webnovel

Posesif Bos

"Aku suka kamu!" Tiga kata terlontarkan dari mulut seorang lelaki yang amat di kesal oleh Helen sendiri. Antara terkejut, shock, waktu berhenti seketika. Helen Jovanka Kimberly harus bersabar menghadapi Bos sinting yang selalu ia juluki tersebut. Kehidupannya yang terus di ganggu setiap hari, setiap saat hingga setiap waktu. Bagaimana untuk kehidupan Helen bisa dirinya mengatasi semua cobaan di alami pada Bos sinting itu?

Lsaywong · Urbain
Pas assez d’évaluations
35 Chs

Lembur

"Jadi kamu sudah menikah?" Helen basa - basi bertanya pada Eric sambil menunggu pesanan makanan mereka datang.

"Aku belum, tapi, aku tunggu kamu dulu. Baru diriku," balas Eric bercanda.

Helen masih memperhatikan penampilan teman satu angkatannya jauh lebih berbeda, ya, tanpa berkaca mata saja makin ganteng menurut Helen. Setahu Helen waktu kuliah, Eric ini benar-benar sangat culun. Rambutnya model belah tengah di depan kaca mata tebal, pokoknya dia itu culun banget di tambah lagi pasang kawat gigi. Dulu dia memang sedikit boneng, cuma sekarang makin beda saja, tanpa ada kawat gigi, kaca mata tebal, rambut tersisir rapi tanpa ada belahan tengah. Terus wajahnya tanpa ada jerawat sedikit pun.

"Aku masih lama, berarti kita sama, ya. Ah, jangan bilang kamu sama aku jodoh lagi. Masih ingat enggak waktu kuliah aku sempat tolak kamu, sampai aku bersumpah enggak akan ketemu kamu yang super culun. Apa ini tandanya karmaku ya?" kata Helen merasa aneh saja sih.

"Iya mungkin, kamu itu terlalu banyak sumpah, ujungnya kita ketemu lagi." Mereka berdua pun tertawa bersamaan.

Di sisi lain, Bryan tengah maut cemburu, padahal dia ingin buat Helen cemburu sama Indri. Ini malah sebaliknya dia yang cemburu, lihat Helen sama pria culun itu mengobrol sambil ketawa - ketawa segala.

Indri dari tadi mengunyah nasi goreng yang sudah hampir habis, sedangkan Bryan masih utuh nasi gorengnya. Indri makin heran saja dengan sikap sahabat seks-nya.

"Yang, kenapa tidak dimakan? Tidak suka, ya?" Indri bertanya

"Enak kok," jawab Bryan langsung.

Indri malah tambah bingung "Enak dari mana masih utuh juga nasi gorengnya," batin Indri dalam hati terheran-heran. Padahal sedikit pun belum disentuh sama Bryan.

"Enak apanya sih, Yang? Dari tadi belum kamu sentuh juga. Kamu sebenarnya kenapa sih?" Indri penasaran sama Bryan dari tadi perhatikan siapa sih.

Indri mengerti sedari tadi Bryan memperhatikan salah satu karyawannya bersama dengan seseorang wanita tak lain adalah sekretarisnya Bryan.

"Kamu cemburu, ya, sama Eric? Dia boleh juga kok. Aku dengar sih dia suka sama Helen, apa jangan-jangan mereka pernah satu fakultas kuliah, ya." Indri mencoba memanasi Bryan saat mendengar penjelasan dari mulutnya.

Indri tahu sifat Bryan bagaimana, selain hubungan intim. Ia tahu juga sifat Bryan kalau suka sama seseorang. Tentu posesifnya itu bakal berlaku untuk dirinya.

****

"Jadi, kamu tinggal di mana?" tanya Helen sambil menyuap satu sendok terakhir nasi goreng.

"Aku masih menetap di kos lama. Soalnya kalau pun aku pindah kos malah tambah jauh dari kantor menuju kos-nya. Dulu sempat berpikir akan pindah, eh, nggak taunya aku diterima kantor ini. Jadinya aku urungkan untuk tidak pindah lagi," jawab Eric panjang lebar.

"Oh ... Benar sih, dari Sudirman ke Thamrin memang dekat sih. Apalagi saat kuliah kamu juga dari Sudirman ke Setia budi," ucap Helen.

"Betul, kamu sendiri tinggal di mana?" giliran Eric tanya tempat tinggalnya.

"Aku kontrak di Ponegoro lumayan jauh sih sama kerja kantor aku. Tapi, untung ada mobil kantor jadi tidak perlu membuang uang ongkos gojek," jawab Helen dilihat arloji di pergelangan tangannya.

Ia terkejut dan melupakan seseorang pukul 14.30 siang hampir jelang sore. Ia lupa Bryan pasti menunggu dirinya di mobil, masa bodohlah untuk dirinya. Yang penting ia tidak terlalu dekat dengan Bos sintingnya itu. Soalnya tangannya suka gatal dan nakal.

"Ric, aku balik dulu, ya, soalnya sudah hampir sore. Belum lagi kerjaan aku belum kelar. Kapan - kapan kita mengobrol lagi, ya." Helen mulai bersiap untuk pergi dari rumah makan.

"Sebentar, nomor whatsapp kamu berapa, biar bisa ketemu janjian," ucap Eric mengeluarkan ponselnya.

Mereka berdua saling menukar nomor. Setelah itu Helen pun buru-buru keluar. Tak lama kemudian Bryan juga ikut menyusul dari belakang tanpa Helen ketahui.

"Sudah selesai obrolnya?" suara muncul dari gendang telinga Helen. Helen langsung dikejutkan oleh Bryan yang ada di belakangnya.

"Ya Tuhan! Pak, bisa tidak kalau muncul itu kasih tahu?!" Mengomel Helen sambil mengelus-elus dadanya.

'Benar-benar jantungku, sebentar lagi aku mati berdiri karena dia.' batinnya dalam hati.

"Kenapa harus beritahu, kamu sendiri pergi begitu saja tanpa permisi sama saya," kata Bryan lalu masuk ke dalam mobil.

Helen makin terdohok sama perkataan Bos-nya ini. Benar-benar Helen pengin resign dari perkerjaan kalau harus hadapi Bos sinting tak ada hujan, tak ada badai, tiba - tiba dingin kayak kutub utara.

*****

Sampai di kantor, Bryan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Helen sih kembali ke tempat meja kerjanya, belum juga mendaratkan pantatnya di kursi dingin dan empuk itu. Telepon sudah berdering dari Bryan.

"Ya, Pak," jawab Helen.

"Nanti malam bawa semua dokumen ke apartemen saya. Tidak ada penolakan, kalau tidak mau gaji kamu saya potong satu bulan full!" ucap Bryan kembali menutup genggaman telepon tersebut.

Helen menatap genggaman telepon, penyiksaan untuk dirinya masih belum berakhir.

'Gila banget, mana ada di luar jam kerja potong gaji. Aarrrggghhh! Aku stres sama pekerjaan ini!' - batin Helen berteriak.

Jam kerja telah usai, Helen membawa beberapa dokumen yang harus ditandatangani. Belum lagi berkas tadi seminar, 'uh... Benar-benar menyiksa' - batin Helen.

Helen membawa secara hati - hati, ini tandanya dia lembur kerja tanpa tambahan lembur. Sedangkan Bryan tak mau tahu, pokoknya harus dilaksanakan perintahnya itu. Kalau tak mau gaji full dipotong sama dia.

Kalau bahas gaji memang bikin Helen harus memilih antara nasib tanpa gaji atau nasib menerima cobaan saat bekerja. Tentu dia memilih menerima nasib cobaan saat bekerja. Kalau memilih tanpa gaji, uang kontrak rumahnya bagaimana, belum lagi makan saja tidak teratur, tiap hari makan mie instan, lama-lama rambut Helen ikut keriting. Bukan rambut saja, tapi, uang juga ikut keriting kayak daun kering sekali diremas hancur semua, alias kere.

Sampai di apartemen Bryan, saat berada di lift. Muka Bryan seram amat kalau Helen lihat sekilas. Seramnya itu seperti ular kobra kalau sedang menghadapi rasa lapar pengin makan tubuh manusia hidup - hidup. Helen saja sudah waswas jika sampai Bryan lakukan macam-macam kayak tadi siang di seminar. Dan Helen pengin hektar itu tangannya.

Sayangnya dia tidak bisa, karena Helen masih di peringkat bawah, coba saja peringkat atas. Mungkin sudah dilakban semua tubuh Bryan. Ah... Helen terlalu banyak mengkhayal tidak akan menjadi kenyataan.

'Sudahlah terima nasibmu Helen.' - batinnya kembali selalu mengeluh tanpa henti.