessa mendapatkan ponsel itu. Edgar merogoh ponsel dari saku celana. Dan menghubungi nomor wanita itu. Tidak jauh dari tempatnya berdiri Edgar mendengar suara dering telepon seseorang.

Edgar tersenyum miris melihat ponsel yang dibelikan Edgar untuk Alessa tidak dibawa oleh wanita itu, dengan geram Edgar meraih ponsel Alessa dan langsung melemparkannya ke dinding kamar. Yang sudah bisa di pastikan bahwa ponsel itu sekarang sudah berubah menjadi kepingan puzzle.

Untungnya Edgar sudah menyalin nomor ponsel Alessa yang di bawanya, dan langsung menghubungi nomer itu.