Delice mendekati Naura yang terbaring dengan penuh luka. Bibirnya bersuara dengan sangat lirih, menggunakan sisa tenaganya.
Delice mencium keningnya, memegang tangan Naura dan berkali-kali, tangan Naura di cium dengan rasa penyesalan yang mendalam.
"Aku minta maaf! Apa kau mau memaafkan aku yang seperti anjing gila?" suara Delice terdengar begitu tulus.
Naura tidak dendam, bahkan berusaha mengerti kondisi kejiwaan Delice yang harus selalu di pantau. Bahkan kondisi seperti itu, bukanlah kondisi yang Delice inginkan.
Naura sangat trauma, sehingga tidak sanggup menjawab ucapan maaf dari Delice. Rasa takut Naura pada Delice yang bisa kapan saja menggila, sangat menyayat hati Naura.
Naura tidak sanggup menatap wajah Delice. Wajah tampan, mata yang indah, terlihat mengerikan di mata Naura. Ingatan Naura, sedang di penuhi dengan Delice yang bersikap seperti seorang iblis.
"Pergilah!" ucap Naura dengan lirih. Naura tetap mengalihkan pandangannya.
"Lihat aku!" pinta Delice.
"Aku ingin istirahat," jawab Naura.
"Kenapa aku harus hidup? Kenapa aku tidak langsung mati? Kenapa?" batin Naura.
Rasa sakit di tubuh, mungkin bisa sembuh dengan seiring berjalannya waktu. Tapi, bagaimana jika yang terluka bukan fisik? Melainkan sebuah hati?
Tok... Tok... Tok...
"Masuk!" jawab Delice.
"Tuan, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Olin.
"Tunggu aku di ruang kerja!" jawab Delice.
"Naura, cepat sembuh! Aku janji padamu untuk membawamu jalan-jalan dan bertemu Hanin!" jika Delice sudah berjanji, tidak akan pernah di ingkari.
"Benarkah?" tanya Naura bersemangat.
"Benar! Asal kau sembuh, oke!" Delice mencium kening Naura༼ sebelum menyusul Olin ke ruang kerjanya.
"Apa kau adalah iblis yang kemarin telah membuatku hampir mati? Kenapa sekarang kau seperti seorang malaikat?" batin Naura.
***
"Cintai terus wanita itu! Kau sendiri yang memudahkanku untuk menghancurkanmu!" gumam seseorang misterius di balik sebuah tirai.
***
"Olin, apa yang ingin kau katakan?" tanya Delice.
"Soal Nyonya!" Olin orang kepercayaan Delice. Bisa di katakan, Delicelah yang telah membesarkan Olin. Sehingga, hanya Olin seorang yang bisa di andalkan Delice untuk membantu menekan kelainan yang ada pada dirinya.
"Katakan!" Delice mulai menyalakan rokok. Rokok itu bukan rokok biasa, melainkan ada obat penenang di dalamnya. Delice harus tetap tenang, karena informasi yang akan di berikan Olin pada Delice, sudah pasti akan mengundang emosinya.
"Nyonya pasti trauma berat. Menurut saya, Tuan harus meminta Jean untuk mendampingi sebagai dokter kejiwaan."
"Soal itu, kau tidak perlu khawatir. Aku sudah memikirkannya."
"Satu lagi Tuan, tolong jangan pekerjakan Maria."
"Kenapa?"
"Tidak ada apapun. Hanya saja, Nyonya pernah melihat Fuan sedang bersama Maria. Apa tanggapan Nyonya kalau melihat Maria masih ada di sini?"
"Hal itu sudah aku pikirkan dan akan menjadi urusanku."
"Hanya itu saja Tuan, yang ingin saya bicarakan"
"Aku tahu, Tuan pasti sedang merencanakan sesuatu," batin Olin.
"Olin!" panggil Delice.
"Iya, Tuan?" Olin mengurungkan niatnya untuk keluar dari ruang pribadi Delice.
"Buatkan aku catatan, apa yang tidak di sukai seorang wanita, dan apa yang di sukainya. Aku beri kamu waktu 10 menit," pinta Delice dengan sedikit memaksa.
***
"Siapa kamu?" tanya Naura dengan suara yang terdengar seperti tercekik.
"Siapa aku, apakah itu penting?" seorang pria yang menutup setengah dari wajahnya, menyusup ke dalam kamar Delice yang full dengan keamanan.
"Dia bukan orang lain. Kalau dia bisa menyusup ke dalam kamar ini tanpa membunyikan alarm, dia pasti ada di sekitar Delice," batin Naura dengan ketakutan yang di sembunyikannya.
Pria misterius itu, meletakkan apel merah di atas meja, lalu mengeluarkan pisau yang tajamnya begitu menyilaukan.
"Kau tahu, pisau ini bisa langsung merobek organmu. Tapi aku tidak mungkin langsung membunuhmu. Aku harus membuatmu menderita, untuk membalaskan dendamku!"
JLEPPP
"Aaarrrhhhhh..."
***
TOK... TOK... TOK...
"Masuk!"
"Ini catatan yang Tuan inginkan," Olin memberikan catatan dalam bentuk buku kecil yang sangat mudah untuk di bawa kemana-mana.
"Apa kau sudah menyiapkan makan untuk Nyonya?"
"Saya akan segera menyiapkannya, Tuan!" Olin kemudian keluar, meninggalkan Delice seorang diri yang tengah fokus dengan catatan kecil yang akan mengubah hatinya.
"Apa Olin sedang mengerjaiku? Atau sedang mengejekku? Atau sedang mengujiku?" batin Delice setelah membaca catatan dari Olin.
"Pertama, wanita tidak suka jika ada pria kasar. Wanita pasti menyukai pria yang lembut. Kedua, wanita suka sebuah surprie," gumam Delice sembari membaca apa yang Olin tulis.
Delice membaca semua catatan dari Olin hingga di nomor terakhir, yaitu di nomor 123. Meskipun tidak begitu memahami, tapi Delice berusaha belajar demi Naura. Obat untuknya juga, tidak lagi di letakkan di manapun, melainkan selalu di bawanya.
Delice tidak ingin menjadi anjing gila lagi seperti hari yang sudah berlalu. Efek obatnya sudah hilang, tapi bekas dari kegilaannya masih membekas dengan sangat nyata.
"Aku pasti bisa menekan emosiku yang tidak manusiawi. Kau masih mau memaafkanku bukan?" gumam Delice.
Tiba-tiba ponsel Delice berdering. Di layar ponselnya, nama Ken terpampang dengan jelas.
"Hallo!" jawab Delice.
"TUAN, SEMUA TUGAS SUDAH SELESAI!" ujar Ken.
"Bagus! Kau boleh kembali. Soal bayaran kalian, aku akan mentransfernya seperti biasa," jawab Delice.
"Hmmmm... Jangan membelikan barang yang terlalu berlebihan? Apa maksudnya ini? Olin, apa aku kurang dalam mengajimu? Kenapa kau berikan aku kisi-kisi tanpa penjelasan seperti ini? gumam Delice setelah mematikan sambungan telepon dari Ken.
***
Olin memeriksa beras yang akan di masaknya menjadi bubur. Naura belum sanggup untuk menelan makanan padat, sehingga Olin memilih untuk membuat bubur.
Memar di perut Naura, akibat dari tendangan kaki Delice yang tidak terkira kekuatannya, mengakibatkan Naura tidak bisa menelan makanan padat untuk sementara waktu.
Olin memeriksa dulu bahan-bahan yang akan di gunakannya karena Naura sudah pernah teracuni dengan racun yang tidak berwarna dan tidak memiliki bau. Dokter Jean tidak menyebutkan jenis dan nama racunnya.
Olin menjadi lebih hati-hati dalam menyiapkan makanan, bahkan pakaian yang akan di kenakan Naura, Olin cek terlebih dahulu. Di dalam mansion, ada 18 pelayan, 1 kepala pelayan, belum lagi bodyguard dan beberapa penjaga di setiap sudut, sehingga sedikit sulit bagi Olin untuk mencurigai siapa pelakunya.
"Semoga Nyonya suka!" gumam Olin.
Bubur akhirnya matang. Olin memasukkannya ke dalam mangkok supaya menjadi hangat. Setelah hangat, barulah Olin akan memberikannya pada Naura.
"Kesayangan Nyonya yang tidak berguna, sibuk ya?" ledek Maria yang menghampiri Olin.
"Jangan di ladenin Olin! Ayo fokus saja pada cucian piring yang menumpuk," batin Olin.
"Apa kau sudah bisu, sama seperti majikanmu itu?" Olin benar-benar sudah tidak tahan dengan hinaan Maria untuk Naura.
WUSSSSHHHHH...
Olin melemparkan pisau tajam ke arah Maria. Maria langsung diam saja setelah pisau itu hampir menancap di lehernya.
"Kenapa? Kau terkejut? Atau kau takut? Aku bisa saja melemparkan pisau itu untuk langsung merobek lehermu," ucap Olin dengan puas sembari menepuk-nepuk pipi Maria.
AAAAAAAARRRRRRRRHHHHHHHHHHH....
BRUKKKKKKKKKKKK
"Nyonya1" pekik Olin