webnovel

Pria Dingin

" Maaf ya Na. " " Untuk apa? " " Maaf atas bang Gibran yang selalu bersikap dingin kepadamu." " Senang bisa mengenalmu, tak apa kan jika kita bersahabat ? " " Justru aku lebih senang jika kau mau bersahabat denganku." " Memangnya apa yang membuatmu penasaran ? " " Tentang sikapnya bang Gibran yang bersikap dingin. " " Memangnya ada apa ? " " Kenapa kau terlihat bingung begitu ? " " Astaga kenapa aku jadi gugup begini ? " " Ekhem! " " Sejak kapan aku membohongi sahabatku? " " Will you be my first love and my last? " " Apa yang sudah terjadi kepadamu? " " Kalian bicara tentang apa? " " Kenapa? Apa ada yang salah denganku? " " Kau tenang Anna disini ada kita, kita siap melindungi mu dari jangkauan pria seperti dia. " " Kurasa tidak perlu karena semuanya sudah jelas. " " Kamu salah faham Na, aku mohon kepadamu tolong kali ini dengarkan aku. " " Ingat Anna kau harus memberitahu kita jika terjadi apa-apa dengan mu. " " Dengar baik baik pukulan mu tidak ada apa-apa nya bagiku. " " Cukup! Aku menyerah! " " Kau berhutang cerita denganku Bilqis. " " Kenapa kau terlihat sangat gelisah? " " Siapa? " " Awww... Shh.. Pelan pelan dong Na. " " AKU TIDAK SEDANG BERCANDA BILQIS! " " Gibran apa kau sudah berhasil menemukan Anna? " " Maaf mah, pah, aku sama sekali tidak menemukan nya. " " Ayolah Gibran, satu kali saja turuti aku. " " Mah, Pah.. Aku sangat merindukan kalian... " " Pah bagaimana jika kita menjodohkan mereka? " " Tidak perlu mah biarkan anak kita yang mengungkapkan perasaannya sendiri. " COMING SOON 15 November 2020

Taeyoonna_Kim · Fantasy
Not enough ratings
49 Chs

Rapuh (2)

Gibran POV On

Selang lima belas menit aku telah sampai disekolah, tanpa basa-basi aku segera memarkirkan Lamborghini Aventador dengan apik. Aku pun segera bergegas turun dari mobil lalu berjalan menyusuri koridor sekolah dengan memasang wajah sedatar mungkin dan tatapan yang menukik tajam.

Aku bisa melihat dengan jelas semua siswa-siswi yang melihatku bergidik ngeri, namun memangnya aku peduli? Bahkan mereka pun tidak mengetahui alasanku kembali bersikap seperti ini, percayalah sekarang aku merupakan sosok pria yang terlihat kuat padahal sebenarnya hatiku rapuh karena gadis yang aku sayangi telah melupakanku begitu saja, ya aku mengerti bahwa itu bukanlah suatu kesengajaan namun aku masih tidak menerima kenyataan ini karena ' Kenapa hanya aku yang hilang dari ingatannya? Kenapa tidak orang lain saja? ' sungguh aku tak tahan jika harus terus-menerus menahannya apalagi jika melihat kedekatan Rama dan Anna semakin menonjol.

Argghh semua perasaan didalam hatiku susah dijabarkan dengan jelas, intinya aku TIDAK MENERIMA KENYATAAN INI! Biarlah aku bersikap egois, kekanakan, atau semacamnya karena sekali lagi aku tidak peduli, bahkan tidak akan pernah sekalipun.

Tap!

Tak terasa aku sampai didepan pintu kelas XII A, tanpa pikir panjang aku segera masuk kedalamnya dengan pandangan lurus kedepan tanpa berniat menyapa mereka dan setelahnya aku duduk dalam diam.

"Astaga Gibran tanganmu kenapa? Apa yang telah terjadi kepadamu?" Suara cempreng itu sangat menggangu pendengaranku, sungguh sebenarnya aku sudah merasa muak dengan kelakuan gadis agresif ini.

Namun jika dipikir-pikir kenapa aku belum mendapatkan jawaban dari misi itu? Apakah aku kurang menekannya? Atau jangan-jangan dia sudah mengetahui tujuanku? Ah, aku tidak peduli, bahkan sampai sekarang Anna belum mengingatku juga.

"Gib, kenapa kamu diam saja?! Aku sedang bertanya kepadamu, sebenarnya apa yang terjadi kepadamu?" ujarnya menuntut jawabanku.

"Ck, kau terlalu berlebihan Laurent. " Aku hanya menyahutnya acuh.

"Tapi aku ingin mengetahui apa yang menjadi penyebab tanganmu terluka begini?" Dia masih kekeh menanyakan hal itu kepadaku.

"Saya hanya bermain-main dengan cermin, memukul benda itu dengan tangan kosong," jelasku enteng.

"Astaga Gibran, kau gila tahu nggak?! Cermin itu termasuk benda tajam?! Dan kau justru menyebutnya sebagai mainan?! Dimana kewarasanmu?!" Dia mencerca ku dengan pertanyaan yang tak berarti bagiku.

"Laurent, berhentilah mencampuri urusan saya." Aku berucap rendah, karena sekali lagi aku sangat muak dengan sikapnya yang suka mengatur bahkan menuntut. Ck, memangnya dia siapa? Saudara saja bukan apalagi kekasih?

"Tapi_"

"SEKALI LAGI SAYA TEGASKAN, JANGAN MENCAMPURI URUSAN SAYA! PAHAM?! " Aku membentaknya dengan keras, hanya melalui ekor mataku saja aku bisa mengetahui reaksinya, dia terkejut mungkin? Atau bisa jadi marah kepadaku?

"Hiks k-kau jahat, hiks aku b-benci k-kepadamu!" Umpatnya.

"Ck, saya tidak peduli," sahutku acuh. "Omong-omong bisakah kau pergi dari hadapan saya?" Sambungku sarkas.

Dia mendongak dengan mata yang berkaca-kaca tapi justru itu membuatku semakin kesal kepadanya, lalu dia pun pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku menghela nafas panjang karena tak perlu membuang tenaga untuk mengusirnya.

Setelah kepergiannya, aku segera meraih ponsel beserta earphone dari tas. Tak ingin membuang banyak waktu aku pun menyelipkannya ditelinga, aku memilih lagu yang sekiranya dapat menenangkan pikiranku.

Gibran POV End

Adnan POV On

Baru saja aku duduk disamping sahabatku, sudah dikejutkan oleh kondisi tangannya yang terbungkus dengan kain kasa. Aku jadi berpikir keras, apa yang terjadi dengannya? Apa ada yang tidak aku ketahui? Lalu apa penyebab tangannya terluka seperti itu? Saking seriusnya memikirkan berbagai hal yang menimpanya, hingga aku tak menyadari bahwa dia sudah menatapku dengan kening mengkerut heran.

"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya.

"Kenapa dengan tanganmu? Sejak kapan kau terluka seperti ini? Apa yang terjadi?" Aku memberondongnya dengan pertanyaan.

"Oh ini, saya hanya memukul cermin dengan tangan kosong," jelasnya, tentu saja itu membuatku naik pitam mendengar ucapannya yang kelewat santai di telingaku.

"Hanya?! Kau bilang hanya?! Gibran cermin itu benda tajam seharusnya kau tahu itu?! Dan lihat sekarang tanganmu terluka! " Aku mengomelinya seperti seorang wanita kepada prianya.

Bukannya menurut, dia justru memejamkan manik kelamnya dengan santai seolah ucapanku adalah sebuah angin yang berlalu.

"Aku sedang bicara denganmu Gibran!" Hardikku sambil mencabut paksa earphone itu dari telinganya.

"Kau sangat cerewet, padahal ini hanya luka biasa," sahutnya dengan wajah kesal.

"Wajar jika aku cerewet, karena kau sahabatku," jawabku tak kalah sebal.

"Kau tidak tahu alasan saya berbuat seperti ini," katanya lirih.

Tunggu dulu! Aku baru menyadari bahwa sikapnya kembali seperti dulu bahkan ini lebih parah dari sebelumnya, aish pantas saja sejak awal aku berbicara dengannya auranya terlihat gelap. Dan aku tahu alasan dibaliknya.

"Aku tahu bahkan aku mengerti, tapi setidaknya kau jangan bertindak seperti itu Gibran," kataku sambil menatapnya iba.

"Ck, tak perlu mengasihani saya," cibirnya tak suka.

"Hei, aku tidak mengasihani mu, tapi aku hanya ingin sahabatku bisa berpikir jernih," sahutku sambil memasang wajah jengah.

Dia hanya memutar bola matanya terhibur.

''''''

Setibanya waktu istirahat, sebagai sahabat yang baik aku menemani Gibran ditaman belakang sekolah. Sungguh melihatnya kembali bersikap dingin mampu membuatku merasa seperti waktu satu tahun yang lalu, cara Gibran menamengi hati rapuhnya dengan wajah sedatar tembok disertai ucapan dan tatapan menusuk seakan dirinya sosok paling kuat padahal suasana hati justru sebaliknya.

Menurutku dia tidak perlu bersikap seperti itu, tak tahukah dia akan terus-menerus masuk kedalam jurang terhadap kerapuhan hatinya? Aku sungguh tidak tega melihat dia menderita seperti ini, apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkan kerapuhannya? Apa aku harus berbicara dengan Anna lalu memintanya agar dia bersedia menjadi temannya Gibran?

Aish, kau ini bodoh atau bego sih bukankah mereka bersaudara hanya saja Anna sedang mengalami amnesia. Aku merutuki diriku sendiri karena merasa tidak berguna disaat dia sedang terpuruk seperti ini.

"Kau tidak perlu memikirkan semua masalah saya," ucapnya seolah membaca pikiranku.

"Tapi aku ingin menjadi sahabat yang berguna untukmu Gib," kataku jujur.

"Tidak perlu seperti itu, kau selalu ada disamping saya pun sudah cukup," sahutnya tersenyum.

Oh tidak, itu senyum yang paling aku benci, karena hanya dari sorot matanya saja aku dapat melihat kalau dia sedang terluka, namun dia menutupinya dengan sikapnya yang dingin bak kutub Utara bahkan mungkin tembok China pun kalah kokohnya.

Adnan POV End

Disana keduanya hanya terdiam dengan pikirannya masing-masing namun itu berlangsung selama lima menit karena setelahnya pria berkulit putih pucat tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya lalu melenggang begitu saja menghiraukan tatapan bingung dari sahabatnya.

"Yak Gibran kau mau pergi kemana?!" Teriak Adnan mencak-mencak.

"Terpaksa aku harus mengejarnya, karena jika dibiarkan dia akan berbuat yang iya-iya." Pria berbahu lebar itu bermonolog diri.

Setelah itu dia berlari menyusul sahabatnya sebelum terlambat, dia tidak peduli dengan sikap Gibran yang lebih dingin dari sebelumnya karena bagaimanapun juga pria berkulit putih pucat itu sahabat satu-satunya.

Namun dia kehilangan jejaknya, sial kenapa jalannya cepat sekali? - umpat Adnan dalam hati.

"Hey kenapa kau disini? Bukankah kau masih ditaman?" Tanya seseorang yang terdengar familiar di telinganya.

"Aish Gibran, tak tahukah kau membuatku kesal? " Pria berbahu lebar itu menyahutnya dengan pertanyaan.

"Kenapa kau kesal?" Tanya Gibran heran.

"Yak, seharusnya kau tahu alasanku kesal seperti ini," teriak Adnan sambil menghentak-hentakkan kakinya.

"Ck, kau berlebihan. Saya hanya pergi kekantin untuk membeli dua potong roti, lalu kau marah?" ucap Gibran datar.

"Tahu gitu, lebih baik aku duduk manis dibangku taman, tapi itu salahmu juga karena tidak bilang lebih awal." Adnan menjawabnya dengan wajah kesal setengah mampus.

Gibran hanya memutar bola matanya malas, seperti biasanya dia mendahului langkahnya meninggalkan sang sahabat yang semakin mencak-mencak terhadap perbuatannya.

"Aish, anak itu hobi sekali meninggalkan sahabatnya!" Cibir Adnan sambil memasang wajah tertekuk.

Dia kembali menyusul sahabatnya, dengan langkah tergesa-gesa karena sungguh dia ingin memaki pria berkulit putih pucat yang sayangnya kini sedang rapuh, tapi pertanyaannya memang ada seorang rapuh yang hobinya mengerjai sahabatnya sendiri?

''''

Di lain sisi pria berdimple sedang melamun, entah mengapa tiba-tiba dia merasa tak rela melihat kedekatan Rama dengan gadis pujaan hatinya.

"Aish, kenapa semakin hari mereka semakin lengket? Tak tahukah mereka bahwa aku cemburu melihatnya?" Tanyanya kesal entah kepada siapa.

"Barusan kau bilang apa? Cemburu? " Tanya gadis berjuluk chipmunk itu memastikan pendengarannya dalam kondisi baik.

"Memangnya salah jika cemburu melihat kedekatan sepupu sendiri dengan orang lain? " John balik bertanya.

"Wajar sih, tapi John bukankah Anna sedang mengalami amnesia? " Sahut Bilqis disertai pertanyaan penuh kehati-hatian.

"Kau ingin Anna berlama-lama hilang ingatan begitu? Kau sahabat macam apa?" Ujar John salah kaprah.

"Bukan begitu maksudku John, kau harus mengerti dengan keadaan. Jika kau memaksanya untuk mengingat semua masa lalunya maka amnesia itu akan permanen karena merasa tertekan, apa kau menginginkan seperti itu?" Bilqis mencercanya dengan wajah serius.

"Kau tidak tahu, betapa aku merindukannya. Aku merasa hampa, seolah jiwaku hilang terbawa olehnya, hatiku rapuh Bil," ucap pria berdimple itu dengan lirih.

"Bukan hanya kau yang merasa seperti itu, kita pun turut merasakannya, baik aku, kak Adnan atau mungkin kak Gibran yang paling parah karena aku tidak sengaja mendengar bisikan-bisikan dari siswa-siswi lain bahwa kakakmu kembali seperti dulu bahkan lebih parah dari sebelumnya," tutur Bilqis lembut. "Ah satu hal lagi, meskipun dia tidak melupakanku tapi aku merasa ada jarak antara kita," sambungnya.

Intinya orang-orang terdekat disekitar Anna merasa hampa sekaligus rapuh karena kehilangan sosok gadis yang ceria, cerdas, baik hati, selalu memaafkan kesalahan orang lain, ya seperti itulah makna kehadirannya dimata mereka.

TBC