Ratri duduk di tepi pembaringan di dalam kamarnya. Pantatnya masih terasa sakit akibat benturan dengan aspal waktu dia jatuh dari sepeda motor bersama suaminya. Sementara Wibi merebahkan tubuhnya di sampingnya. Tidak ada yang terluka dalam kecelakaan itu. Termasuk kandungan Ratri meskipun mengalami guncangan.
"Bagaimana dengan kandunganmu, Rat? Apa terasa sakit?" Wibi memperhatikan Ratri.
Ratri hanya menggeleng. Sejenak mereka terdiam larut dalam pikiran masing-masing.
"Mas, apa yang telah dilakukan Simbok di pohon asem tua itu, ya? Mungkin kecelakaan yang baru saja kita alami ini akibat dari itu semua." Ratri menarik napas panjang sambil mengelus-elus perutnya.
"Dugaanku makin kuat kalau Simbok mempunyai maksud tertentu padamu, Rat. Tapi kita belum punya cukup bukti." Pandangan mata Wibi menerawang ke langit-langit kamar.
"Mungkin apa yang dikatakan Simbok selama ini benar, Mas. Kita yang telah melanggar pantangan leluhur. Dan kita juga yang harus menebus kesalahan itu. Jadi aku harus menuruti apa kata Simbok, Mas."
"Sabar dulu, Rat. Jangan mudah menyerah begitu. Menebus atau tidak, kamu tetap akan menjadi korban. Tapi dengan menebus dan menjalankan ritual sesajen malah akan mempermudah lelembut itu menguasaimu."
Wibi menatap dalam-dalam mata Ratri. Ada getar gelisah dan rasa putus asa yang dalam di sana. Setelah kejadian itu sepertinya sugesti Mbok Sum tentang lelembut dan sesajen telah tertanam dalam hati kecil Ratri.
Keesokan harinya Wibi membawa Ratri untuk kontrol rutin di Rumah Sakit dengan harapan tidak terjadi hal-hal yang tidak mereka inginkan karena kecelakaan itu. Dan kehamilan serta proses kelahirannya kelak dapat berjalan dengan lancar. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Dari hasil USG diketahui bahwa posisi bayinya tetap sungsang. Kepala bayi di atas dan leher bayi terbelit tali pusat sebanyak dua lilitan.
"Menurut buku riwayat pemeriksaan ini, bulan keenam posisi bayi sudah normal, kepala sudah mengarah ke jalan lahir. Tapi bulan ketujuh kepala bayi kembali ke atas, posisi sungsang. Sebenarnya bulan kedelapan dapat kembali normal. Tapi ini posisi bayi tetap sungsang," kata dokter sambil membandingkan dengan dua gambar foto USG bulan lalu.
"Apakah jatuhnya istri saya dari motor menyebabkan posisi bayinya tidak bisa kembali normal, Dok?" tanya Wibi.
"Sepertinya itu bukan penyebabnya." Sang dokter kembali memperhatikan foto USG bulan ketujuh dan kedelapan.
"Pada bulan ketujuh ada lilitan usus di leher bayi, meskipun tidak terlihat jelas, yang menyebabkan posisi kepala bayi kembali ke atas. Dan lilitan usus itu terlihat jelas pada foto USG bulan kedelapan ini," kata dokter.
Wibi dan Ratri pun ikut memperhatikan foto USG tersebut. Tetapi apa yang dilihat oleh Ratri menjadi tanda tanya besar baginya dan mungkin akan dianggap sebagai halusinasi saja oleh Wibi.
"Mas, di foto USG itu seperti ada ular yang melilit di leher anakku." Ratri memperhatikan foto itu dengan saksama, "aku ingat kejadian ular tunggon yang masuk ke perutku waktu itu. Aku takut terjadi sesuatu dengan bayiku. Bagaimana menurutmu, Mas?"
"Memang mirip ular, Rat. Tapi kita berpikir positif saja agar tidak terus terpengaruh dengan perkataan Simbok." Wibi mencoba mengalihkan perhatian Ratri.
"Apakah bayiku kelak dapat lahir dengan selamat, Dok?" tanya Ratri.
"Ibu tidak usah khawatir. Posisi sungsang memang merupakan suatu kelainan. Asalkan bayinya sehat, dengan operasi cecar masih aman untuk mengambil bayi ibu," kata dokter. Sejenak suasana hening. Sang dokter pun tak bisa berbuat banyak karena dari foto USG memang terlihat bayi Ratri dalam keadaan sungsang.
Dan siang itu ruang periksa pasien terasa panas bagi Ratri. Karena sugesti Mbok Sum tentang lelembut yang selalu mengganggunya semakin mencengkeram pikirannya. Ratri semakin gelisah. Perasaan takut semakin membelenggu hatinya. Pandangan matanya bergerak-gerak cepat memperhatikan sekeliling ruangan. Tiba-tiba dia melihat bayangan seorang anak berpakaian putih berkelebat mengikuti ke arah mana matanya memandang.
"Mas ... ada anak itu lagi dibalik jendela," kata Ratri ketakutan sambil memalingkan wajahnya ke arah Wibi. Wajahnya terlihat pucat.
"Tidak ada anak itu, Rat! Tenangkan hatimu. Minta perlindungan pada Gusti Alloh ..," sahut Wibi.
Aku ... aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayiku. Mungkin aku harus menuruti kata-kata Simbok. Sesajen itu ... aku harus menebus kesalahanku dulu dengan memberikan sesajen pada baurekso! kata Ratri dalam hati. Tembok penghalang dalam pikirannya pun runtuh. Tapi hati Ratri masih diliputi keraguan.
"Besok tinggal tunggu waktu untuk melakukan operasi cecar. Malah ibu tidak akan merasakan kesakitan seperti kelahiran normal," kata dokter memecah lamunan Ratri. Wibi dan Ratri hanya menjawab dengan anggukan kepala.
***
Setelah kejadian di pohon asem tua, Mbok Sum sengaja menghindari Wibi. Dia tidak ingin beradu percakapan dengan Wibi. Mbok Sum tidak ingin Wibi menggagalkan lagi rencananya. Dia lebih sering berada di rumah belakang sambil menunggu waktu yang tepat untuk membujuk Ratri kembali.
"Kamu tidak pergi mengajar, Nduk?" sapa Mbok Sum saat pagi itu melihat Ratri sedang duduk sendiri di ruang tamu. Mbok Sum pun ikut duduk di samping Ratri.
"Tidak, Mbok. Aku cuti, badanku terasa capek semua."
"Kemarin aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan suamimu. Apa benar bayimu sungsang, Nduk?"
"Iya, Mbok," jawab Ratri sambil mengusap-usap perutnya. Matanya memandang Mbok Sum. Ada sedikit kekhawatiran padanya setelah kejadian di kebun kosong itu.
"Dulu Simbok sudah bilang, jangan pergi memeriksakan kandungan kalau pas hari pasaran Selasa Kliwon dan jangan periksa ke rumah sakit itu lagi. Tapi kamu dan suamimu tetap ngeyel.)* Jadinya ya ... seperti ini!" Mbok Sum kembali mengingatkan Ratri tentang pantangan yang pernah dilanggarnya dulu.
"Lha ... apa hubungannya, Mbok? Sekarang sudah jaman internet, jamannya pasar online. Orang-orang sudah berpikiran maju," jawab Ratri mencoba tenang. Dia teringat pesan Wibi agar tetap tenang dalam menghadapi Mbok Sum.
"Kamu boleh tidak percaya pada hitungan orang-orang Jawa jaman dulu, tapi kenyataannya kamu sudah dua kali mengalaminya sendiri." Mbok Sum menarik napas panjang. Ratri melihat keseriusan pada wajah Mbok Sum.
"Mengalami apa, Mbok?" tanya Ratri. Dipandanginya wajah Mbok Sum yang masih terlihat awet muda dan cantik itu dengan tatapan lembut sambil tersenyum. Terlihat guratan-guratan kekecewaan pada wajah Mbok Sum karena Ratri tidak mempercayai kata-katanya.
"Ya ... itu tadi, anakmu akan diganggu terus oleh lelembut. Pertama, jabang bayimu tidak berkembang dan harus dikuret!" kata Mbok Sum sambil menatap tajam mata Ratri. Terasa getaran menusuk hati dan mempengaruhi detak jantung Ratri. Raut wajah Ratri pun berubah.
Simbok ... tatapan mata itu mengingatkanku pada lelembut Nenek Bongkok, kata Ratri dalam hati.
"Tapi kan tidak jadi dikuret, Mbok. Dan sekarang sudah sehat," kata Ratri sambil mencoba mengalihkan perhatiannya dari tatapan mata Mbok Sum.
Dia mengambil kotak susu untuk ibu hamil dan menuangkan tiga sendok susu ke dalam gelas yang sudah berisi air hangat. Kemudian diaduknya pelan-pelan. Tetapi hatinya tetap saja gelisah. Perasaannya tidak menentu dan takut lelembut Nenek Bongkok akan muncul kembali.
"Iya ... tapi itu pertanda tidak baik untuk kehidupan jabang bayimu selanjutnya. Bahkan sekarang bayimu sungsang. Itu juga karena kamu tidak mau menuruti kata-kata Simbok untuk memberikan sesajen di pohon asem itu."
"Simbok jangan berkata seperti itu lagi ya, Mbok. Aku semakin bingung dan tidak mengerti dengan kejadian-kejadian yang telah menimpaku. Sesajen itu ... apakah benar-benar bisa melindungiku atau malah akan mencelakaiku, Mbok?" tanya Ratri semakin gelisah. Terasa nada bicaranya menjadi sedikit gemetar. Sebentar kemudian dia berusaha menghabiskan minuman susunya.
"Kalau kamu mau menuruti kata-kata Simbok untuk memberikan sesajen pada baurekso maka dia dapat melindungi keselamatanmu," bujuk Mbok Sum.
"Tapi bukankah nasib seseorang itu tergantung pada Gusti Alloh, Mbok?" Ratri masih bisa berpikir logis.
"Tergantung pada apa yang kita usahakan. Kalau kamu tidak mau berusaha memberi sesajen, ya ... lelembut itu akan terus mengganggumu." Mbok Sum terus berusaha memberikan sugesti pada Ratri.
Sejenak Mbok Sum diam menunggu reaksi Ratri. Dia merasakan ada kebimbangan dalam hati Ratri untuk mengiyakan permintaannya. Tetapi Mbok Sum berkeyakinan akan dapat mempengaruhi Ratri. Apalagi dia sudah diberi tiga kuntum bunga kantil oleh baurekso Wewe Gombel.
"Sebagai orang Jawa, kita punya tradisi turun temurun untuk mengatur kehidupan ini, Nduk. Kanggo nggayuh kaselametan lan kamulyaning urip)*. Leluhur kita dulu mempunyai ilmu titen)*. Yang terjadi pada anakmu itu sudah bisa di petung)* ke depannya. Sejak awal perkembangan jabang bayimu itu sudah diganggu dan diikuti terus oleh lelembut. Walaupun bisa tumbuh normal tapi kan sungsang letaknya. Itu karena kamu dan suamimu melakukan hajat untuk jabang bayimu pada hari pantangan." Dengan sabar Mbok Sum memberi penjelasan panjang lebar untuk mempengaruhi Ratri.
Perlahan Mbok Sum mengeluarkan bungkusan kecil dari balik bajunya. Terasa aroma wangi bunga kantil. Semakin lama bau wangi itu semakin menyengat di hidung Ratri. Ratri sedikit tersentak dan aroma wangi itu terus saja menusuk tajam masuk ke rongga hidung menuju pusat syaraf di kepala Ratri.
"Mbok, apa yang Simbok bawa?" Ratri memperhatikan bungkusan itu.
"Ini ...?" Mbok Sum tersenyum dan menyodorkan bunga kantil dalam balutan kain mori tersebut.
"Ini bunga kantil. Supaya kamu tidak diganggu oleh lelembut. Apa kamu tidak merasa capek dikejar-kejar terus oleh lelembut itu, Nduk?" lanjut Mbok Sum.
Ratri bagai terhipnotis oleh bau wangi bunga kantil itu. Dia hanya mengangguk dan menatap Mbok Sum dengan pandangan kosong.
"Kalau begitu kamu turuti saja permintaan Simbokmu ini," usul Mbok Sum.
Mbok Sum mengambil satu kuntum bunga kantil itu. Dia kemudian meremasnya sambil didekatkan ke hidung Ratri. Perlahan Ratri menghirup aroma wangi bunga kantil itu. Semakin lama semakin kuat dan Ratri terperangkap dengan sugesti yang telah diberikan Mbok Sum. Bagai kerbau dicucuk hidung Ratri menuruti semua keinginan Mbok Sum.
"Mbok, aku sudah capek. Aku ingin memberi sesajen pada baurekso agar lelembut tidak menggangguku lagi. Tapi, Mbok, bagaimana dengan Mas Wibi? Pasti dia tidak setuju dan tidak mengizinkan aku," kata Ratri.
"Bisa Simbok atur waktu pelaksanaannya." Ratri hanya mengangguk dan menatap Mbok Sum dengan pandangan kosong.
*****
Catatan :
Ngeyel : tidak mau menuruti
Kanggo nggayuh kaselametan lan kamulyaning urip : untuk memperoleh keselamatan dan hidup yang lebih baik.
Ilmu titen : ilmu berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi, mengingat dan menganalisis kembali.
Petung : dihitung berdasarkan prediksi.