webnovel

Pria Dingin

" Maaf ya Na. " " Untuk apa? " " Maaf atas bang Gibran yang selalu bersikap dingin kepadamu." " Senang bisa mengenalmu, tak apa kan jika kita bersahabat ? " " Justru aku lebih senang jika kau mau bersahabat denganku." " Memangnya apa yang membuatmu penasaran ? " " Tentang sikapnya bang Gibran yang bersikap dingin. " " Memangnya ada apa ? " " Kenapa kau terlihat bingung begitu ? " " Astaga kenapa aku jadi gugup begini ? " " Ekhem! " " Sejak kapan aku membohongi sahabatku? " " Will you be my first love and my last? " " Apa yang sudah terjadi kepadamu? " " Kalian bicara tentang apa? " " Kenapa? Apa ada yang salah denganku? " " Kau tenang Anna disini ada kita, kita siap melindungi mu dari jangkauan pria seperti dia. " " Kurasa tidak perlu karena semuanya sudah jelas. " " Kamu salah faham Na, aku mohon kepadamu tolong kali ini dengarkan aku. " " Ingat Anna kau harus memberitahu kita jika terjadi apa-apa dengan mu. " " Dengar baik baik pukulan mu tidak ada apa-apa nya bagiku. " " Cukup! Aku menyerah! " " Kau berhutang cerita denganku Bilqis. " " Kenapa kau terlihat sangat gelisah? " " Siapa? " " Awww... Shh.. Pelan pelan dong Na. " " AKU TIDAK SEDANG BERCANDA BILQIS! " " Gibran apa kau sudah berhasil menemukan Anna? " " Maaf mah, pah, aku sama sekali tidak menemukan nya. " " Ayolah Gibran, satu kali saja turuti aku. " " Mah, Pah.. Aku sangat merindukan kalian... " " Pah bagaimana jika kita menjodohkan mereka? " " Tidak perlu mah biarkan anak kita yang mengungkapkan perasaannya sendiri. " COMING SOON 15 November 2020

Taeyoonna_Kim · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
49 Chs

Familiar

Hari ini pihak rumah sakit memperbolehkan gadis mungil pulang, karena kondisinya sudah membaik. Tentunya dia merasa bahagia sebab berpikir bahwa akan tinggal satu atap dengan Rama.

Saat ini dia beserta kedua orang tuanya tak lupa pria berkulit tan selalu menempelinya layaknya lintah, mereka sedang dalam perjalanan pulang, dia sengaja tidak memberitahu sepupunya karena ingin memberi kejutan. Namun ketika mereka telah sampai didepan rumah megah dengan bernuansa Eropa itu, membuat keningnya mengkerut heran dia merasa familiar dengan bangunan kokoh yang menjulang tinggi didepannya.

"Mah, pah, ini rumahnya siapa?" Tanya gadis mungil itu heran.

"Ini rumah sahabat kami nak, memangnya kenapa hm?" sahut mamah Fany sambil tersenyum tipis.

"Tidak ada, hanya saja aku seperti tidak asing," ucap Anna jujur.

"Sebenarnya kamu tinggal disini, sebelum kecelakaan menimpamu," kata papah Andre, entah sadar atau hanya reflek dengan ucapannya.

"Benarkah? Kenapa aku tidak mengingatnya?" Tanya gadis mungil itu semakin heran.

"Kau mengalami amnesia, jika kau lupa," gumam Arrian pelan.

"Yaudah kalau begitu, ayo kita masuk," ujar mamah Fany mengalihkan pembicaraan.

Setelah itu mereka segera masuk kedalam rumah megah tersebut, pemandangan pertama yang didapatkan gadis mungil itu adalah sebuah bingkai foto berukuran sedang yang terpajang ditembok dengan apik. Disana dia melihat pasangan paruh baya yang pernah menjenguknya waktu pertama kali dia siuman selain itu terdapat dua pria seumuran dengannya sedang memeluk mereka. Ah sepertinya dia mengenali keduanya.

"Aku baru tahu kalau mereka anak dari sahabatnya papah dan mamah," gumam gadis mungil itu sambil manggut-manggut.

Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya muncul dari belakang sambil tersenyum hangat, dia tidak mengerti hatinya tiba-tiba menghangat dengan sendirinya padahal baru berrmu dua kali.

"Selamat datang Anna, semoga kamu betah disini," ucap mamah Maria sambil tersenyum tipis.

"Memangnya aku akan tinggal disini?" Tanya Anna tak mengerti.

"Iya sayang, kamu akan tinggal disini, karena sekolahmu dekat dari sini, kami tidak ingin terjadi apa-apa kepadamu lagi, kamu mengerti kan?" Jelas mamah Fany lembut.

"Iya mah, tapi apakah sahabat mamah tidak keberatan?" Sahut gadis mungil itu ragu.

"Tentu saja tidak, tante justru merasa sangat senang. Dan sejujurnya ingin mempunyai anak perempuan, apalagi sikapnya baik sepertimu," tutur mamah Maria dengan senyuman hangat yang selalu menghiasi wajahnya.

"Benarkah?" Tanya Anna ragu.

"Benar sayang," jawab mamah Maria sambil mengelus surai kecoklatannya dengan sayang.

Deg!

Jantung gadis mungil itu tiba-tiba terasa berhenti berdetak, lagi-lagi dia merasa familiar dengan sentuhan lembut itu. Namun dia segera menepis pikirannya, mungkin karena sudah lama merindukan orang tua sepupunya menyebabkan hatinya menghangat.

''''

"Tante apa benar Anna sudah pulang?" Tanya pria berdimple itu penasaran.

"Iya," sahut mamah Fany singkat.

"Lalu sekarang dia ada dimana?" Tanya John tidak sabaran.

"Di dalam kamarnya, mungkin dia sedang berbincang dengan Arrian," jelas wanita paruh baya itu apa adanya.

"Yaudah kalau begitu aku akan segera kesana, btw makasih ya tan," ujar John dengan wajah sumringah.

Tanpa berpikir panjang pria berdimple itu segera bergegas naik kelantai dua, namun sebelum ke kamar pujaan hatinya dia harus berganti baju terlebih dahulu dia tidak peduli jika adik sepupu gadisnya merasa terganggu dengan kehadirannya.

Tak memakan banyak waktu, John sudah selesai dari kegiatannya setelah itu dia melangkahkan kakinya menuju kamar milik sang terkasih sambil tersenyum senang melupakan hatinya yang sedikit rapuh untuk sementara waktu pria berdimple itu tak terlalu mempersalahkan kondisi Anna, terpenting adalah gadis mungil itu kembali tinggal satu atap dengannya.

Sesampainya disana, dia segera mengetuk pintu berwarna gading didepannya hingga terdengar suara sahutan dari dalam kamar tersebut. Setelah mendapat izin, dia segera meraih knop lalu memutarnya dengan hati-hati ketika pintu berhasil terbuka John menyembulkan kepalanya sambil tersenyum tipis.

"Hey, apa kau sudah merasa baikan?" Pria berdimple itu menyapanya disertai dengan sedikit basa-basi tak lupa mengeluarkan dimple smile nya.

"Ya, seperti yang kau lihat," sahut Anna sambil tersenyum tipis.

"Syukurlah, aku ikut bahagia melihat kau sembuh," kata John tulus.

"Terimakasih," ujar gadis mungil itu sambil menggaruk pipinya yang mendadak gatal.

"Berarti nanti besok kau sudah bisa pergi ke sekolah?" Tebak John penasaran.

"Bukan besok, tepatnya lusa," jawab Anna seadanya.

"Oke, kalau begitu berangkatnya denganku saja," ucap John antusias.

"Baiklah, jika kau tak keberatan," kata Anna menyanggupi.

"Ekhem! Bay the way disini ada tiga orang loh, kenapa seolah dunia jadi milik kalian berdua?" Tukas pria berkulit tan itu kesal.

Gadis mungil itu melotot sebal, walau jatuhnya terlihat lucu "Arrian, tidak boleh seperti itu! Dimana sopan santunmu?!" Ucap Anna kesal.

"Memang benar kan, sejak tadi kalian mengabaikan aku," sahut Arrian tak terima.

"Tapi tetap saja kau tidak sopan!" Hardik Anna dengan menaikkan intonasi suaranya.

"Sudahlah Na, tidak masalah. Jangan dimarahin terus, nanti dia ngambek gimana?" Pria berdimple itu berusaha melerai perseteruan antara gadisnya dengan adik sepupunya.

"Tuh dengerin, dia aja gak masalah. Kenapa kau jadi marah-marah?" sungut Arrian.

"Namanya John, manggilnya yang sopan," ucap gadis mungil itu penuh peringatan.

"Iya," jawab Arrian ketus.

Di lain sisi pria berkulit putih pucat itu lebih memilih mendekam didalam kamarnya, sebenarnya dia sudah mengetahui keberadaan Anna dirumahnya namun daripada harus makan sakit hati lebih baik menghindar. Dia sadar akan tindakannya sama seperti seorang pengecut yang sedang bersembunyi atau melarikan diri karena tidak bisa memecahkan masalahnya, alasannya 'dia tak ingin mendengar Anna memanggil nama orang lain selain dirinya'.

"Sampai kapan kau menghindar dari Anna?" Tiba-tiba suara familiar itu menyapa indera pendengarannya.

"....."

"Sampai kapan kau menghindar dari Anna?" John sengaja mengulangi pertanyaan yang sama, sebab dia ingin mengetahui jawaban dari saudara kandungnya.

"...."

"Kenapa kau diam? Aku sedang bertanya kepadamu," ujar pria berdimple itu jengah.

"Aku sendiri tidak tahu John, sudahlah jangan memaksaku untuk menjawab pertanyaanmu," sahut Gibran sambil menjambak rambutnya frustasi.

"Tentu saja aku ingin mengetahui jawabannya," tukas John dengan raut wajah yang tak terbaca.

"SUDAH KU BILANG BAHWA AKU TIDAK MENGETAHUI JAWABANNYA JOHN!" Teriak Gibran frustasi.

"Kau benar-benar seperti pecundang Bang, hanya karena dia mengalami amnesia lalu kau menjauhinya, bahkan tidak pernah menemuinya lagi. Seharusnya kau membantunya agar ingatannya segera kembali, bukan mengulangi sikapmu yang dulu," tutur John penuh penekanan.

"Kau tidak mengerti pera_"

"Siapa bilang aku tak mengerti? Tanpa diberitahu pun aku sudah tahu kalau perasaannya Bang Gibran sedang rapuh, tapi bukan hanya kau saja yang mengalaminya Bang. Aku, Bilqis atau bahkan kedua orang tuanya juga merasakan itu semua. Kami sama-sama rapuh Bang, walaupun begitu kami turut serta membantu dan menuntunnya dengan perlahan agar kondisi ingatannya cepat pulih, bukan seperti Abang yang hanya berdiam diri sambil menyalahkan takdir Tuhan karena merasa tak adil," cecar pria berdimple itu geram.

"Apa perlu aku merebut Anna darimu dengan cara mengeksploitasi ingatannya?" Sambungnya dengan ancaman sambil tersenyum miring.

"Maksudmu apa?! Aku tidak akan membiarkanmu merebut dia dariku," ujar Gibran naik pitam.

"Yasudah kalau begitu buktikan, sebelum terlambat," sahut John kelewat enteng.

''''

Hari berganti malam, seperti biasanya keluarga besar Pradipta makan malam bersama karena itu sudah menjadi rutinitas mereka, jadi bukan hanya karena ada pertemuan keluarga saja namun itu termasuk ciri khas tersendiri.

Sepertinya Gibran telah melupakan gertakan dari saudara kandungnya buktinya sekarang dia makan dalam diam tanpa mempedulikan sekitarnya, diam-diam John menghela nafas lelah karena ucapan dirinya hanya dianggap sebagai angin yang berlalu. Dan sebenarnya pria berdimple itu tidak serius dengan ucapannya, namun tetap saja dia merasa geram kepada kakak kandungnya yang bersikap egois.

"Kenapa sikap kak Gibran mirip banget dengan seseorang ya? Dan kenapa lagi-lagi aku merasa tak asing sekaligus terusik akan sikapnya yang dingin seperti itu?" Tanya Anna dalam hati.

"Anna kenapa kau melamun?" Tegur Arrian heran.

"Tidak, aku hanya sedang memikirkan sesuatu." Gadis mungil itu menyahutnya sambil tersenyum tipis.

"Apa yang kamu pikirkan? Apakah ada yang mengganggumu?" Tanya Mamah Fany khawatir.

Gadis mungil itu menggelengkan kepalanya, "Aku hanya merasa tak asing terhadap sikapnya kak Gibran yang dingin, dia sangat mirip dengan seseorang. Tapi aku lupa wajahnya," tutur Anna jujur sambil mempoutkan bibirnya.

Mendengar ucapan gadis mungil itu, mampu mengundang perhatian sanak saudaranya bahkan sang empu pemilik nama tersedak karena saking terkejutnya.

"Uhuk! Uhuk!"

"Ya ampun Gibran, kalau makan hati-hati dong," omel Mamah Maria sambil memberikan segelas air minum.

Tentu saja pria berkulit putih pucat itu segera menerimanya, lalu meminumnya dengan tandas. Setelah itu dia menghela nafas panjang, setelahnya kedua sudut bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman tipis.

"Terimakasih sudah mengingat hal kecil seperti itu, aku yakin suatu saat nanti kau akan cepat menemukan pemilik yang sebenarnya." Gibran menjawab dengan tulus.

Anna hanya mampu mengeluarkan reaksi bingung, sambil mengerjapkan manik bambinya lucu sehingga membuat orang-orang yang berada diruang makan menahan gemas.

TBC