webnovel

Asha Damayanti Wijaya

Keempat gadis itu terus saja bercanda dan saling berbincang mengingat sudah lumayan lama mereka tidak keluar bersama seperti saat ini.

"O ya Sha, lo rencananya mau ngapain setelah ini?" celetuk Dinda tiba-tiba.

Asha menyeruput capucino dinginnya, "Habis ini ya pulang ke rumah. Mama lagi nggak ngizinin kelayapan lama-lama," jawab Asha diiringi tawanya.

Dinda yang bertanya pun merasa sedikit geram dengan jawaban Asha. Apa Asha mendadak jadi polos begitu setelah sekian lama tak bertemu.

"Maksud gue bukan itu Asha."

"Terus apa?"

Sementara Anya dan Saras hanya geleng-geleng kepala mendengar pembicaraan dua orang tersebut.

"Nih, kan lo udah wisuda nih. Setelah ini lo ngapain? Mau kerja atau nikah?" ucap Dinda dengan jelas.

Belum Asha menjawab, Saras sudah lebih dulu berbicara. "Ya ampun. Lo nya dong, yang tanya muter-muter dari tadi. Pantas si Asha nggak ngerti."

"Duh, lo diem dulu deh! Yang ditanya kan Asha. Kok lo yang ngejawab sih?"

"Udah-udah. Kalau udah sama kalian nggak pernah nggak ribut. Jangan bikin malu deh!" kata Anya sembari memijit pelipisnya.

Karena memang seperti itu, kalau mereka berempat sudah ada di tempat yang sama, pasti ujung-ujungnya heboh. Tak jarang mereka menjadi pusat perhatian.

Asha tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan Dinda. Karena, Asha sendiri pun tidak tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini.

Di saat teman-temannya sudah bekerja setelah menyelesaikan pendidikan di bangku perkuliahan. Asha malah masih bersantai-santai tanpa memikirkan harus segera mencari pekerjaan.

"Gue masih belum tau," jawab Asha kemudian.

Asha menyomot cake yang ada di hadapannya. Gadis itu memasukkan potongan cake cokelat it uke dalam mulutnya. Sementara ketiga temannya hanya memperhatikan Asha dan menggelengkan kepala mereka hampir bersamaan.

"Lo mah enak Sha. Udah tajir dari lahir. Beda sama kami." Kali ini Saras yang berbicara.

Ya, memang. Asha sudah kaya semenjak lahir karena terlahir dari keluarga kaya raya. Tak hanya itu, Asha merupakan putri tunggal keluarga Wijaya.

Siapa lagi yang akan melanjutkan usaha keluarga Wijaya kalau bukan Asha. Sudah wajar kalau sekarang gadis itu tak terlalu memusingkan mengenai masalah pekerjaan. Karena tanpa bekerja pun, ia tak akan kekurangan apa-apa.

"Kalian apaan sih? Udah, habisin makanannya! Gue nggak bisa lama-lama."

Pembicaraan-pembicaraan ringan pun tetap berlanjut. Sesekali di antara mereka menceritakan hubungan percintaan mereka.

Waktu untuk bertemu seperti ini sudah sangat jarang. Maka kali ini mereka ingin memanfaatkannya dengan sangat baik.

Tiga jam berlalu begitu singkat. Meskipun belum ada yang ingin beranjak dari sana, tapi Asha harus pergi sekarang juga. Bagaimanapun, ia telah berjanji kepada Elen untuk pulang tepat waktu.

"Kayaknya gue harus balik sekarang deh," kata Asha sembari melirik jam di pergelangan tangan kirinya.

"Yah… kan masih siang Sha. Lo kok buru-buru amat sih?"

"Sorry ya! Gue juga masih mau nongkrong sama kalian. Tapi gue udah janji sama nyokap tadi."

"Ya udah deh. Lo hati-hati ya!"

"Iya. See you!" Asha beranjak dari tempatnya dan melambaikan tangannya ke arah teman-temannya yang masih duduk di sana.

Brukk!

Baru beberapa langkah Asha berjalan, dirinya menabrak seseorang yang datang dari arah berlawanan.

Asha tidak menyangka kalau ia akan menabrak laki-laki yang kini ada di hadapannya itu. Padahal ia sudah sangat hati-hati ketika berjalan. Tetapi laki-laki itu yang tidak hati-hati ketika berjalan.

"Maaf…" ucap Asha dengan kepala sedikit tertunduk.

Namun, laki-laki yang ada di hadapan Asha sama sekali tak merespon gadis itu. Laki-laki tersebut masih sibuk berbicara di telepon.

Asha yang semula ingin meminta maaf, meskipun sebenarnya tak bisa dikatakan bahwa ia yang salah. Tiba-tiba saja merasa kesal karena sikap laki-laki itu.

"Mas…" ucap Asha sambil menyentuh lengan laki-laki asing yang masih sibuk berbicara di telepon.

Lelaki dengan tubuh yang cukup tinggi itu pun langsung melirik tangan Asha yang ada di lengannya sehingga membuat gadis itu segera menyingkirkan tangannya.

"Kenapa?"

Seketika Asha membulatkan matanya mendengar apa yang baru saja dikatakan orang yang sudah menabraknya tadi.

"Mas nanya kenapa? Mas tahu kan kalau tadi Mas yang jalannya nggak hati-hati sampai nabrak saya?" Kali ini Asha terlihat lebih berani.

Sebenarnya masalahnya cukup sepele. Bahkan tak seharusnya dipermasalahkan.

Tetapi sikap laki-laki itu sangat tidak disukai Asha. Seharusnya laki-laki itu meminta maaf dan semuanya selesai.

Namun dilihat dari sikap dan ekspresinya, laki-laki itu tidak akan melakukannya.

Lelaki yang menjadi lawan bicara Asha itu menyimpan ponselnya ke dalam saku. "Lalu kamu maunya gimana?"

Singkat, padat, tapi juga terdengar mengintimidasi.

Asha tersenyum. Lebih tepatnya senyuman dengan ekspresi meremehkan.

"Saya pikir orang yang berpenampilan rapi seperti Mas sangat tahu apa yang seharusnya dilakukan. Ck! Ternyata nggak!" sindir Asha.

"Saya rasa, saya nggak ada masalah apa-apa sama kamu," ucap laki-laki itu meninggalkan Asha yang masih mematung di sana.

"What the—" Asha pun beranjak dari tempat itu.

Hari ini ia telah menghabiskan energi untuk hal-hal yang sia-sia.

Asha kembali ke mobil. Setelah memasang seatbelt, Asha segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat tersebut.

"Awas aja kalau sampai gue ketemu lagi sama orang kayak tadi," gumam Asha yang masih terlihat kesal dengan kejadian tadi.

Gadis itu terus saja menggerutu tidak jelas sepanjang perjalanan menuju ke rumah. Hingga tak terasa Asha sudah sampai di depan rumahnya.

Asha langsung bergegas masuk. Karena ia sudah sedikit terlambat dari janjinya kepada Elen.

"Kamu kemana aja sih? Baru pulang?" Suara Elen di depan pintu telah membuat Asha menghentikan langkahnya.

Asha menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak terasa gatal. Ia sedang berpikir untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan dilontarkan oleh ibunya itu.

"Kan aku udah bilang kalau mau ketemu sama temen, Ma."

Elen meneliti setiap gerak anaknya itu. "Kamu nggak lagi ngerencanain yang aneh-aneh kan Sha?"

Asha mengusap wajahnya gusar, "Ya ampun, Ma. Kok nggak percaya sama anak sendiri sih?"

"Habisnya kamu itu ada-ada aja tingkahnya. Kamu pikir Mama nggak tahu?"

Asha terdiam. Ia tak tahu lagi harus mengatakan apa. Karena apa yang dikatakan Elen memang benar.

"Ya udah, sana siap-siap! Mama nggak mau dengerin alasan apapun malam ini!"

"Iya Ma. Aku ke kamar dulu," pamit Asha.

Asha menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Begitu sampai di dalam kamarnya, Asha menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.

Kedua bola mata Asha menikmati pemandangan langit-langit kamarnya. Pikirannya menerawang kemana-mana.

"Kenapa gue harus nikah sama orang yang nggak gue suka?" Asha bertanya pada dirinya sendiri.

Asha memijit keningnya karena kepalanya terasa pusing.

"ASHA—"