webnovel

OMB - 07.

BRAM!

Jelita membanting pintu kos sangat kuat, sehingga kos sebelah terkejut. Siapa yang bisa memaki atau membentak Jelita. Apalagi sudah pukul 12 malam. Tengah malam, saat orang yang muncul dari kos diurungkan. Karena terdapat sosok yang cakep di depan kos  Jelita.

Ardian mengantar Jelita pulang ke kosnya. Padahal Ardian berusaha membujuk Jelita menginap di apartemennya. Sayangnya Jelita menolak mentah-mentah. Tentu Ardian tidak memaksa, asal menjadi kekasih pura-pura dengan Jelita. Ardian sudah puas, dan menang.

Jelita yang di kos, merebah dirinya atas sofa, ia merasa jengkel akan sikap atasannya. Kepalanya hampir pecah, rasanya hidup ia tidak pernah bahagia selalu saja ada kekacauan.

Pip! Pip! Pip!

Suara ringtone pesan dari ponsel milik Jelita berbunyi. Jelita mengangkat pantatnya sedikit dan merogoh kantung, karena celana dia pakai terlalu sempit jadi kesulitan meraih ponsel ukuran kecil itu.

Ia pun membuka pesan dari siapa lagi, padahal dia ingin membuang rasa penat dikepalanya. Ia mendengus panjang dari hidungnya.

Manusia Gila

Jangan terlalu malam tidur, ingat besok aku akan menjemputmu. Tidak ada penolakan, jika tidak ingin dirimu di tendang dari kos jelek itu?!

Salam, manismu. ❤

Jelita yang baca isi pesan dari Ardian. Apalagi diberikan tanda love? Jelita memicingkan seakan-akan dirinya kebutaan huruf.

Pip! Pip! Pip!

Pesan datang lagi, dari Ardian juga.

Manusia Gila

Oh ya, aku lupa. Sebelum besok ke kantor. Aku ada sesuatu untukmu. Aku harap kamu bisa menerimanya. Sebagai tanda terimakasih.

Salam manismu. ❤

Lagi, Jelita baca lama-lama ia merasa ilfil dengan bentuk love itu. Jelita ingin teriak, namun diurungkan nya. Ia pun membalas pesan dari Ardian.

Ardian belum beranjak dari tempat kos Jelita. Ardian di mobil sembari menunggu balasan dari Jelita. Entah kenapa Ardian begitu suka dengan sosok seperti Jelita. Apa jangan-jangan ia jatuh cinta sama anak ABG? Benar-benar Gila Ardian. Senyum-senyum sendiri tanda ia Gila. Kadang otak suka geser setiap melihat wajah Jelita di apartemen.

Ardian pikir kalau dirinya keluar dari kamar mandi hanya memakai satu setelan handuk di pinggangnya. Jelita akan terkagum dan mimisan melihat badannya yang berpetak-petak.

Kring! Kring! Kring!

Suara pesan dari ponsel android Ardian berbunyi. Ardian pun membuka kata kunci ponselnya. Sesuatu yang di tunggu-tunggu pun datang juga.

Jelita.A.P

Iya, Pak yang bawel?! Tapi makasih. Bapak tidak perlu repot-repot jemput. Aku bisa naik bus di halte?!

Ketika Jelita membalas pesan dari Ardian. Ia pun memilih untuk membersihkan diri lagi di kamar mandi. Ponsel miliknya kembali berbunyi pesan dari Ardian.

Ardian masih setia menunggu, hingga subuh dini hari. Ardian ketiduran di mobil. Sementara Jelita tidak memeriksa ponselnya lagi setelah keluar dari kamar mandi. Ia melihat jam dinding di depan telah pukul 1 pagi, pantas Jelita merasa mengantuk. Ia pun menuju ke kamar, kemudian mengisi baterai ponsel yang sudah padam dari tadi.

Esok paginya, alarm Jelita berbunyi sangat garing. Jelita pun mencabut kabel baterai dan melihat dekat mata terpejam sangat berat. Angka menuju pukul 08.25 wib. Jelita melebarkan kedua matanya karena terkejut.

Jelita menyingkirkan selimutnya ke sembarang. Ia pun segera ke kamar mandi mencuci muka dan mandi seadanya. "Sialan?! Terlambat bangun lagi?! Ini semua gara-gara manusia Gila?!" omel Jelita.

15 menit kemudian, Jelita selesai dengan pakaian ia pakai. Kemudian ia pun bersiap berangkat kerja. Ketika pintu kos ia buka. Jelita hampir menabrak seseorang di sana.

"Aduh! Kalau berdiri itu jangan di depan kos orang ...."

****

"Kenapa mukamu cemberut begitu? Pagi-pagi jangan pasang muka seperti itu, hilang nanti manisnya," ucap Ardian melirih sembari mengemudi di depan.

Bagaimana tidak cemberut si Jelita, kalau pagi-pagi dia sudah terlambat ke kantor, dan atasannya sudah muncul di depan pintu kos. Apalagi pakai pasang ekspresi tak bersalah pula.

"Aku sudah bilang ke bapak, tidak perlu repot-repot jemput, kenapa ngeyel banget sih?!" sengit Jelita karena kesal.

Padahal niatnya memang mau berangkat sendiri, tapi pria disampingnya itu malah nekat pula. Cuma herannya itu, pakaiannya tidak di ganti. Pasti atasannya semalaman tidak pulang ke apartemen.

"Tetap saja, kamu itu kekasihku. Semalam sudah aku katakan, mulai sekarang kamu itu kekasih pura-pura. Jadi kamu harus bersikap manis, dan jadi kekasih yang patuh?!" balasnya.

"Itu keinginan bapak?! Aku belum menyet--" CIIITTT!

Jelita menjerit, Ardian mendadak rem dan berhenti tepat di depan zebra cross lampu merah. "Ya Tuhan! Bapak kalau mau bunuh diri jangan bawa-bawa...." Mata Jelita melebar dan berkedip-kedip berulang kali.

Ardian menjauhkan wajahnya, apa yang dilakukan pada Jelita. Jelita terbengong. "Justri itu  kubawa dirimu sama-sama mati. Aku serius, jadi jangan jadi gadis keras kepala?!" ucapnya kemudian menjalankan mobil setelah lampu telah berubah warna hijau.

Jelita merasa sesak napas, ia merasa ini mimpi. Mimpi yang paling buruk pernah ia temui. Kesialan apa lagi yang ia terima. Dua puluh lima menit, tiba di perantara parkiran. Jelita dan Ardian sampai di salah satu rumah. Entahlah rumah siapa yang ia datangi. Yang pasti bukan rumah kantor, atau rumah makan.

"Ayo, turun!" pinta Ardian, Jelita menurut, kemudian keluar dari mobilnya. Dilirik sekitar halaman rumah, bagai bak istana boneka Barbie.

"Rumah siapa ini, Pak?" Jelita bertanya mengikuti jejak Ardian memasuki perantara rumah bertingkat.

"Rumah orangtuaku," jawabnya mengangkat tangan untuk memencet bel.

"HAH?!" Jelita terkejut mendengarnya, Ardian memejam kemudian membuka, lalu menoleh meminta gadis itu menjaga sikap.

"Sssttt... Ingat, ucapan yang ku beritahu tadi?!" bisiknya seakan menekan, walau terpaksa. Demi bisa terhindar dari perjodohan mamanya.

Jelita merasa ini permainan anak-anak, ia ingin mencekik atasannya ini. Namun pintu itu terbuka oleh seseorang. Niat Jelita akan mencekik Ardian terhalang. Menoleh bersamaan,  seorang wanita paruh baya namun masih cantik karena polesan bedak di wajahnya. Jadi, terlihat masih berusia 40-an.

"ARDIAN!" Winda bersorak, semalam baru video call dengan putranya. Sekarang putranya pulang dengan membawa seseorang.

Betapa bahagia Winda melihat putranya menepati janjinya. Ardian berdiri tegap, menyambut mama tercinta selalu bawel menyuruh dirinya segera menikah.

"Hai, Mam! Apa kabar mu!" sapa Ardian memeluk Winda, tak lupa mencium pipi kanan dan kiri. Jelita yang berdiri tak jauh dari dua orang tengah berpelukan untuk melepaskan kerinduan.

Winda melepaskan pelukan putranya kemudian melirik Jelita dari ujung kepala hingga ujung kaki, sampai berulang-ulang kali. Ardian turut melirik nya, untung Ardian sudah sediakan baju sesuai ukuran gadis itu. Sebenarnya Jelita menolak untuk ganti pakaiannya saat ia akan untuk berangkat kerja.

****

Dua jam yang lalu tepat di kos Jelita. Ardian bangun saat jam alarm miliknya berbunyi. Telah pukul enam pagi. Ia tertidur, kemudian ia pun menyempatkan ke salah satu musholla untuk numpang cuci muka.

Setelah itu, melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya masih ada waktu untuk bisa mengajak Jelita ke rumah mamanya. Walau mendadak, ia tidak peduli jika Jelita akan marah dan kesal.

Ia meninggalkan tempat kosnya Jelita ke suatu tempat. Tak lama kemudian sekitar dua puluh menitan, mobilnya berhenti salah satu pasar tradisional. Meskipun ardian tidak pernah menginjak tempat itu.

Melihat beberapa baju yang sesuai ukuran Jelita. Ia pun membeli sepasang. Terus ia pun segera meninggalkan tempat itu, kembali ke kos Jelita sebelum gadis itu kabur dari kos.

Sekali lagi Ardian melihat jam tangannya telah pukul 07.45 pagi. Masih terjaga, terdengar suara ponsel alarm milik Jelita berbunyi. Ardian masih setia menunggu di depan kosnya. Tidak peduli jika yang lain memperhatikan dirinya di sana. Ada yang senyum padanya, menyapa, kadang berbincang-bincang sebentar.

Penuh kesabaran, Ardian memindahkan posisi membelakangi pintu kos Jelita. Ketika Jelita membuka pintu untuk keluar karena terburu-buru ia pun menabrak punggung Ardian masih sempat mengumpat.

"Aduh! Kalau berdiri itu jangan di depan ..." Ardian memutar akhirnya bisa melihat wajah kesal Jelita.

Jelita membulat matanya, ia sendiri kaget. Kenapa bisa atasannya itu bisa disini. Ardian senyum merekah, dan berikan kantung plastik kepada Jelita.

"Ini...!" seru Ardian.

Jelita menerima, malah bingung atas kantung plastik hitam itu. "Apa ini? Kenapa bapak bisa di sini?"

"Cepat ganti?! Jangan banyak bawel?!" Ardian mendorong Jelita kembali masuk. Sedangkan Jelita malah kebingungan atas sikapnya.

"Eh ... tapi pak!"

Perdebatan di kos Jelita, buat yang lain terbengong-bengong. Ardian menunggu di dalam sembari melihat-lihat tempat tinggalnya. Lalu menelusuri sebuah foto hitam berbingkai di atas meja kusam.

Beberapa menit kemudian, Jelita keluar dari kamar mengganti baju diberi oleh Ardian. Dengan wajah merenggut, ia merasa risi atas pakaian ia pakai.

Ardian yang melihat pun terkagum meskipun baju kaus biasa dan celana panjang.

"Puas pelototi terus? Memang ada apa sih? Suruh aku ganti baju segala?" tutur Jelita menarik-narik baju yang terlalu ketat itu.

"Ada deh, ya sudah, ayo kita berangkat," ujar Ardian melangkah keluar kosnya.

****

Jelita membatu diselidiki oleh wanita paruh baya. Ya, Jelita tau wanita itu adalah mamanya Ardian. Semalam diperlihatkan video call tiba-tiba diakui kalau dirinya adalah kekasih Ardian, atasannya.

"Kamu cantik sekali? Beda di telepon semalam, apakah kamu mempunyai keturunan blasteran?" cecar Winda mendekati Jelita, awalnya Jelita kira kalau mamanya Ardian itu galak, mirip film meteor garden.

"Hah?"

*****

Ternyata berada di posisi menjadi pura-pura kekasih bos CEO kayak Ardian itu tidak mengasyikan. Apalagi sekarang Jelita kayak orang bodoh duduk manis berjam-jam di ruang tamu, lalu celingak-celinguk, lirik sana-sini banyak barang mahal-mahal. Segalanya ada warna corak keemasan. Apalagi dinding terpajang gambar harimau itu. Entah apa lagi yang Jelita lihat.

Mau berapa lama lagi sih aku itu duduk di sini? batinnya.

Sedangkan di belakang dapur Winda menyiapkan beberapa camilan dan teh untuk tamu spesial putranya. Ardian keluar dari kamar menuju ke dapur ambil minuman. Dia ganti pakaian, ya pasti dong ganti. Satu hari satu malam tidak pulang ke apartemen cuma bawa cewek itu ke sini.

"Itu pacar kamu orang mana sih?" Pertanyaan pertama dari Winda kepada Ardian. Ardian melirik Jelita masih duduk diam di sana. Lalu kembali menatap mamanya.

"Orang sinilah, orang mana lagi?" jawabnya asal, Winda sekali lagi melirik Jelita di sana.

Winda tidak percaya atas jawaban dari putranya sendiri, tanpa bersalah sekali pun Winda memukul pundak Ardian pelan.

"Jangan bercanda kamu! Tidak mungkin dia orang sini? Muka bule seperti itu?" Pertanyaan kedua dari Winda kepada Ardian.

Ardian menarik napas lalu membuang sembarang arah. "Iya loh, Ma! Dia orang sini. Aku yang lihat CV lamaran kerjanya," jawabnya kali ini tidak asal.

Winda memasang tatapan tajam kepada Ardian. Ardian keceplosan. Sudah terlanjur tidak mungkin dia berbohong kepada mama tersayangnya. "Sebenarnya dia bukan kekasih Ardian, Ma. Ardian yang minta dia jadi kekasih pura-pura agar Mama tidak asyik desak Ardian iyakan perjodohan dari Pak Waryo," jelas Ardian jujur.

Winda mengangkat nampan berisi camilan dan teh serahkan kepada Ardian. "Kamu pikir Mama akan rela jodohkan kamu dengan putri dari pak Waryo itu?! Sudah antar minuman dan camilan ini ke calon istrimu kasihan dia sudah menunggu dari tadi?!" pinta Winda kemudian.

Ardian ter bengong-bengong atas perintah dari mamanya. "Mama tidak marah kalau Ardian jadian sama itu cewek?" Ardian bertanya.

"Antar sekarang atau Mama berubah pikiran?" Satu kali ancaman Ardian dengan cepat mengantar minuman dan camilan itu pada Jelita.

Ardian senyum pada Jelita, saat Jelita menoleh menatap pria yang antar minuman dan camilan untuknya. "Lama ya, tunggu nya?" sapa Ardian ramah, dan meletakkan nampan atas meja.

Jelita masih mengamati penampilan bos CEO nya itu. Ya pasti dong Jelita terkagum-kagum sama pakaian dipakai oleh Ardian saat ini. Gambaran besaran di depan badannya. Bergambar boneka panda besar dan ada gambaran kecil-kecil di sana.

Wajah Jelita pasti sudah merah karena menahan tawanya itu. Dia harus sopan, meskipun gambar itu setiap Ardian menggerakkan badannya, itu gambar juga ikut tertekuk.

"Nih, di minum dulu. Ada apa dengan ekspresi mu?" Ardian pun duduk bergabung dengannya terus menatap Jelita sedari tadi ekspresi wajahnya tertahan gitu.

"Kamu sesak pipis? Kalau mau pipis kamar kecil sana, jangan di tahan. Di sini tidak ada pembantu," lanjut Ardian lagi berbicara.

Ardian semakin aneh sama cewek ini, waktu bawa ke sini dia ketus, sekarang sudah di sini ekspresi malah makin gimana-gimana gitu. Jelita menutup mulutnya untuk tidak lepas tawanya. Tetapi saat dia mengambil minuman, dari tadi memang sudah haus. Ardian bangun dari duduk ada yang tertinggal di kamarnya. Secara spontan Jelita kelepasan tawanya, keras lagi tawanya itu buat Ardian mematung di tempat dan Winda keluar mengintip.

****