Empat jam berlalu, setelah terus melewati jalan tol yang lurus dan membosankan, akhirnya mobil yang disupiri oleh Supri melewati pintu tol.
Sebuah tulisan besar-besar terpampang disana. Pintu tol Palimanan. Kendaraan empat roda itu terus melaju melewati jalanan kota. Rio mulai tertarik dengan pemandangan yang mereka lewati.
Banyak rumah-rumah kecil yang jika dibandingkan dengan rumah mewah milik keluarganya, rumah-rumah itu hanya seukuran gudang penyimpanan barang-barang tak terpakai di halaman belakang rumahnya.
Pemandangan kios-kios pinggir jalan dengan segala dagangan menarik yang dijajakan sering kali membuat Rio menajamkan mata, 'apa itu?' dalam hatinya penasaran, tapi jika ia meminta makanan yang dijual salah satu kios dan stand pinggir jalan itu sang ibu pasti akan menolaknya.
Semakin lama jalanan menjadi semakin menanjak, mereka bahkan melewati sebuah tikungan tajam dengan banyak monyet-monyet yang makan di tepian jalan raya, banyak pohon Cemara di sisi-sisi jalan. Udara semakin terasa menyegarkan, berbeda sekali dengan sebelumnya.
Rio bisa mendengarkan ibu dan ayahnya yang asik beradu argumen tentang jenis monyet apa yang tadi mereka lihat dan nama daerah apa yang sedang mereka lewati ini. Tak tertarik dengan topik pembicaraan orangtuanya, Rio membesarkan volume musik dan melihat layar ponselnya.
GPS di ponselnya menunjukan bahwa ia berada di daerah sekitaran Cirebon. Kota yang dulu hanya ia ketahui lewat peta saat pelajaran IPS.
Orang-orang berkata bahwa Cirebon adalah kota yang dekat dengan laut, tapi sepanjang perjalanan ini yang ia lihat justru kaki gunung. Setelah mengunci kembali layar ponselnya, pandangannya kembali mengedar pada pemandangan pohon-pohon di sepanjang jalan.
Tidak ada yang menarik di dalam benda pipih mahal itu. Walau semua fitur canggih yang dimilikinya tak membuat Rio menganggap benda itu penting untuk dilihat lama-lama.
Tidak ada akun sosial media yang ia buat seperti remaja pada umumnya, tak ada satu pun nomor kontak teman-teman sekolahnya yang ia simpan, meski sebenarnya ia masuk ke dalam grup chat kelas. Tapi tak ada yang menyadari karena Rio hampir tak pernah berinteraksi di sana.
Tak berselang lama, mini Van yang membawa mereka berbelok ke kanan, menyusuri dengan pelan jalan yang terlihat baru diaspal beberapa Minggu lalu. Masih begitu hitam dan bersih. 1 meter di depan ada sebuah gerbang besi besar yang dibukakan seseorang.
Mobil Van berhenti sejenak ketika melewati seseorang tersebut. Ia menyapa dengan ramah dan tersenyum lebar. "Saya Kardi, yang ngurus rumah ini pak. Ini dari rombongan keluarganya pak Suryadi ya?"
Supri mengangguk sambil tersenyum, "Betul pak."
Setelah basa basi yang tak berselang lama itu, Supri kembali menjalankan mesin mobil. memasuki halaman rumah yang luas dan begitu asri dikelilingi pepohonan. Dari kaca belakang mobil, Rio melihat pak Kardi tadi menutup kembali pintu gerbang yang jelas sekali baru saja di ganti catnya.
Jarak antara pintu gerbang dengan rumah cukup jauh, halaman terbuka yang lantainya di tutup papingblock ini terlihat terawat dan begitu menyatu dengan alam. Di sisi kanan ditumbuhi jejeran pohon mangga serta pohon besar yang tak Rio ketahui jenisnya, sedangkan di sisi kiri, terdapat begitu banyak pot bunga yang disusun rapih diatas rak 4 susun sepanjang satu setengah meter.
Bunga warna warni dengan berbagai jenis di dalam pot, membuat nuansa asri yang nyaman, tidak menakutkan seperti yang Rio pikirkan sebelumnya. Tentu saja, Rio berpikir ia akan tinggal di dalam hutan. Kanan dan kiri rumahnya hanya lahan kosong yang di tumbuhi pepohonan besar dan pohon Pinus.
Bahkan dari halaman rumahnya, Rio bisa melihat puncak-puncak Pinus itu bergoyang tertiup angin.
Rio sudah turun dari mobil yang terparkir tak jauh dari garasi rumah. Pandangannya berkeliling melihat ke atas. Masih takjub dengan pucuk-pucuk pepohonan dan beberapa burung liar yang hinggap dan bercericit di sana. Ini benar-benar berbeda dari tempatnya tinggal dulu.
Kota besar, ramai, berisik dan penuh dengan lampu-lampu kota yang menyilaukan. Disini.. sunyi, hanya terdengar suara burung dan desau angin. Udaranya yang menyegarkan paru-paru membuat Rio reflek menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya sambil tersenyum.
"Bagus kan den? kita sekarang tinggal di tengah hutan di kaki gunung," Suara Supri membuatnya sedikit terkejut, reflek menoleh dan melihat sumber suara yang sedang tersenyum sambil melihat-lihat sekeliling, "Sejuk banget kan den? Aden suka?" Supri mengalihkan pandangan pada majikan mudanya yang ia urus sejak kecil itu.
"Suka, saya suka udaranya." Rio tersenyum lalu membenarkan letak ransel hitam besar di punggung lalu menyusul ayah dan ibunya ke dalam rumah.
Seperti selera sang ibu, Desain rumah ini terlihat sangat kebarat-baratan. Dua tiang besar di depan rumah ala istana Eropa, lalu lantai marmer yang berkilauan, sofa besar berbahan kulit imitasi, dan tangga melingkar di sudut ruang tengah. Rio bosan dengan suasana rumah yang seperti ini. Rumahnya yang dulu di Jakarta pun seperti ini, persis seperti yang ada di hadapannya. Bedanya cat rumah ini jauh lebih cerah dibanding rumahnya yang dulu, hampir semuanya berwarna putih dan beberapa bagian diberi aksen hijau lumut yang menyegarkan.
'Home sweet home' desahnya pelan.
Masih dengan ranselnya yang menempel di punggung, Rio duduk di salah satu sofa yang empuk dan berbunyi saat ia menempelkan bokong diatasnya. Suara yang lucu, membuatnya sedikit tersenyum.
Pak Kardi masuk dengan tiga orang yang belum mereka lihat sebelumnya, "Pak, buk saya mau memperkenalkan orang-orang yang akan bekerja di sini. seperti kriteria yang Ibu Melisa inginkan."
Sang bunda bertepuk tangan sekali, ia merasa puas dengan apa yang pak Kardi lakukan, "Wah terimakasih."
Satu wanita dari 2 pria itu tersenyum dan bicara lebih dulu, "Saya Sari umur 30 tahun, saya yang akan bertanggung jawab atas makanan dan kebersihan rumah ini Bu."
"Saya Jodi, saya tukang kebun," Pria berusia sekitar akhir 20an dan berkulit sawo gelap terlihat grogi saat memperkenalkan diri.
"Saya Sapto pak, saya supir yang akan mengantar bapak dan ibu," pria berusia sekitar 30an itu punya postur tubuh yang sedikit lebih gemuk dari yang lain. Rambutnya ikal dan senyumnya sangat ramah.
Rio memperhatikan ketiga orang itu dan langsung merasa cocok. Baginya yang terpenting orang-orang yang bekerja di rumahnya harus pintar berkomunikasi, cekatan dan mudah memahami situasi. ketiga hal itu bisa Rio yakini ada pada mereka bertiga.
"Rio, Ayah dan bunda akan sering tidak berada di rumah. Karena kantor ayah ada di Jakarta. Bunda juga harus mengurus beberapa bisnis yang sudah berjalan di sana. jadi ayah harap kamu bisa beradaptasi dan menjaga diri di sini saat tidak ada kami." Ayahnya menepuk pelan pundak Rio.
Rio sering sekali ditinggal orangtuanya karena urusan bisnis. Berada di rumah hanya bersama para pekerja. Sayangnya banyak yang tak betah bekerja, karena sang bunda yang terlalu suka menuntut kesempurnaan.
Jadi apa yang ayahnya katakan barusan, bukanlah sesuatu yang baru.
***