webnovel

Oh Baby (Romance)

#First_story_of_D'allesandro_klan "Kita harus bermimpi, namun tidak untuk hidup dalam mimpi" Sophia Alberta (18th) bekerja banting tulang untuk mencukupi kehidupannya semenjak ayah dan ibunya meninggal. Bukan hanya itu, Sophia juga kerap merasakan takut jika berdekatan dengan Gunner Anthony. Seorang mafia yang terobsesi dengannya. Hidup Sophia semakin susah saat seorang pemilik hotel tempat ia bekerja memperkosanya hingga hamil. Hingga suatu hari pria itu datang pada Sophia dan menawarkan pernikahan padanya. Bayi yang dikandung Sophia menjadi alasannya. Akankah pernikahan itu berjalan dengan bahagia seperti yang Sophia impikan ?? Menjadi istri dari seorang Edmund D'allesandro sang penguasa dunia bisnis ?? Sementara disisi lain ada pria yang sudah menjamin segalanya untuk Sophia, termasuk hatinya. Gunner Anthony, mafia pelindung Sophia.

Alianna_Zeena · Urbain
Pas assez d’évaluations
59 Chs

Bab 36

Vote sebelum membaca😘😘😘

.

.

"Menurutmu ke mana Lexi pergi?"

Edmund menengok ke arah Sophia sesaat sebelum kembali menatap ke depan, menyetir dengan penuh konsentrasi. "Aku tidak peduli dia pergi ke mana pun," ucap Edmund tepat saat lampu merah.

Mereka baru berangkat menuju kantor saat jam sudah menunjukan pukul 10 siang. Sophia dan Edmund harus mandi dua kali karena kegiatan yang dilakukan sepasang suami istri itu. Edmund tidak menjelaskan apa pun tentang obat perangsang yang di minum Sophia, dia bahkan tidak menjawab saat istrinya bertanya apa alasan dirinya merasa kepanasan dengan libidonya yang tinggi.

Lexi tidak ada di apartemen saat Edmund dan Sophia selesai, dia tidak ditemukan di ruangan mana pun. Edmund tidak mempedulikannya, dia hanya memikirkan cara agar wanita itu pergi dari sana dengan perintah Marxel sendiri. Pria tua yang begitu ditakuti dan disegani SergĂ­o. Tidak pernah sekalipun dia mendapatkan ayahnya menentang Marxel.

"Lampu hijau, Ed," ucap Sophia menyadarkan Edmund dari lamunannya. Dia menginjak gas hingga mobil melaju kembali.

"Sophie?"

"Ya?"

"Maukah kau tinggal bersama mom untuk beberapa hari?"

Sophia berhenti memainkan ponselnya, dia menyimpan benda kotak itu ke dalam tasnya. "Kita sudah membahas tentang ini, Ed."

"Aku khawatir jika Lexi akan menyakitimu, aku akan lebih tenang jika kau berada jauh darinya."

"Tapi berada jauh darimu membuatku mual berlebihan, kau tahu dirimu adalah obat penenang terampuh saat aku mual," ucap Sophia membuat lengkung senyuman samar di wajah Edmund.

"Tapi aku khawatir, Sophie."

"Selama kau ada disisiku maka aku akan aman," ucapnya memberikan senyuman manis saat Edmund menatapnya sekilas.

Perjalanan mereka kembali ditemani oleh keheningan, Edmund yang sibuk fokus pada jalanan dan Sophia yang sibuk melihat ponselnya. Hingga perempuan itu menyadari arah perjalanan mereka bukanlah jalan menuju perusahaan.

"Kenapa kita ke mari?" Sophia mengedarkan pandangannya ke sekirat, di mana banyak orang yang keluar masuk bandara.

"Aku harus menemui seseorang," ucap Edmund menghentikan dan mematikan mesin mobil. "Ikutlah," ajaknya sebelum keluar dari mobil.

Sophia mengikuti langkah Edmund memasuki bandara yang begitu besar. Dia melangkah lebih cepat saat pria itu sudah jauh di depannya.

"Bisakah kau lebih pelan?" gerutu Sophia yang hanya dibalas senyuman jahil oleh Edmund.

Pri itu mengedarkan pandangannya sebelum menatap layar ponselnya yang berkedip. Setelah membaca pesan dari temannya, Edmund kembali melangkah dan mendekati seorang pria yang sedang duduk membelakangi arah datang dirinya dan Sophia.

"ÂżEstĂĄs cansado de esperar, Santiago?"

Pria yang merasa namanya disebut itu membalikan badan, dia langsung tersenyum lebat saat melihat Edmund berjalan ke arahnya. Layaknya seorang teman, Santiago berdiri dan memberikan jabatan tangan juga pelukan singkat pada temannya itu.

"Kau membuatku menunggu, Sialan," ucap Santiago memukul bahu Edmund. "Apakah dia itu?" Santiago menggantungkan ucapannya sambil tunjuk Sophia dengan tatapan.

"Kemarilah, Sophie." Edmund merentangkan satu tangannya hingga Sophia masuk ke dalam rangkulannya.

"Perkenalkan ini istriku, Sophia. Dan Sophie, ini temanku Santiago," ucap Edmund memperkenalkan keduanya.

Mereka menyebutkan nama masing-masing saat berjabat tangan sesaat.

"Aku tidak tahu jika istrimu secantik ini."

"Jaga tatapanmu," ucap Edmund merangkul Sophia semakin erat.

"Apa kau tidak datang ke pesta pernikahan kami?"

Santiago menggeleng. "Tidak, aku banyak urusan. Itulah alasan aku datang sekarang, Sophia. Aku akan tinggal bersama dengan kalian sebagai ganti tidak menikmati mewahnya pesta D'allesandro."

"Apa?" Sophia menatap Edmund heran.

"Ya, dia akan tinggal bersama kita selama beberapa minggu."

"Benarkah?"

"Santiago adalah seorang penulis, dia harus pergi ke tempat yang menurutnya bisa memberikan ide," ucap Edmund membuat istrinya sedikit kebingungan.

"Benarkah?"

"Ya, apa kau keberatan aku tinggal di apartemen kalian?"

"Oh, tentu saja tidak," ucap Sophia dengan tangan yang bergerak mengisyaratkan kata tidak. "Sebentar." Sophia melangkah menjauh dari sana beberapa langkah saat dia menerima panggilan dari Aurin.

Santiago tersenyum melihat punggung Sophia yang menjauh. "Kenapa seorang psikiater sepertiku harus jadi seorang penulis dadakan?"

Edmund menengok dan menatap mata Santiago. "Kau harus jadi penulis jika ingin Lexi percaya kau bukanlah psikiater."

"Lalu apa hubungannya dengan istrimu?"

"Sophia tidak bisa menyembunyikan seauatu dengan baik," ucap Edmud membuat Santiago mengangguk-anggukan kepalanya.

"Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu," ucapnya mulai menggoda Edmund, membuat pria itu mendorong tubuh Santiago agar menjauh darinya.

Tidak beberapa lama kemudian, Sophia kembali ke sana dengan raut wajah yang gembira.

"Siapa yang menelpon?"

"Aurin, dia bilang hari ini libur. Boleh aku ke sana?"

Edmund mengangguk membuat senyuaman di wajah Sophia semakin lebar. "Kalau begitu aku akan pergi sekarang."

"Aku akan mengantarmu."

Sophia terdiam beberapa saat dan menatap Edmund penuh kebingungan. "Lalu bagaimana dengan Santiago?"

"Dia akan ke apartemen kita naik taksi, benar 'kan, San?"

Pria itu segera menganggukan kepalanya mendapat tatapan tajan dari Edmund. "Ya, aku bisa naik taksi. Aku tahu apartemen Edmund."

"Lalu untuk apa kita kemari jika San akan naik taksi? Sudah kau antarkan saja dia ke apartemen," ucap Sophia sambil mendorong pelan tubuh Edmund saat mendekat padanya.

"Kita kemari hanya untuk memberikan ini." Edmund mengeluarkan kartu kunci apartemen dan memberikannya pada Santiago, menepuk pundak pria itu dan merangkul istrinya sambil berjalan menjauh.

"Kau seharusnya mengantar temanmu, Ed."

"Dia bukan orang asing, aku tidak berniat menjemputnya."

Sophia menatap sesaat kebelakang. "Tapi dia masih menatap kita seolah minta tumpangan."

Tawa Edmund pecah, dia merangkul istrinya semakin erat sambil berjalan. Tangannya terangkat sesaat mengusap kepala Sophia sebelum mempersilahkannya untuk masuk ke dalam mobil.

"Masih ingat bukan apartemen Aurin?"

Edmund mengangguk. "Aku tidak setua itu," ucapnya tanpa menatap Sophia. Perempuan itu tertawa kecil.

"Sepertinya aku akan berhenti bekerja."

"Apa?" Edmund menatap istrinya sesaat. "Aku ingin berhenti bekerja?"

"Entahlah, aku masih memikirkannya," ucap Sophia dengan pandangan keluar jendela, dia tertarik dengan orang-orang yang bersepeda di jalurnya.

Edmund masih memikirkan ucapan istrinya, bahaya baginya jika dia berhenti bekerja sekarang. Sophia akan berada di apartemen dengan Lexi dan itu bisa membuatnya dalam bahaya. Meskipun kini dia sudah memasukam Santiago ke apartemen mereka, Edmund tidak bisa membiarkan istrinya di ruangan yang sama dengan Lexi.

Edmund senang jika Sophia berhenti bekerja, tapi tidak untuk saat ini. Kecuali kalau dia seharian tidak berada di apartemen. Seperti sekarang, Sophia mengunjungi temannya.

"Apa kau tahu, Ed?"

Pertanyaan Sophia menghentikan Edmund yang sudah membuka mulutnya saat akan bicara. "Tahu apa?"

"Temanku Aurin akhirnya sudah satu langkah lebih dekat dengan pria yang dia sukai," ucap Sophia seakan memberitahu hal yang sangat menarik.

"Benarkah?"

Dia mengangguk. "Ya, Aurin sangat senang karena Jaden sekarang mulai memberinya perhatian."

"Dimana mereka bertemu?"

"Mereka bekerja di toko yang sama, Aurin jatuh cinta pada pandangan pertama."

Edmund tersenyum kecil dan menatap Sophia. "Bagaimana denganmu?"

"Apanya?"

"Kau pernah merasakannya? Cinta pada pandangan pertama?"

Sohia melirik Edmund yang sudah kembali menatap ke depan, fokus pada jalanan. "Tidak, aku menyukainya setelah bersamanya dalam waktu cukup lama."

"Siapa pria itu?" Suara Edmund penuh tekanan, seolah banyak beban yang di pikul untuk menanyakan hal ini.

Sophia tidak menjawab, dia terus menatap Edmund yang terfokus pada jalanan. Hingga saat dia akan membuka suara untuk memberitahu Edmund bahwa dia menyukai pria yang menjadi suaminya, mobil itu berhenti tepat di depan gedung apartemen Aurin.

"Jangan lupa telpon aku saat sudah selesai."

Sophia mengangguk.

"Jangan ulangi kesalahan yang sama seperti yang terakhir kali."

"Aku mengerti," ucap Sophia membuka sabuk pengamannya. Saat dia hendak turun, Edmund menahan lengannya.

"Ada apa?"

Tanpa menjawab pertanyaan istrinya, Edmund mencium Sophia tepat di bibirnya. Dia terdiam sesaat sebelum menggerakannya dalam hitungan detik dan membuat istrinya itu terdiam kaku. Dia masih terkejut dengan sikap Edmund yang seperti ini, apalagi dia menyadari pintu mobil dibelakangnya terbuka.

"Sudah, sekarang kau boleh pergi."

"Kau menahanku hanya untuk menciumku?"

Edmund mengangguk. "Tentu saja. Memang apa salahnya? Kau istriku," ucap Edmund kembali ke posisi duduknya yang benar.

Dan Sophia tidak bisa menahan kegembiraannya, dia keluar dari mobil dan berjalan ke apartemen Aurin dengan senyuman memgembang.

***

Bersambung