3 Kamar yang Sama

Hebatnya, semua barang-barang di kamar ini sudah disusun sedemikian rupa seperti kamarnya di Jakarta. Ranjang besar di tengah dibungkus sprei gelap motif bendera sebuah negara, lalu meja belajar menghadap jendela, komputer yang sama persis di letakkan rapih di permukaan kiri meja, di sisi kirinya sebuah rak buku besar berisikan koleksi buku-buku miliknya sudah tersusun sesuai dengan abjad judul. Mengerikannya, persis seperti apa yang selama ini ia lakukan untuk menyimpan buku-bukunya.

Rio bergidik melihat seisi kamarnya, 'ini tak ada bedanya dengan kamarku dulu di Jakarta.' protesnya entah kepada siapa. Koper koper miliknya diletakkan di dekat lemari pakaian yang terbuat dari kayu. Menempel pada dinding.

Untuk bagian pakaian, Rio sepertinya harus membereskannya sendiri.

"Den," Suara Supri dari balik pintu kamar membuat konsentrasi Rio terganggu, ia baru membuka tas besar berisi buku pelajaran dan beberapa barang kesayangannya.

"Masuk pak Supri," sahutnya tanpa bangkit dari duduk.

Membuka pintu dengan pelan tanpa menutupnya kembali, "den, mau saya bantu bereskan barang-barangnya?"

"Nggak perlu pak Supri, saya bisa sendiri," Rio tak mau menambah list pekerjaan untuk pak Supri.

Pak Supri yang memang sudah seperti jantung di rumah mewahnya. Semua dibawah pengawalannya selama Si nyonya besar alias bunda Melisa tidak ada. Jenis makanan apa saja yang bisa disajikan untuk keluarga ini, apa saja jenis wangi-wangian yang keluarga ini sukai untuk cucian mereka. Semua atas arahan Supri. Tentu saja karena Supri adalah karyawan yang paling lama bekerja di keluarga Suryadi, belum lagi latar belakangnya yang ternyata adalah masih kerabat jauh ayahnya.

"Aden besok udah mulai masuk sekolah, atau aden mau istirahat dulu? jadi saya buatkan surat absen ke pihak sekolah," Supri duduk di lantai, mengikuti cara majikan mudanya yang sibuk membongkar tas dan koper-kopernya.

"Besok saya langsung berangkat sekolah, pak." seperti biasa, jawaban patuh, singkat dan jelas akan selalu Rio lontarkan. tidak ada keraguan, ia akan selalu menjawab sesuai dengan kondisi dan keinginannya. Dan Supri paling tahu akan hal itu.

Sejujurnya, kondisi Rio yang tak banyak bicara ini bukan sejak kecil terjadi. Saat usia Rio 7 tahun, saat bundanya mengalami sakit keras dan harus melakukan pengobatan yang lama. Rio menjadi begitu tertutup dan penurut.

Supri masih penasaran dengan hal itu, ia takut jika ternyata majikan mudanya mengalami trauma. Tapi, melihatnya tumbuh menjadi remaja yang baik membuatnya sedikit merasa lega.

'Den Rio baik-baik saja, ia hanya sedikit lebih pendiam dari anak lainnya.' Begitu yang Supri yakini.

"Den, Sekolah Aden nanti agak jauh dari sini. Jadi Aden akan saya antar jemput." Supri usil ikut menyusun baju-baju yang ada di dalam koper ke atas ranjang, agar Rio mudah meletakkannya di dalam lemari.

"Bukannya itu sudah biasa?" Katanya, mendelik pada Supri dengan wajah datarnya.

Benar juga! sejak Rio mulai bersekolah, Supri selalu mengantar dan menjemput Rio. Tidak pernah sekali pun Rio berangkat atau pulang sendiri.

"Yah iya sih. Di sini gak ada angkutan umum lain selain mobil help putih yang ada 30 menit sekali den, itu pun hanya beroperasi sampai ke pertigaan jalan ini. Di pasar sana." Supri menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk arah.

Rio mengikuti arah yang di tunjuk Supri dengan cermat tanpa bicara, otaknya menganalisa dan mengingat jalan yang pernah ia lewati saat datang ke sini.

"Ngerti kan den? Jangan pulang sendiri, karena jauh dan daerah ini sepi. Pernah ada yang jadi korban begal di daerah sebelum rumah ini den."

"Apa itu begal pak Supri?" Rio benar-benar asing dengan kosakata itu.

"Begal itu kumpulan orang jahat yang menodong pemotor dengan senjata den, mereka meminta barang-barang berharga seperti motor, handphone dan uang," Entah berita dari mana Supri dapat soal kejahatan begal di lingkungan ini. Padahal mereka baru sampai di sini beberapa jam lalu.

"Itu artinya daerah ini nggak aman, pak?" Rio mulai beranjak dan memasukan tumpukan celana yang ada di tangannya ke dalam lemari.

"Aman den, kan ada pak Wahyu sama pak Bambang yang jagain rumah ini. Mereka bisa beladiri Lo. Ada izin membawa senjata api juga, jadi mereka punya pistol."

"Begitu ya?" Melihat majikan mudanya hanya mengangguk angguk tak yakin membuat Supri mendesah.

"Aden gak suka pindah ke sini?"

Rio langsung menoleh dan mendekati Supri, "Suka pak, saya suka udaranya."

Supri tersenyum, sejak awal sampai pun majikannya berkata hal yang sama. Itu artinya baru udara di daerah ini yang membuatnya merasa nyaman. semua hal lainnya masih dinilai-nilai majikannya.

"Baiklah kalau begitu den, bentar lagi waktu makan. Mau saya bawa ke kamar atau Aden yang turun ke bawah?" Supri bangkit dari duduknya.

"Saya nanti akan turun pak." Rio ikut bangkit dan meraih beberapa tumpuk baju lain.

"Oke den," Setelah menutup pintu kamar majikannya, Supri langsung menuju dapur melihat rekan barunya bekerja untuk pertama kalinya.

***

Dua koper sudah kosong, isinya sudah dipindahkan ke dalam lemari dan beberapa masih ada di atas ranjang, Kemeja dan baju seragam sekolah lamanya. Rio tidak menemukan hanger di dalam lemari gantungnya, jadi ia membiarkannya dulu.

Saat ini ia sedang sibuk dengan buku-buku pelajaran dan barang-barang favoritnya di atas meja. Menyusun dengan rapih alat-alat tulis di dalam laci meja.

Menghentikan semua kegiatannya, Rio memandang keluar jendela. Pemandangan pepohonan dan jalan raya yang sepi terbingkai oleh kusen kayu bercat hijau lumut. Begitu damai dan tenang.

Ia penasaran, sekolah seperti apa yang akan ia datangi, orang-orang seperti apa yang akan ia temui esok. Ia berharap mereka semua berbeda dari yang pernah ia temui di Jakarta.

Lamunannya tak lama, ia kembali membereskan barang-barang di kamarnya. Hampir semua sudah berada di tempatnya, Koper-koper kosong bahkan sudah Rio letakkan diatas lemari kayu. Hanya tinggal kemeja dan baju-baju seragamnya.

Rio akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai satu dan makan siang, sembari menanyakan tentang hanger untuk baju-bajunya.

Ayah dan ibunya sudah duduk menghadap meja yang tersaji beberapa makanan menggugah selera, ada sayur nangka, oreg tempe kering, ayam goreng dan sambal goreng kentang kesukaan ibunya.

Menu makanan ini jarang sekali Rio makan, ia lebih sering makan sup jamur dan olahan ikan-ikanan laut. Ibunya berkata bahwa menu seperti itu bagus untuk otak Rio. Seperti yang ibunya inginkan, Rio tak rewel soal makanan. Ia akan memakan apa yang diberikan.

"Bagaimana kamarmu Rio?" Ibunya bertanya dengan penuh perhatian. Rio tahu bahwa ibunya ingin dipuji terhadap kerja kerasnya, betapa ia bisa dengan detail mendekorasi kamarnya semirip mungkin dengan kamar sebelumnya.

"Sangat nyaman." Rio menjawab singkat.

"Syukurlah, Bunda harap kamu bisa belajar dengan tenang. Apa ada lagi yang kamu butuhkan Rio?"

"Hanger bunda, Di lemari nggak ada hangernya," setelah berkata begitu Rio langsung meraih sendok nasi, meletakan nasi dan lauk pauknya di dalam piring. Dan menyantapnya tanpa ragu. Ia sangat lapar, meski diperjalanan tadi dua bungkus roti kasur ia habiskan sendirian.

Rio mungkin kaku dan tak banyak bicara, tapi selera makannya cukup besar dan itu yang membuat ibu dan ayahnya merasa lega.

***

avataravatar
Next chapter