webnovel

Perjanjian Ketiga

Perjanjian Ketiga adalah cerita fiksi horor berlatar belakang tradisi masyarakat Jawa. Bercerita tentang sebuah perjanjian kuno dan keramat di balik tradisi bancakan dan sesajen. Perjanjian yang dilakukan oleh Simbok atau Mbok Sum dengan baurekso Wewe Gombel ini telah mengorbankan istri pertama dan anak pertama Ndoro Sastro. Siapakah Mbok Sum? Akankah terjadi korban selanjutnya pada perjanjian yang ketiga ini? Bersiaplah jika kamu adalah anak pertama atau cucu pertama dalam keluargamu. Karena perjanjian ini selalu mengorbankan 'yang pertama' ....

bomowica · Horreur
Pas assez d’évaluations
26 Chs

Pengaruh Bunga Kanthil

Pagi itu Ratri berjalan-jalan tanpa alas kaki di depan rumahnya. Usia kandungannya telah menginjak tiga puluh empat minggu, sudah cukup tua untuk melahirkan. Tetapi bayangan ular tunggon kembali muncul di benaknya juga tentang Nenek Bongkok yang akan meminta bayinya. Perasaan takut kembali menyelimuti hatinya.

Apakah aku dan bayiku dapat selamat dari gangguan lelembut-lelembut itu? Aku seharusnya menuruti kata-kata y memberikan sesajen pada baurekso, kata Ratri dalam hati.

"Ayu, ayo berangkat bareng ayah. Nanti pulangnya dijemput Bi Warsi." Terdengar suara Wibi keluar dari rumah sambil menuntun sepeda motornya. Ratri pun mendekatinya.

"Kenapa dengan Simbok, Mas. Sampai harus Bi Warsi yang menjemput Ayu? Tidak seperti biasanya,"

tanya Ratri memandang heran pada suaminya sambil mengelus-elus perut besarnya.

"Aku harus memberi jarak pada kalian dengan Simbok. Seperti yang pernah dilakukan oleh ayahmu dahulu,"

jawab Wibi.

"Kenapa Simbok harus dijauhi, Mas?" Ratri memegang tangan Wibi.

"Ratri ... apa kamu sudah lupa kejadian tempo hari di pohon asem tua?" Wibi memperhatikan raut wajah Ratri. Ada sedikit perubahan. Tatapan matanya menggambarkan sedikit kekosongan jiwanya. Wibi merasakan ketegaran hati Ratri mulai goyah.

"Iya juga sih, Mas. Aku masih takut jika ingat kejadian itu."

"Makanya, kita harus lebih hati-hati lagi terhadap Simbok. Aku takutnya kamu terpengaruh lagi dengan omongan Simbok. Mungkin Simbok bisa berbuat lebih nekat lagi bahkan terhadap Ayu sekalipun." Ratri hanya tersenyum dan mengangguk mendengar penjelasan Wibi.

"Ayo, Ayu, cepat sedikit. Ntar ayahmu terlambat masuk kerja. Nanti tunggu Bi Warsi yang jemput, ya," pesan Ratri pada Ayu.

"Iya, Bu," jawab Ayu sambil mencium tangan Ratri dan terus berlari kecil mendekati Wibi.

"Rat, aku berangkat dulu. Aku mungkin pulang telat, semoga tidak sampai terlalu malam. Jaga dirimu dan Ayu baik-baik." Ratri pun mengangguk dan mencium tangan Wibi serta melepas keberangkatan mereka dengan senyuman.

Sementara itu Mbok Sum memperhatikan mereka dari pintu rumah belakang. Setelah kejadian di pohon asem tua mereka memang saling menjaga jarak. Mbok Sum merasa sebagian rahasia masa lalunya tentang kematian ibunya Ratri dan sesajen yang sering dilakukannya sudah diketahui oleh Wibi. Hal itu ditunjukkan dengan penolakan Wibi pada ritual bancakan dan sesajen yang akan dilakukan oleh Ratri. Meskipun Wibi belum bisa membuktikannya secara nyata. Sehingga Mbok Sum pun berusaha keras harus bisa mempercepat ritual sesajen untuk mengorbankan Ratri.

Ratri sudah dalam pengaruh kembang kantil, dia akan menuruti semua omonganku. Dan akan mudah aku korbankan untuk baurekso. Begitu juga dengan Ayu. Sebentar lagi keinginanku bakal terpenuhi semua, kata Mbok Sum dalam hati. Dia segera bergegas menuju dapur untuk memulai kegiatan paginya.

***

Sudah beberapa hari ini, tepatnya setelah insiden kecelakaan motor, Ratri mengambil cuti melahirkan. Dia menghabiskan sisa waktu cuti mengajarnya di rumah dengan ditemani oleh Bi Warsi, seorang perempuan tua yang telah menjadi pembantu rumah tangganya saat Ratri masih dalam kandungan. Suasana rumah yang sepi tidak seperti suasana sekolah tiba-tiba saja mengingatkan Ratri pada sosok mendiang ibunya.

"Bi, aku kangen sama ibu. Ceritakan tentang ibu, Bi. Mengapa waktu itu ibu cepat pergi meninggalkan aku?" Pandangan mata Ratri menerawang jauh keluar melalui jendela kamar tamu.

Bi Warsi memandang Ratri dalam-dalam, kasihan Den Ratri ini. Semoga tidak bernasib buruk seperti ibunya, katanya dalam hati.

"Kenapa, Bi. Apa ada yang disembunyikan dari kematian ibuku?" Ratri membalas tatapan mata Bi Warsi.

"Tidak ada, Den Ratri. Saya tidak tahu persis kejadiannya. Yang saya tahu ibu Den Ratri meninggal di kamarnya sambil mendekap tiga kuntum bunga kantil."

"Bunga kantil, Bi?"

"Iya, Den. Ayah Den Ratri menduga ada yang mengguna-guna ibu hingga menemui ajalnya. Sepertinya ada yang tidak wajar dengan kematian ibu Den Ratri."

Sepertinya aku pernah berurusan dengan bunga kantil itu. Ratri pun tidak menyadari bahwa dirinya juga berada di bawah pengaruh bunga kantil yang sama yang akan mengakibatkan kematian seperti ibu kandungnya.

"Tidak wajar bagaimana, Bi?" tanya Ratri kembali.

"Maaf, Den Ratri. Apakah mendiang ayah Ratri tidak pernah menceritakan kejadiannya?" Bi Warsi balik bertanya. Sementara Ratri hanya menggelengkan kepalanya.

"Seperti cerita orang-orang, kematian ibu Den Ratri penuh misteri seperti kematian Ndoro Sastro dan Ndoro Semi. Mereka diguna-guna. Sepertinya ada yang iri dengan keluarga Ndoro Sastro hingga harus membunuhnya." Bi Warsi mencoba mengingat-ingat kejadian itu tetapi tidak semua bisa diceritakan pada Ratri.

"Ndoro Semi benar istri pertama Kakek Sastro?" tanya Ratri penuh selidik. Bi Warsi menjawab dengan anggukan kepala.

"Kenapa ayah tidak pernah menceritakan itu semua padaku? Terus ... kenapa juga Bi Warsi menyembunyikan itu hingga sekarang?"

"Ma ... maafkan Bi Warsi, Den. Bi Warsi tidak tahu, Bi Warsi cuma menuruti pesan ayah Den Ratri," jawab Bi Warsi sambil menunduk.

Ratri mengambil napas panjang. Pandangannya menerawang jauh. Dia masih bingung dengan kejadian-kejadian mistis yang menimpa keluarganya dulu. Dan apakah kejadian tersebut juga akan menimpa diri dan anak-anaknya?

"Bagaimana dengan Simbok, Bi? Apakah Simbok juga diguna-guna tetapi bisa selamat hingga sekarang?"

"Menurut cerita mendiang ayah Den Ratri, sebelum ibu Den Ratri meninggal Ndoro Sum melakukan ritual sesajen untuk menolak guna-guna yang mengganggu kehidupan keluarga ini. Tetapi malah ibu Den Ratri sendiri yang menjadi korban."

"Jadi ibu meninggal karena diguna-guna juga? Oleh siapa, Bi?" Ratri menatap Bi Warsi dalam-dalam.

"Entah, Den. Tapi ayah Den Ratri mencurigai Ndoro Sum pelakunya," jawab Bi Warsi dengan suara pelan.

"Simbok sendiri?" Ratri seakan tidak percaya atas kecurigaan ayahnya, "bukankah Simbok melakukan sesajen untuk keselamatan keluarga?"

"Bukan Simbok, Nduk! Simbok memang melakukan sesajen untuk keselamatan keluarga, tetapi ibumu tidak percaya seperti kamu, Nduk," sahut Mbok Sum dari kamar makan. Rupanya Mbok Sum mendengar pembicaraan Ratri dengan Bi Warsi.

"Terus bagaimana, Mbok?" tanya Ratri ketika Mbok Sum muncul dari ruang makan dan menghampiri mereka.

"Ya, seperti yang diceritakan Mbok Warsi itu tadi. Ibumu menjadi korban guna-guna karena tidak mau menuruti kata-kata Simbok. Jadi bukan Simbok pelakunya, Nduk!" Terpancar amarah dari mata Mbok Sum. Dia menatap tajam Bi Warsi.

"Maafkan saya, Ndoro Sum. Saya cuma dengar dari kata orang-orang," kata Bi Warsi merasa ketakutan dan menundukkan kepalanya.

"Makanya kalau tidak tahu, jangan asal ngomong! Sudah sana bersih-bersih dapur!" kata Mbok Sum dengan nada marah.

"O ya, Bi. Nanti kalau sudah waktunya pulang sekolah, Bi Warsi jemput Ayu, ya ...," pinta Ratri.

"Baik, Den Ratri," kata Bi Warsi sambil undur diri.

"Mbok, benarkah kematian ibuku karena diguna-guna?"

"Iya, Nduk. Sebenarnya Simbok sudah menyarankan ibumu agar membuat sesajen mohon keselamatan pada baurekso untuk menolak bala guna-guna itu. Tapi ibumu tidak mempercayai semua itu. Sama seperti kamu saat ini."

"Tapi Ratri sekarang mau nurut sama Simbok. Ratri tidak mau diganggu oleh lelembut itu lagi, Mbok." Ratri memandang Mbok Sum dengan tatapan mata kosong.

Sementara Mbok Sum pun tersenyum mendengar kata-kata Ratri. Rupanya aroma mistis kembang kantil pemberian Wewe Gombel benar-benar sudah mempengaruhi pikiran Ratri.

***

Waktu terus berlalu hingga tak terasa mentari sudah beranjak menuju peraduannya. Mendung hitam menggantung berarak-arakan di langit. Wibi ditemani seorang teman masih dalam perjalanannya ke luar kota. Bergantian mereka bertukar tempat di belakang kemudi mobil jika merasa lelah.

Sementara malam semakin menjelang, diiringi turun hujan rintik-rintik. Udara dingin pun berembus membelai lembut Ayu yang sudah tertidur berselimut mimpi indahnya. Kumandang azan Isya' telah lewat. Wibi pun dalam perjalanan pulang. Ada perasaan tidak enak dalam hatinya.

Ratri ... apakah kamu baik-baik saja? tanya Wibi dalam hati. Matanya menerawang menembus kerlap-kerlipnya lampu kota di malam hari. Wibi mengambil telepon genggamnya dan mencoba menghubungi Ratri.

'Tuut ... tuut ... tuut ....' Terdengar nada masuk. Tetapi lama tidak ada respons dari Ratri. Wibi semakin gelisah. Tak sadar dia menambah kecepatan mobilnya ketika berjalan di luar kota. Sementara hujan turun semakin deras.

"Sabar, Mas Wibi! Pelan-pelan saja!" kata temannya mengingatkan.

"Perasaanku tidak enak, nih. Aku ingin cepat sampai ke rumah!" kata Wibi sambil menurunkan kembali kecepatan mobilnya.

"Aku takut terjadi sesuatu dengan istriku. Bulan Januari ini menjelang kelahiran anakku. Aku khawatir karena anakku posisinya sungsang," lanjut Wibi lagi.

"Tenang, Mas Wibi, kan ada ibu mertua di rumah. Percayalah, beliau pasti bisa mengatasi keadaan jika waktu kelahiran anakmu tiba."

"Simbok? Eee ... itu dia. Simbok ...!" Wibi semakin cemas ketika temannya mengingatkan tentang ibu mertuanya, alias Simbok.

"Tarik napas panjang dulu, Mas. Ingat anak istri di rumah, jaga keselamatan kita. Kalau perlu aku ganti yang pegang kemudi," usul temannya khawatir dengan situasinya. Tapi untunglah Wibi dapat mengendalikan perasaannya dan dapat mengemudikan mobil dengan tenang di bawah guyuran hujan deras.

*****