"Mama ngga mau tau Sha, pokoknya besok malam kamu harus pergi sama anaknya Om Bima!" titah Elen terlihat tak terbantahkan.
Sementara Asha , gadis yang sedang diajak bicara itu masih sibuk dengan ponsel di dalam genggamannya. Entah apa yang baru saja dikatakan Elen didengarnya atau tidak, hanya Asha yang tahu.
"Sha, kamu dengerin Mama ngga sih?"
Asha mengangkat kedua bahunya sembari menggelengkan kepalanya dengan pelan pertanda ia tak tahu apa yang tengah dibicarakan ibu kandungnya itu.
Elen mengurut dadanya melihat ekspresi Asha yang sudah mulai menjengkelkan baginya.
"Makanya kalau orangtua lagi ngomong, dengerin Sha! Bukannya malah sibuk main hape mulu," sungut Elen kesal.
"Emangnya tadi Mama ngomong apa?" tanya Asha. Kali ini Asha mulai terlihat serius. Bahkan ia sampai menyimpan ponselnya dan bersiap mendengarkan apa yang akan dikatakan Elen kepadanya.
Elen menarik napas pelan, "Besok malam kamu pergi sama anaknya Om Bima!"
Asha mengerutkan kening mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Elen. Namun belum sempat Asha berkomentar, Elen telah lebih dulu tak memberinya kesempatan untuk berbicara.
"Mama lagi ngga minta pendapat kamu ya Sha! Mama cuma ngasih tau kamu. Mama rasa kamu cukup tau apa maksud Mama."
Masih dengan ekspresi terkejutnya, Asha menghembuskan napas kasar. Ia telah cukup dewasa untuk memahami apa yang dikatakan oleh ibunya itu.
Bagi Asha, datang ke pertemuan itu berarti menyetujui perjodohan yang telah lama dirancang oleh keluarganya. Tentu saja Asha tak akan menyetujui itu semua.
'Aku harus cari cara biar semua yang Mama rencanakan gagal. Ya kali, aku mau ketemu sama tuh orang! Nggak akan!' Asha terlihat menggelengkan kepalanya dengan mantap.
"Pokoknya ngga ada alasan kamu kali ini untuk menolak, Sha!" Elen berlalu meninggalkan Asha yang masih duduk di sana.
Gadis yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh dua tahun itu hanya bisa menghela napas panjang. Sepertinya ia memang harus berpikir lebih keras lagi untuk menyiapkan rencananya.
***
Suasana di meja makan pagi ini cukup tenang dibandingkan dengan biasanya. Hanya dentingan sendok dan garpu yang saling beradu memenuhi ruangan.
Asha mengelap sudut bibirnya dengan tissu setelah menghabiskan makanan di piringnya.
"Ngga nambah Sayang?" tanya Lukman—ayah Asha yang masih mengunyah makanan.
Asha menggeleng pelan, "Udah kenyang Pa," jawab Asha, lalu meneguk air minum yang ada di sampingnya.
Elen pun juga sudah menyelesaikan sarapannya. Wanita paruh baya itu kembali menatap lekat sang putri yang ada di depannya.
Elen memicingkan mata menatap curiga ke arah Asha yang pagi ini sudah terlihat sangat rapi.
"Kamu mau kemana?"
Asha terbatuk mendengar pertanyaan Elen. Lantas, Asha kembali meneguk minumannya.
"Aku mau ke luar sebentar Ma. Mau ketemuan sama temen-temen aku," jawab Asha dengan tenang. Meskipun ia sudah mulai merasa khawatir dengan ekspresi Elen yang terlihat bisa memahami gelagatnya.
Elen mendecih pelan. Hingga membuat Lukman hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah dua Wanita berbeda generasi yang ada di hadapannya saat ini.
"Kamu lagi ngga ngerencana-in yang aneh-aneh kan Sha?"
Seketika mata Asha membulat sempurna mendengar apa yang dikatakan Elen. Kenapa Mama-nya selalu saja bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Termasuk rencana aneh yang sudah ia pikirkan semalaman itu.
Apa Elen seorang dukun yang bisa membaca pikiran orang? Entahlah, Asha pun juga tidak tahu.
"Dih, Mama apaan sih? Kok curiga mulu sama anaknya?" protes Asha dengan ekspresi memanyunkan bibirnya.
"Pa, bantuin dong! Mama nggak percaya mulu deh sama aku!"
Lukman menghela napas panjang. Selalu saja ia berada di tengah posisi yang sulit. Termasuk sekarang.
"Papa nggak mau ikutan Sha." Lukman mengangkat kedua tangannya.
Kemudian laki-laki yang sudah berusia setengah abad itu pun beranjak dari kursinya. Sebelum meninggalkan ruangan itu, Lukman mengecup kening sang istri.
Setelahnya, Lukman baru meninggalkan kedua perempuan yang sangat dicintainya itu.
"Pa, kok malah pergi sih?" teriak Asha.
Asha pun bangkit dari kursi. Baru saja hendak melangkah, suara Elen telah menghentikan langkahnya.
"Mau kemana? Mama belum selesai ngomong Sha."
Dengan berat hati dan penuh rasa terpaksa, Asha kembali duduk.
"Apa lagi sih Ma? Aku mau pergi, ntar keburu macet," sungut Asha.
Elen menopang dagunya dengan kedua tangan sembari meneliti ekspresi putri semata wayang yang ada di hadapannya. Entah kenapa, instingnya mengatakan kalau Asha tengah merencanakan sesuatu.
"Jawab Mama dengan jujur Sha! Kamu lagi nggak mikirin buat gagalin apa yang Mama bilang kemaren kan?"
Mendengar pertanyaan Elen membuat Asha ingin mengatakan yang sebenarnya. Tetapi, bagaimanapun ia juga tak ingin membuat Elen marah.
"Duh, Mama tuh ya? Nggak pernah percaya, mikirnya terlalu jahat sama aku."
"Mama bukan nggak percaya sama kamu. Tapi kamu ingat kan waktu Mama nyuruh kamu ketemu sama anaknya Om Bima?"
'Hadeeeh, anak Om Bima lagi. Emangnya dia siapa sih? Mama ngebet banget nyuruh aku buat ketemu sama tuh orang.'
Elen menjentikkan jarinya di depan wajah Asha hingga membuat gadis itu terkesiap.
"Tuh kan? Kamu lagi mikirin apa?"
"Nggak ada apa-apa Ma. Udah ya? Aku mau pergi dulu."
Kali ini Asha benar-benar bangkit dari kursi. Ia masih menyempatkan untuk mengecup pipi Elen sebelum beranjak dari sana.
"Awas ya kalau kamu telat pulangnya!" ancam Elen dengan teriakannya.
Asha yang sudah di ambang pintu hanya mengacungkan ibu jarinya.
Asha melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Tanpa membuang waktu lagi, Asha segera melajukan mobilnya. Ia sudah sangat terlambat. Dan itu semua masih gara-gara anak Om Bima.
Sebenarnya siapa Om Bima? Siapa anaknya Om Bima?
Meskipun pertanyaan seperti itu sedang menari di kepalanya, tapi Asha tak ingin memikirkan hal itu untuk saat ini. Setidaknya ia harus senang-senang dulu sebelum entah nasib seperti apa yang sedang menunggunya di depan sana.
Hampir setengah jam berkendara, akhirnya Asha sampai di sebuah tempat yang sudah dijanjikan untuk bertemu dengan teman-temannya. Setelah memarkirkan mobilnya, Asha langsung saja masuk.
Benar, semuanya sudah ada di sana. Kali ini ia begitu terlambat.
"Sha, kok lo baru nyampe sih?" tanya Dinda to the point begitu Asha duduk bergabung dengan yang lainnya.
Di sana sudah ada Dinda, Anya dan juga Saras. Ketiganya adalah teman dekat Asha sewaktu kuliah.
"Sorry ya! Tadi macet, maklumlah," jawab Asha sekenanya.
Ketiganya hanya mangut-mangut mendengar Asha.
"O ya, kita udah pesan tadi. Lo mau pesan apa?" Kali ini Saras yang bertanya.
"Samain aja sama pesanan lo deh."
Saras mengangguk mengerti, lalu ia memesan makanan untuk Asha.
"Eh, gue ada gosip nih," ucap Anya yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.
"Gosip apaan?" tanya Dinda dan Asha bersamaan.
Bukannya menjawab, Anya malah tersenyum hingga membuat ketiga temannya itu kesal. Di saat bersamaan, pesanan mereka datang sehingga membuat para gadis itu melupakan gosip yang dikatakan Anya tadi.