webnovel

OH MY BOSS!

Jelita tidak akan pernah menyadari, jikalau hidupnya dipenuhi hal-hal penuh teka-teki. Seumur hidupnya lahir di negara Indonesia, kali pertama dia harus berjumpa seorang pria yang bercukupan. Jelita tidak menyangka bahwa dia harus berurusan dengan CEO menyebalkan, apalagi meminta dirinya menjadi kekasih pura-pura demi menghindari perjodohan dari orangtuanya. Lalu, bagaimana nasib Jelita? Apakah dia bersedia menerima permintaan dari CEO nya? **** Cerita baru tak bermutu Buat cerita 19 Juli 2019. Imajinasi konyol yang tak berharga!

Lsaywong · Urbain
Pas assez d’évaluations
7 Chs

OMB - 01.

Terik matahari  telah membuat wajah manis tengah berdiri di salah satu halte bus berikutnya. Butiran sebiji jagung telah lolos dari persembunyian rambut kepalanya. Terus di seka hingga tisu yang simpan di  tas kecil rela menipis.

Bus berwarna merah berhenti tepat di depan halte beberapa anak ayam menunggu tersebut siap untuk mengisi tempat duduk penumpang itu.

"Aduh ... Sabar kenapa sih! Jangan dorong - dorong!" celetuk cewek rambut ikat satu di belakang.

Jelita Angelika Putri, 20 tahun, gadis remaja keturunan blasteran berdarah Indonesia saling dorong mendorong ikut naik bus di padati oleh penumpang lain.

Akhirnya dia dapat tempat duduk walaupun paling belakang, yang penting bisa menghindar dari terik matahari yang membakar kulitnya.

Berselang lama kemudian, bus berhenti tepat di salah satu gedung tinggi bagai lapangan Monas.

"Tinggi banget! Ya Tuhan ..." gumamnya sampai tangannya menutup mata melihat gedung yang begitu tinggi dan kokoh.

Dia pun melanjutkan langkah kaki menginjak lantai gedung ini yang super kilat dan bersih tanpa terlihat debu sedikit pun.

"Maaf, mbak. Saya Jelita Angelika Putri, mau melamar pekerjaan," ucapnya melaporkan kepada seorang wanita yang cantik dan ayu ini mengangkat kepalanya.

"Taruh saja lamarannya di sini. Nanti akan di telepon kembali oleh Pihak Human Resources Departement," katanya tanpa menunjukkan ekspresi senyuman atau bagaimanalah.

"Langsung interview tidak bisa, ya, Mbak?" Jelita bertanya lagi.

"Maaf, ya, adik. Kalau ingin bekerja di perusahaan ini. Sesuai syarat berlaku, letakkan saja surat lamaran Anda di sini. Nanti akan di telepon oleh pihak Human Resources Departement. Barulah Anda di panggil untuk interview," jawabnya tidak iklas banget.

Padahal dia ingin langsung kerja, walau pun pendidikannya cuma tamatan sekolah menengah atas, apa saja deh yang penting halal.

"Saya lamar bukan sebagai kantoran, kok, Mbak. Jadi office girl juga tidak masalah." Jelita terus mengotot ingin langsung bekerja.

Bagian informasi ini tetap bersikeras menolak, sesuai prosedur kerja. Sampai memanggil sekuriti untuk menyeret Jelita keluar dari gedung ini.

Lift terbuka sosok pria tinggi dan tampan, keluar dari tempat itu. Terdengar suara keributan di depan gedung.

"Nanti aku hubungi kamu lagi," panggilan telepon berakhir.

Pria itu melangkah kaki lebar menuju arah depan gedungnya. Seorang gadis remaja dengan pakaian sederhana, tas serempang tanpa bermerek. Tengah ribut dengan sekuriti yang asyik mengusirnya dari tempat itu.

"Iya, aku bisa pergi sendiri! Nggak perlu seret-seret begini, memang aku sapi!" sergahnya kesal.

Sekuriti pun berdiri di depan gadis remaja yang merapikan bahunya yang tidak seberapa bagus dan bermerek.

"Aku cuma mau melamar pekerjaan, masa begini cara sistem kalian gunakan! gedung sebesar ini, aku pastikan BANGKRUT!" Hinanya si Jelita bersumpah dan mengutuk perusahaan itu.

"Ada apa ini?" suara berat mendalam menekan kedua telinga Jelita terdiam menoleh sejenak.

"Tidak, Pak. Cuma pengemis nakal mencari keributan saja," jawab sekuriti berkulit sawo matang.

"Eh! Mulut kau! Dijaga ya! Enak saja katai aku pengemis! Aku mau melamar pekerjaan, malah kau usir aku. Perusahaan apa ini?! Gaji besar, tapi mulut kau ini nggak pernah di didik!" Marak Jelita tidak terima di hina pengemis.

Pria itu menatap sosok gadis remaja, dari atas sampai bawah kaki. Tetapi pria ini belum pernah bertemu wanita miliki paras blasteran.

"Kamu ingin bekerja?" tanya pria itu kepada Jelita.

Jelita memperhatikan wajah pria itu tinggi, berotot, tegap, tampang boleh ganteng. Tetap saja Jelita sudah tidak butuh pekerjaan di gedung ini. Moodbooster nya sudah bertambah. Rasa lapar pun jadi kenyang.

"Tidak!"

Dia pun pergi dan membuang surat lamarannya ke tong sampah. Pria itu melangkah kaki menuju tong sampah, di pungut amplop cokelat lalu membukanya, berkas lamaran tulisan tangan yang rapi. Foto ukuran hitam putih, nomor telepon tercantum.

Senyuman pria itu mulai terlukis  sudutnya melebar miring.

Boleh juga.

*****

Polusi udara kemacetan di sepanjang jalan asap knalpot, rokok, deburan pasir tengah menghujat jadi satu.

"Benar-benar resek banget itu sekuriti, awas kalau aku ketemu sama dia. Bakalan aku tonjok mukanya sampai babak belur. Orang-aku mau kerja pakai usir segala, mentang-mentang pakaianku biasa saja. Mbak-nya juga sok cakepan, aku sumpahi dia nggak ada suka sama dia. Kalau perlu kawin sama pengemis!" Omelnya si Jelita.

Satu tangannya mengipas-ngipasi mukanya terasa panas membakar bagai neraka. Keringat biji jagung mulai keluar bercucuran di sekitar manisnya.

"Mana panas lagi, cari di manalah, pekerjaan. Belum lagi perut lapar. Duit tinggal gojeng ( lima ribu )," omelnya lagi.

Di lirik sebelah kiri-kanan ada warung kecil mangkal di pinggir jalan dekat pembangunan. Terpaksa  dia ke sana beli seadanya saja. Daripada tidak sama sekali.

****

Di kantor elite luas seperti rumah kedua untuk Ardian Darmawan Wijaya, pria memiliki jiwa kepimpinan, tampan, ber-arogan.

"Apa bapak memanggil saya?" seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahunan berdiri tak jauh dari posisi pria itu duduk.

"Aku minta kamu telepon berkas lamaran ini. Pastikan posisi yang sesuai dengan pendidikannya. Satu lagi, berikan juga fasilitas yang layak untuk di tempati," perintah pria itu melemparkan berkas amplop cokelat itu di terima boleh wanita berumur empat puluh tahunan.

"Baik, Pak. Kira-kira posisi apa yang bapak inginkan untuk peserta ini?" Wanita itu bertanya kepada Pria itu.

Kedua mata yang tajam menatap wanita itu yang sudah menganggap seperti ibunya keduanya.

"Lakukan seperti aku perintah sebelumnya," jawab pria itu memutar kursi membelakangi wanita empat puluh tahun itu.

"Baik, Pak. Permisi."

Jelita Angelika Putri, nama yang bagus. Unik dan ....

Senyum tipis dari Ardian tak melepas setiap bayang-bayang wajah gadis remaja tadi.

****

"Huft! Kenyang rasanya ..." gumam Jelita setelah mengempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang tidak se'empuk rumah sendiri.

Suara ketukan pintu terdengar oleh Jelita, dia baru santai sudah diganggu sama ketukan itu.

"Haizzhh ... siapa sih, selalu saja menganggu tidur siang ku!" gerutunya melangkah kaki di buka pintu itu.

"Iya, iya, sabar kenap--" terhenti protes si Jelita

Sosok tubuh besar, bulat, kalau angin topan datang di jamin yang roboh itu rumah lebih dulu jatuh daripada orang ada di depannya. Ibu indekos sudah berdiri dengan kedua bola mata merah seperti Vampir siang bolong.

"Mana uang bulanan hari ini? Kau tak lihat sekarang sudah jatuh tempo pembayaran Indekos-mu! Sekarang janji kau hari ini akan bayar sekaligus dua bulan kemarin. Mana...!" merepet si Ibu Kos-nya.

Jelita memang sewa kos di dekat kota supaya bisa sambil cari kerjaan yang lebih halal. Janji sama Ibu kos ini memang hari ini, tapi yang lebih apesnya belum dapat pekerjaan kayak mana bayar uang sewanya.

"Aduh ... Bu, kasih waktu satu minggu bisa, kan, aku baru saja kerja, masa sudah tagih sih," ngeles si Jelita biar Ibu kos-nya percaya.

"Alasan, saja kau ini! Kalau kau memang kerja, kenapa masih santai-santai, bilang saja tak ada uang, satu minggu aku datang lagi, kalau kau tidak bayar juga jangan harap bisa nginap secara GRATIS!" kata Ibu kos-nya sampai air liur pun keluar buat Jelita tercium jigong-nya.

"Iya, Bu. Maaf, ya!" Setelah Ibu kos pergi, Jelita kembali menutup pintu.

Ya ampun... ludahnya bau banget, dasar Ibu kos jorok! nggak gosok gigi mungkin ya. Makanya dia pelit asyik minta tagihan mulu. - celetuknya dalam hati.

Terdengar suara ponsel berdering dari kamar tidurnya. Dia berlari meraih ponsel jadul tidak seberapa itu.

"Ya, halo!" sambutnya

"....."

Jelita mendengar dengan baik, dan kedua mata serta mulutnya terbuka lebar. Tidak akan percaya apa ini rezeki nomplok nya buatnya sedikit berhura-hura ria.

"Baik, Bu ... Terima kasih, besok jam 9 pagi, ... Oke siap...." Panggilan telepon berakhir.

Dia melompat - lompat mendapat hadiah kemenangan lotere.