webnovel

OH MY BOSS!

Jelita tidak akan pernah menyadari, jikalau hidupnya dipenuhi hal-hal penuh teka-teki. Seumur hidupnya lahir di negara Indonesia, kali pertama dia harus berjumpa seorang pria yang bercukupan. Jelita tidak menyangka bahwa dia harus berurusan dengan CEO menyebalkan, apalagi meminta dirinya menjadi kekasih pura-pura demi menghindari perjodohan dari orangtuanya. Lalu, bagaimana nasib Jelita? Apakah dia bersedia menerima permintaan dari CEO nya? **** Cerita baru tak bermutu Buat cerita 19 Juli 2019. Imajinasi konyol yang tak berharga!

Lsaywong · Urban
Not enough ratings
7 Chs

OMB - 02.

Jam alarm ponsel jadul telah berbunyi untuk ke empat kalinya, sang pemilik belum juga bangun dari alam mimpi bawah sadarnya.

"Eum ... ribut banget, sih! mau tidur damai juga kagak bisa," gerutunya pada diri sendiri

Melihat jam ponsel angka nol delapan titik dua lima puluh enam menit kurang lima detik. Langsung  mata yang masih terpejam setengah melebar sempurna tanpa ada rasa kotoran mata tengah menempel pun tak dirasakan lagi.

"Busyet! Terlambat diriku! Ponsel sialan!" tergesa-gesa dia untuk turun dari kasur rata itu, selimut melilit kedua kakinya sulit baginya untuk turun sempurna.

Gubrak!

Aduh... sakit... lontong sontoloyo p*kimak! (Ini bahasa sedikit kasar)

Memaki diri sendiri, benda mati tidak bersalah, dirinya sendiri melakukan tanpa dosa.

Dua puluh menit kemudian, lengkap dengan segala pakaian, rambut, tas, sepatu. Waktunya  interview, perjalanan begitu macet, tiada hari namanya lempang.

****

Tiba di gedung tinggi, tempat di mana ia kunjungi ketika diusir oleh sekuriti serta mbak sok cakepan. Dengan senyuman semanis surga menerbitkan wajahnya. Penjaga gerbang kembali menatap wajah Jelita, di hentikan nya. Membuat Jelita melototi nya.

"Maaf, adek ada perlu apa datang ke kantor ini?" tanya Sekuriti yang terpampang nama tag Wahyudi Sukro. Nama yang jadul, pantas saja cara ngomongnya juga jadul.

"Aku mau interview, lah!" jawabnya sombong.

"Interview? tidak ada pemberitahuan dari pihak informasi."

"Memang harus lewat bapak dulu kalau ada yang mau interview?"

Tak berselang lama seorang wanita berumur empat puluh tahunan menghampiri sekuriti dan Jelita.

"Dengan Jelita Angelika Putri?" suara lembut yang begitu ramah buat Jelita menoleh arah pendengarannya.

"Iya," sahutnya langsung.

"Silakan ikut saya ... Wahyu, Pak Ardian memanggilmu." Suara yang lembut menjadi nada menegaskan.

Wahyu langsung tegang mendengar laporan bahwa pemilik perusahaan ini memanggilnya.

Jelita menjulurkan lidah kepada Wahyu si sekuriti itu, kemudian membuntuti wanita berusia empat puluh tahunan itu. Jelita melirik arah tempat informasi pekerjanya orangnya berbeda.

Apa di pecat ya?

Mungkin saja, rasain memang siapa suruh berlaga sok cakepan.

"Silakan," sambutnya ramah

Jelita melangkah kakinya masuk ke ruangan yang luas, dan suhu udaranya sangat dingin. Sunyi dan sepi.

Busyet! ini kuburan apa kantor tak berpenghuni.

Pintu kembali terbuka wanita itu membawa beberapa kertas soal serahkan kepada Jelita.

"Ini ada beberapa psikotes, soal ini akan melihat sampai di mana kemampuan kamu saat mengerjakan soal ada di kertas ini. Waktu anda 30 menit mulai dari sekarang," terangnya wanita itu berikan kepada Jelita beberapa soal dan kertas kosong untuk mengisi jawaban.

"Tapi, saya cuma lamar pekerjaan sebagai office girl. Kenapa harus mengikuti testing seperti ini?" Jelita sebaliknya bertanya kepada wanita itu.

Wanita itu hanya senyum, namun dia akan menjelaskan sedikit mengenai pertanyaan dari Jelita. "Benar, Anda memang menulis di CV posisi office girl. Namun, sayangnya posisinya sudah penuh. Untuk saat ini kami memerlukan tenaga kerja di posisi mungkin akan sesuai kriteria seperti Anda," terang wanita itu menjelaskan panjang lebar.

Jelita menyimak penerangan dari wanita itu pun, kembali mengamati beberapa soal yang diberikan olehnya. Jika Jelita pikir-pikir lagi, mungkin gaji office girl lebih kecil dari pekerjaan kantor. Tidak ada salah dia mencoba, walau sedikit meragukan. Takut posisi nanti di terima oleh mereka, dia akan mencari di mana lagi pekerjaan.

"Baiklah, saya akan mencobanya," ujar Jelita kemudian. Wanita itu menepuk dua kali pundaknya memberikan semangat kepadanya.

•••••

"Bang, es teh manis jumbo satu, sama gorengan seporsi campur!" teriak Jelita tengah duduk di salah satu warung dekat gedung di mana ia interview tadi.

Terik matahari benar-benar buat perutnya semakin lapar saja. Duit di kantong mulai menipis, belum lagi menunggu pekerjaan saja ribet banget.

"Interview, ya, Neng?" tanya abang penjual gorengan letakkan seporsi gorengan sama minuman jumbo di mejanya.

"Iya nih, Bang," jawabnya langsung di ambil gelas bening jumbo di kocok-kocok gulanya alamak banyak amat

"Ya ampun, Bang. Manis banget bisa diabetes nih!" tambahnya, protes.

"Nggak apa-apa, Neng, manis daripada hambar rasa pun pudar," balas si Abang penjual gorengan.

Jelita ketawa, "Bisa saja nih, Abang! Kok, sepi, ya?"

"Belum, Neng, baru jam berapa? Nanti siang jam dua belas bakalan ramai gorengan abang pun habis tak ada sisa."

"Oh ..."

Sambil menunggu mataharinya sembunyi di punggung awan, dia lihat ponsel judulnya dulu, enggak ada kamera, ataupun warna. Pokoknya jadul hanya terlihat hitam putih.

Main game ular tangga memang sudah kebiasaannya, minuman jumbo ludes  disedot nya apalagi gorengan. Sudah lama duduk di warung sampai para pelanggan mulai datang satu per satu.

Dia pun bangun dari duduknya, merogoh kantong selembar sepuluh ribu warna merah muda berikan sama penjual gorengan.

"Nggak usah, Neng, gratis," tolak si abangnya.

"Eh? Kok gratis, aduh ... aku jadi enggak enak sama Abang. Belum tentu aku datang ke sini lagi," ucapnya si Jelita tetap berikan kepada penjual gorengan.

"Nggak Neng, biasanya kalau yang datang pertama kali ke warung abang, gratis, soalnya, kan ... Belum tentu pelanggan jam segini datang makan gorengan saya," katanya

Jelita menarik uang sepuluh ribu itu di simpan kembali. "Kalau begitu, makasih ya, Bang. Nanti aku diterima, tak awak traktir Abang, semoga hari ini laris, ya! Cabut,  Bang!"

Jelita mengangkat kaki meninggalkan  warung itu. Kemudian si penjual gorengan itu menelepon seseorang di seberang.

"Semuanya aman, Pak," ucapnya

"...."

"Baik, Pak."

Di tutup kembali ponselnya, pelanggan sudah datang membeli, sementara Jelita menunggu bus atau angkot umum kembali ke kos-kosnya.

Sampai di kos-nya, sama juga seperti di warung. Tidak di bayar. Ini Angkot juga nggak mau terima bayaran darinya. Jelita mulai keheranan, apa dengan hari ini. Memangnya hari gratisan, ya?

****

Malam minggu biasanya jalan-jalan sama pasangan, orang tua, teman-teman, atau para geng Rock&Rock.

Jauh beda dengan Jelita seperti biasa duduk tempat minimarket ditemani oleh segelas teh botol sosro kotak dan roti tawar cokelat sambil menghirup udara malam hari.

"Huh ... malam minggu hari-hari begini terus. Kapan aku bisa dapat cowok ganteng atau Om-Om kaya. Aku  pengen kayak mereka juga," mengeluhnya pada diri sendiri

Cukup satu gigitan roti setengah pun habis . Tinggal seorang diri memang menyedihkan, rindu sama mereka yang ada di atas.

Jalan kaki seorang diri itu paling menyedihkan, seperti batu kerikil selalu menemaninya. Rasanya dia bosan banget, satu tendangan darinya, kaleng coca cola mendarat tak sengaja olehnya.

Seseorang yang tengah berdiri tak jauh dari tiang indomaret asyik menelepon atau sedang menunggu orang lain.

Pria itu menoleh  dan mengambil kaleng coca cola mengenai kepalanya, sementara Jelita yang berdiri beberapa meter saja, panik kanan - kiri pura-pura tidak melihat.

Pria itu mendekati  Jelita di mana dia berdiri, dia mulai panik.

Aduuuh gawat, aku tak sengaja pula.

"Ini punyamu?" tanya pria itu menyerahkan kaleng coca cola kepadanya.

"Hah?" Jelita menoleh kiri-kanan belakang tidak ada siapa-siapa sih.

"Bapak bicara dengan ku?" Tunjukin dirinya sendiri.

"Setan, ya pasti kaulah, siapa lagi?" sungutnya.

"Oh ..."

"Bulat ..."

"Panjang ..."

"Lonjong ..."

"Apa? Lontong? Aduh, Bang, malam begini mau nyari lontong ke mana?" Makin ngelantur saja Jelita.

Pria itu senyum tipis, "Ada, di hotel. Kalau kau mau, bisa sekarang! Lumayan dapat manis perawan." Di usap-usap dagu bulu tipis itu.

Perasaannya mulai tidak nyaman sama bapak ini. Jelita mundur beberapa langkah.

"Ada polisi!" teriak Jelita menunjukkan ke depan, spontan pria itu menoleh.

Kesempatan adalah kabur dari pria mata keranjang. Pria itu tertipu kemudian mengejar Jelita.

Jelita segenap tenaga berlari hingga dia tidak sanggup untuk melangkah kakinya lebih jauh. Tapi dia  harus menyelamatkan diri dari pria tadi, sekali-kali menoleh belakang. Tanpa sadar dia mendapat kesialan lagi menabrak orang yang berdiri di jalan.

"Aduh! Maaf, maaf, aku tak sengaja. Jangan jual aku!" sorak Jelita memohon kepada orang yang menabraknya.

"Siapa yang mau menjual dirimu?" Suara yang sangat familier. Sontak dia mendongak. Jelita ketemu kembali dengan pria pertama kali akan melamar pekerjaan.

"Kamu?"

Sebelum dia bertindak, suara pria mata keranjang itu terdengar. Jelita bangun dari duduk batu blok itu. Dengan singgap tak beri kesempatan untuk menghindar dari bahaya.

"Sialan! Kemana gadis itu pergi!" gerutu pria mata keranjang itu melewati sepasang tengah berciuman.

Merasa sudah aman, Jelita menjauh dari bibir ke bibir pria ini. Sementara pria itu terpaku atas tindakan Jelita tadi. Ketika Jelita merasa telah aman, dia pun melepaskan rangkulan lehernya. Tetapi, pria tersebut menahan Jelita untuk tidak menjauh. Sentak Jelita kaget atas perbuatan pria di depannya.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya seringai menatap Jelita seakan ingin mengulitinya. Jelita menelan ludah, dia lakukan tadi hanya untuk menghindar dari pria mata keranjang. Bukan maksud apa-apa.

"Ma-maaf, aku ... aku ..." Jelita mendorong tubuh pria itu dari tubuhnya. Tetapi, Jelita malah salah, dia berhenti posisi yang dipegangnya. Jelita melirih kemudian menjauh tangan dari dada bidang kokoh pria itu.

Pria itu, dapat merasakan sentuhan mendebarkan. Aneh memang, dari dekat wajah gadis itu benar-benar jauh lebih cantik pertama kali bertemu.