webnovel

Oh Baby (Romance)

#First_story_of_D'allesandro_klan "Kita harus bermimpi, namun tidak untuk hidup dalam mimpi" Sophia Alberta (18th) bekerja banting tulang untuk mencukupi kehidupannya semenjak ayah dan ibunya meninggal. Bukan hanya itu, Sophia juga kerap merasakan takut jika berdekatan dengan Gunner Anthony. Seorang mafia yang terobsesi dengannya. Hidup Sophia semakin susah saat seorang pemilik hotel tempat ia bekerja memperkosanya hingga hamil. Hingga suatu hari pria itu datang pada Sophia dan menawarkan pernikahan padanya. Bayi yang dikandung Sophia menjadi alasannya. Akankah pernikahan itu berjalan dengan bahagia seperti yang Sophia impikan ?? Menjadi istri dari seorang Edmund D'allesandro sang penguasa dunia bisnis ?? Sementara disisi lain ada pria yang sudah menjamin segalanya untuk Sophia, termasuk hatinya. Gunner Anthony, mafia pelindung Sophia.

Alianna_Zeena · Urbain
Pas assez d’évaluations
59 Chs

Bab 44

Vote sebelum membaca😘

.

.

Mata Aurin memanas, secara tidak sengaja dia melihat Jaden dan Lexi yang sedang berhubungan badan. Dia tahu siapa wanita itu, dia adalah wanita yang Sophia ceritakan padanya. Ah, mengingat sahabatnya itu membuat Aurin merasa bersalah. Dia ingat bagaiaman Lexi berkata kalau dirinya akan menusuk perut Sophia berulang kali, dia akan memotong rambutnya yang indah lalu menyiramnya dengan air panas. Aurin tidak bisa melakukan itu, dia tidak ingin menyakiti Sophia, perempuan itu adalah sahabatnya.

Yang paling menyedihkan adalah Lexi dan Jaden yang selalu bermesraan di mana pun, mereka tidak menghiraukan kehadirannya. Hatinya sakit, dia terkurung di mansion mewah ini dan harus melihat adegan yang membuat hatinya sesak setiap saat. Aurin mencintai Jaden, dia tidak bisa menyangkalnya.

"Aurin."

Untuk yang kesekian kalinya dia tersentak kaget, tubuhnya berputar melihat Jaden yang menutup pintu lalu melangkah mendekat. "Apa yang kau pikirkan?"

"Aku hanya memikirkan keluargaku yang mungkin khwatir aku tidak menghubungi mereka."

Jaden tertawa, itu jenis tawa yang belum pernah Aurin lihat sebelumnya. Terlihat begitu tulus. Pria itu duduk di sofa yang sama dengan Aurin. "Aku menghubungi mereka kalau kau bersamaku."

"Kau menemui mereka?" Aurin bertanya dengan hati-hati.

"Ya, aku mengosongkan apartemenmu."

"Kenapa kau melakukannya?"

Sedetik kemudian tubuh Aurin menegang akibat Jaden yang tersenyum miring, pria itu terlhat kembali menakutkan. "Karena kau tahanan abadiku," ucapnya menarik tangan Aurin hingga wanita itu tidur menindihnya. Jaden menyelipkan rambut Aurin ke belakang sebelum menciumnya, membiarkan tubuh mereka saling bergesekan di sofa yang sempit itu.

Aurin yang merasakan ciuman lembut Jaden itu terlena, dia memejamkan matanya dan membiarkan Jaden menyentuh sesuka hatinya. Hingga tiba-tiba pintu kamar terbuka secara paksa, Aurin yang hendak bangkit itu ditahan oleh Jaden. Dia memegang tengkuk wanita itu supaya bibir mereka tetap menyatu.

Wanita lain yang melihat adegan itu terlihat kesal, dia menarik paksa rambut Aurin hinghga dia berdiri dari tubuh Jaden. Tanpa belas kasihan Lexi melemparnya hingga kepala Aurin terbentur dengan lantai.

"Apa yang kau lakukan, Lexi?"

Wanita itu menatap kesal Jaden. "Jika kau tidak ingat, Jaden, kita punya agenda makan malam di tepi pantai," ucapnya mnarik pria itu agar berdiri.

"Aku malas, kau pergi saja." Jaden mendekat ke arah Aurin dan membantu wanita itu berdiri.

Lexi tertawa tidak percaya. "Berhenti mempedulikannya, Jaden, dia hanya budak," ucapnya mengingatkan.

"Ya, dia sangat membantu untuk membawa Sophia kemari, jadi perlakukan dia sedikit lebih baik."

Aurin terdiam, dia sedih mendengar fakta itu. Fakta bahwa Jaden bersikap manis demi balas dendamnya pada D'allesandro.

"Sekarang keluarlah," ucapnya menatap Lexi dengan tajam. Wanita itu mendengus kesal dan keluar dari kamar yang memiliki ukuran lebih kecil dari kamar miliknya.

Pandangan Jaden beralih pada Aurin dengan dahinya yang terluka, dia membawa kotak obat dan mengobati luka itu dengan pelan. Aurin tertawa miris, dia hanya dimanfaatkan. Tentu saja, mana mun gkin Jaden yang maha sempurna, matanya yang indah dengan tubuhnya yang kekar itu benar-benar peduli padanya. Pria seperti itu memang cocok dengan seorang wanita cantik yang seksi seperti Lexi. Tidak seperti dirinya, tubuhnya kurus dengan dada yang rata, bahkan tidak ada bagian tubuh yang bisa Aurin banggakan.

"Apa yang kau lamunkan?"

Aurin menggeleng. "Tidak ada," ucapnya menatap jari-jarinya yang mulai memiliki kuku pnajang.

Jaden yang sudah selesai mengobati Aurin malah membaringkan tubuhnya di atas ranjang Aurin, dia menutup mata dengan tangannya. Ada beberapa hal yang membuat Jaden sakit kepala akhir-akhir ini, dia harus membangun perusahaan baru dengan uang yang dia miliki dari rekening korbannya. Masalahnya adalah, beberapa pihak mulai mencurigainya sebagai pembunuh berantai itu. Dan yang dipikirkannya sekarang adalah bagaiaman cara membunuh orang-orang yang menuduhnya dengan cara paling sadis. Seperti menguliti, memutilasi atau bahkan mungkin menguburnya hidup-hidup supaya tidak menambah kecurigaaan.

"Bukalah bajumu, Aurin," ucapnya lalu mendudukan tubuhnya.

Aurin yang sebelumnya hanya mengamati Jaden kini terpaksa membuka pakaiannya hingga benar-benar polos. Dia tidak mampu melihat Jaden yang tersenyum miring padanya. Pria itu mendekat dan mencium bahu telanjangnya. "Sebentar saja, tetap seperti ini, aku harus berkencan dengan jalang itu," ucap jaden mengecup bibir Aurin sebelum keluar dari kamar itu.

***

"Aku tidak tahu apa yang dipirkan SergĂ­o, bagaimana dia menyuruh Santiago pulang sebelum menyelesaikan pejerjaannya," ucap Edmund dengan berapi-api. Dia mendengar kabar dari Rose bahwa SergĂ­o yang mengurus semuanya, Rose berkata SergĂ­o menyewakan apartemen yang jauh dari tempatnya untuk Marxel sampai pria tua itu sembuh. Edmund mendengar kabar bahwa Marxel jatuh sakit hingga tidak bisa pergi ke Argentina bersama Lexi. Ingin sekali Edmund memasukan keduanya ke dalam koper lalu melemparnya ke lautan bebas, dua orang yang telah menyakiti Sophia tidak boleh berada di Negara yang sama dengannya. Jika boleh, Edmund ingin mereka yang menyakiti Sophia berada di alam lain.

"Aku sungguh kesal."

"Dia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang anak," ucap Sophia membantu suaminya memasangkan dasi.

"Itu keterlaluan, Sophie, aku takkan membiarkan siapa pun menyakiti anakku. Dan ini, lihatlah SergĂ­o."

"Berhenti bicara seperti itu." Sophia mengelus dada suaminya lalu memandang mata safir itu. "Aku memaafkan mereka."

"Sungguh, kau ibu peri," ucap Edmund dibalas cubitan oleh Sophia. Perempuan itu berjalan kea rah cermin untuk memperbaiki tampilannya. Edmund tersenyum kecil, dia memluk istrinya dari belakang. "Aku senang kau berhenti bekerja," ucap Edmund mengusap perut Sophia yang terbungkuks gaun merah.

"Kau yang memaksaku."

"Ya, uangmu sudah cukup banyak, Sophie."

Perempuan itu terkekeh, dia memandang pantulan dirinya dan Edmund di dalam cermin. Pria itu memakai tuxedo hitam yang membuatnya semakin tampan, sementara dirinya memakai gaun merah. Hal yang membuat Sophia kesal adalah perbedaan tinggi badan mereka, Sophia hanya sampai bahu Edmund. Suaminya itu harus menunduk saat mencium bahunya, seperti sekarang.

ïżœïżœSebenarnya kita mau kemana?"

"Pesta ulang tahun D'allesandro Enterprise."

Sophia mengerutkan keningnya. "Perusahaanmu yang bergerak di bidang software?"

"Pintar," ucapnya mengecup kepala Sophia.

Dia membiarkan Edmund menuntunnya menuju ke dalam mobil yang dikendarai oleh Nicholas. "Siapa saja yang aka nada di sana?"

"Orang-orang penting."

"Apakah sejenis Catherine dan Caroline akan ada di sana?" Sophia menyondongkan tubuhya pada Edmund.

Pria itu tersenyum. "Kenapa? Kau takut dia bersujud di depanmu?"

Sophia mencubit perut Edmund dengan kesal.

"Hanya orang-orang penting Sophia, mungkin ada beberapa dari mereka sebagai perwakilan tiap divisi."

Sophia mengangguk-anggukan kepalanya pertanda mengerti. Saat mereka sampai di depan ballroom hotel, Sophia menarik napasnya dalam. Ini pertama kalinya Edmund membawanya ke sebuah pesta penting, orang-orang di dalam sana akan tahu siapa siapa dirinya. Sophia takut dirinya akan mempermalukan Edmund.

"Tenanglah, kita akan ke pesta, bukan pemakaman," canda Edmund saat dia melihat wajah tegang suaminya.

Begitu pintu ballroom terbuka, beberapa pasang mata yang ada di sana menatap ke arah Edmund dan Sophia. Mereka terkejut melihat kedatangan direktur utama dengan seorang perempuan berperut buncit. Edmund mengambil satu champagne sebelum naik ke atas panggung di mana para orchestra sedang bermain di pinggirnya. Edmund menjeda mereka dengan isyarat, lalu dia melangkah mendekati microphone yang ada di tengah panggung bersama Sophia yang ada di sampingnya.

"Good night, everyone, thank you for coming to the 20th anniversary of D'allesandro Enterprise. Ibu dan ayahku tidak bisa datang dikarenakan mereka sedang melakukan bulan madu yang tertunda," guraunya menghibur para tamu.

"Diluar dugaan, D'allesandro berkembang dengan sangat baik hingga bisa membangun perusahaannya di lebih dari 15 negara yang ada di Eropa. Itu semua berkat kalian, bersulang untuk kita semua." Edmund mengangkat tinggi champagne yang ada di tangan lalu meminumnya.

Pria itu tersenyum. "Jika kalian bertanya-tanya siapa wanita ini, maka jawabannya dia adalah istri saya," ucap Edmund sukses membuat beberapa orang di sana berbisik dengan wajah terkejut. Apalagi di sana Sophia melihat wajah Catherine yang Nampak begitu syok. "Ya, aku juga sama terkejutnya dengan kalian. Ini berkah dari Tuhan, dia memberiku istri yang cantik dan juga sangat muda, terlepas dari hal itu, dia sedang mengandung anak pertama kami."

Orang-orang di sana bertepuk tangan seakan member ucapan selamat pada keduanya. "Enjoy your party," ucap Edmud memeluk pinggang Sophia saat turun dari sana.

Suara music kembali memenuhi pendengaran Sophia, suaminya itu memperkenalkannya pada beberapa orang yang terlihat penting. Edmund selalu menjadikan lelucon jika ada orang yang bertanya tentang umur Sophia, dia berkata kalau istrinya mengira umurnya msih 20 tahun sehingga dia jatuh cinta padanya. Sophia hanya tersenyum menanggapi itu.

"Aku akan ke kamar mandi sebentar," ucap Sophia berbisik di telinga Edmund. Pria itu mengangguk dan melepaskan tangannya pada pinggang Sophia.

Dua orang yang sedang bercermin itu terkejut melihat kedatangan Sophia. Catherine dan Caroline tersenyum kaku saat Sophia mencuci tangan dan membereskan riasan pada wajahnya.

"Kami mohon maaf atas perlakuan kami selama ini, Nyonya," ucap Caroline dengan suara pelan

"Tidak apa, setidaknya kalian sekarang tahu apa alasanku selalu terlambat dan dipanggil oleh Maria," ucapnya disertai gurauan. Namun, tidak dengan mereka, keduanya berwajah tegang takut Sophia menceritakan hal buruk tentangnya pada Edmund.

"Apa itu yang membuat anda mengundurkan diri, Nyonya? Karena kami?"

Sophia menggeleng sebagai jawaban pada Catherine. "Tidak, suamiku ingin aku diam di rumah."

Keduanya menganggukann kepala. "Apa anda memaafkan kami?"

"Tentu saja, tapi jangan sampai kalian berbuat menyebalkan lagi pada anak baru," ucap Sophia sambil tertawa kecil lalu keluar dari kamar mandi itu.

Tiba-tiba saja sebuah tangan menariknya menuju sekat pembatas antara pesta dan kamar mandi. Sophia yang berniat berteriak itu terhenti saat melihat siapa yang menariknya.

"Gunner?"

"Aku harus memberitahumu sesuatu."

"Aku mendengarkan," ucap Sophia melepaskan tangan Gunner yang memegang tangan atasnya.

"Edmund menemukan Sara, wanita itu berada di Kanada."

Sophia mengerutkan keningnya. "Apa yang coba kau katakana padakku?"

"Edmund akan meninggalkanmu saat Sara kembali, Sophie. Dia pasti akan kembali dan menjelaskan alasan kepergiannya hingga Edmund kembali menerimanya lagi."

Sophia menggelengkan kepala. "Apa maksudmu mengatakan hal ini padakku?"

"Aku mencoba memberitahumu, bahwa kau harus pergi sebelum hari itu datang."

Wahag perempuan itu berpaling, matanya memanas tidak percaya Gunner yang mengatakan hal ini padanya. Mood Sophia sangat baik hari ini, dan sekarangg hilang begitu saja ketika Gunner mengatakan sesuatu yang menurutnya tidak penting.

"Aku mempercayai suamiku," ucapnya melangkah menjauh, tapi Gunner menahannya.

"Ingatlah, Sophie, jika dia menyakitimu atau hari itu datang, kau tahu pada siapa harus pergi."

"Aku takkan pergi ke mana pun, Gunner," ucapnya melepaskan cekalan tangan itu dan melangkah meningglkan pria bermata abu seorang diri di balik kegelapan.

***