Makan siang untuk Adam sudah siap untuk di antarkan.
Karleta meraih tas dan cardigan miliknya. Hari ini cuaca mendung. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
Dengan tergesa-gesa Karleta memesan ojek untuk mempercepat waktu.
Sesampainya di depan kantor Adam, Karleta merapihkan sedikit rambutnya yang berantakan saat perjalanan tadi.
Ia memandangi kotak bekal makan siangnya dengan senyum mengembang.
"Mau nganterin makan lagi?" tanya resepsionis sebelum Karleta membuka suaranya.
"Iya Mbak." Karleta mengangguk semangat.
"Tuan ada di ruangannya, langsung ke sana saja," ucap resepsionis itu.
"Baik Mba k, terima kasih." Karleta semakin mengembangkan senyumnya.
Ia berjalan ke ruangan Adam sambil bersenandung kecil.
"Nyonya." Martin menunduk sedikit saat menyapa, sebagai penghormatan.
"Jangan seperti itu, bersikaplah biasa, aku malu," ucap Karleta tersenyum kikuk saat ada beberapa pasang mata yang melihat ke arah mereka. Mungkin mereka merasa aneh karena Martin tangan kanan sang bos menunduk hormat pada seorang kurir. Mereka tidak tau kalau Karleta istri dari bosnya.
"Ada perlu apa Nyonya? bisa saya bantu?" Martin tidak menanggapi ucapan Karleta.
"Aku mau nganterin makan siang, tadi pagi Adam yang memintanya," jelas Karleta.
"Baik Nyonya tunggu saja sebentar. Saya akan sampaikan kedatangan Anda pada Tuan." Martin membawa Karleta untuk duduk menunggu di sofa tunggu yang sudah di sediakan.
Martin memberitahukan Adam tentang kedatangan Karleta dengan telpon.
Setelah mendapatkan jawaban, Martin mengakhiri sambungannya.
"Nyonya silahkan Anda masuk saja," ucapan Martin terdengar ragu.
"Baiklah. Terima kasih." Karleta tersenyum dan beranjak menuju ruangan Adam.
Setelah mengetuk ruangan sebagai sopan santun. Karleta masuk ke dalam dan di suguhi pemandangan yang mampu memporak-porandakan hatinya.
"Mas....!! kotak bekal makan siang yang Karleta bawa terjatuh bersamaan dengan air matanya.
Karleta mengusap air matanya kasar dan segera menutup pintu ruangan Adam dan pergi secepat yang ia bisa.
Hatinya benar-benar hancur tak tersisa.
Dan di dalam ruangan tersebut, Natasya tersenyum miring sambil mengenakan pakaian miliknya. Mereka baru saja selesai bercinta.
"Datang di waktu yang tak tepat," gumam Natasya.
Ya tadi karleta masuk saat Adam dan Natasya sedang menggila untuk meraih puncak kenikmatan yang hampir sampai.
Sedangkan Adam hanya diam tak berucap satu patah kata pun. Hanya tangannya yang sibuk merapikan celana beserta kemejanya.
_______________
Karleta berjalan tak tentu arah, wajahnya muram semuram cuaca hari ini.
Rintik hujan pun mulai turun menyerbu tubuh mungil Karleta namun ia tetap saja berjalan tanpa tau kemana ia akan pergi.
Perselingkuhan suaminya terpampang jelas di depan matanya.
Wanita mana yang tak sakit hati. Baru saja menikah tapi suaminya memiliki wanita lain.
Hujan turun semakin deras mengguyur bumi seolah ingin menumpahkan segala bebannya.
Seperti Karleta yang ingin mengeluarkan semua sakit hati dan rasa kecewanya dengan air mata.
Karleta mendongakkan kepalanya ke atas dan mendapati payung yang menghalangi air hujan menyerang dirinya.
"Aku akan melindungimu."
Karleta langsung berbalik dan mendapati Martin yang rela kehujanan demi memayungi dirinya.
"Teruslah menangis tapi setelah ini, jangan lagi ada air mata yang mengalir di pipimu." Martin mengusap lembut pipi Karleta.
Sungguh Karleta tertegun, ia tak bisa mengeluarkan apapun dari bibirnya.
Martin bersikap sangat manis. Tak pernah ada orang yang bersikap seperti ini pada Karleta selama ini. Martin orang pertama dan itu membuat Karleta salah tingkah.
Martin tersenyum tipis. Melihat tingkah Karleta. Tapi Martin tak tau, justru senyum Martin yang jarang terlihat membuat Karleta makin tak karuan.
"Ayo pulang!" Martin mengajak Karleta pulang.
"Aku gak mau," tolak Karleta kembali mengingat kejadian tadi di kantor.
"Jangan seperti itu. Bertahanlah, semua butuh waktu." Kali ini Martin tidak bersikap formal seperti biasanya.
"Tapi itu sangat menyakitkan. Sangat sakit." Karleta memegang dadanya seolah menunjukkan rasa sakit teramat sangat.
"Jika kamu tak sanggup, suatu saat nanti aku akan mengambilmu."
"Apa maksudmu?" Karleta menatap wajah tenang Martin.
"Tidak ada, ayo cepat pulang. Mandi nanti kamu sakit." Martin menolak untuk menjelaskan pada Karleta. Andai Karleta peka, pasti ia bisa merasakan bahwa Martin menyukainya.
Dengan terpaksa Karleta mengikuti Martin untuk mengantarnya pulang.
Sepanjang perjalanan, Karleta hanya diam memikirkan kenapa ia selalu menderita.
Tapi kini di samping Martin, Karleta merasa nyaman dan terlindungi.
"Udah sampai," ucapan Martin membuyarkan lamunan Karleta.
"Suamimu sudah menunggu." Karleta mengikuti arah Martin melihat.
Di sana ada Adam yang sedang berdiri bersandar di pintu dan memasukkan kedua tangannya di saku celana.
Martin turun kemudian membukakan pintu untuk Karleta.
"Aku takut," lirih Karleta melihat expresi Adam seharusnya Karleta yang marah tapi kenyataannya Adam yang terlihat marah dan itu membuat Karleta takut.
"Tenang, semua pasti baik-baik aja." Martin mencoba memberikan semangat untuk Karleta.
"Apa yang kalian lakukan. Cepat kemari....!!!" teriak Adam tak sabar menunggu Karleta turun.
"Cepatlah." Martin memberikan senyumnya lagi dan senyum itu menular pada Karleta, memberikannya ketenangan.
Perlahan Karleta turun dari mobil, sedangkan Adam berjalan cepat ke arah Karleta kemudian menariknya masuk rumah secara kasar.
Langkah lebar Adam membuat Karleta sulit mengimbangi dan hampir saja Karleta jatuh berkali-kali.
Semua yang ada di mansion itu menundukkan kepalanya tak berani melihat ke arah tuannya yang sedang marah. Sebenarnya mereka iba dengan nyonyanya namun tak bisa berbuat apa-apa.