Delice, Ken dan juga Loid, pergi ke markas, di mana markas itu adalah sebuah tempat rahasia Delice. Markas yang selalu di gunakan untuk bertransaksi ilegal. Markas yang juga menjadi saksi bisu, bagaimana dirinya memuaskan dahaga dengan menguliti seseorang hidup-hidup. Tempat yang juga menjadi saksi, banyaknya orang lain yang mati.
Ken dan Loid, mereka bukanlah seorang psychopath dan paranoid seperti Delice. Delice melakukan hal-hal tidak berperasaan di luar kendalinya, sedangkan jika Ken dan Loid, melakukannya karena mereka ingin.
Delice tidak puas, jika hanya mematahkan satu tangan dan menendang dua pria yang menggoda Naura. Dua pria itu yang menyebabkan Naura harus merasakan pedihnya sebuah penyiksaan, hancurnya sebuah cinta dan juga kepercayaan.
Delice meminta Loid untuk menangkap mereka hidup-hidup. Mereka harus merasakan, penyiksaan yang lebih mengerikan lagi dari Naura.
"Itulah aku dan dendamku!" batin Delice sembari menatap kedua pria itu dengan tatapan yang mematikan.
KRETEK...
AAAAAAAAARRRRRRRRRRHHHHHHHHHH
Jeritan yang sangat memuaskan hati, kala tulang kepala mereka di injak hingga berbunyi seperti retak.
ARRRRRRRHHHH
AAAAARRRRRHHHHHHHHHHH
Teriakan kedua pria itu semakin panjang dan menyayat hati. Ken mencabut kuku mereka yang sehat, di mulai dari kuku kaki.
"Kalau bukan karena kalian, wanita itu pasti masih jalan-jalan denganku, menikmati indahnya dunia. Kalian menghancurkan rencanaku, jadi hidup kalian juga akan kuhancurkan," seru Delice yang hanya sekedar menonton bawahannya menyiksa mereka.
Delice selalu melakukan hal kotor apapun dengan begitu bersih. Sehingga, tidak akan ada bukti yang tersisa. Dengan kekuatan uang, jabatan, dan juga kekuasaan, Delice selalu bisa lepas dari jerat hukum, jika ada sedikit bukti yang terlacak. Karena selalu ada orang yang mau di jadikan kambing hitam.
(Berdering...)
Ponsel pribadi Delice berdering. Delice mencari tampat yang aman untuk tahu siapa yang sedang menghubunginya.
"Kalian lanjutkan saja bermain. Aku akan keluar sebentar," seru Delice.
"Hmmmmm? Nomor mansion? Ada apa?" batin Delice sembari mengerutkan alisnya.
"Hallo!" jawab Delice.
"TUAN, APA ANDA BISA KEMBALI SEKARANG?" ucapan Olin terdengar begitu gugup.
"Ada apa?" tanya Delice.
"NYONYA, TUAN..."
"Nyonya? Aku pulang sekarang!"
Delice masuk ke dalam markas yang pengap dan mulai bau darah segar. Delice menghampiri Ken dan Loid dengan ekspresi wajah yang sangat khawatir.
"Kemarikan kunci mobil! Nanti aku akan meminta Edwin untuk menjemput kalian, Lakukan tugas kalian dengan bersih," pinta Delice.
Loid melemparkan kunci mobil pada Delice. Urusan apa yang membuat Delice pergi tergesa-gesa, tidak membuat Ken ataupun Loid penasaran karena sesuai dengan perjanjian di antara mereka, mereka akan saling terbuka kecuali urusan pribadi.
Delice mengemudi dengan kecepatan tinggi, karena jarak markas dan mansion lumayan jauh. Membutuhkan waktu 1 jam jika Delice menggunakan kecepatan kilat seperti badai.
TUTTTTTTTT... (Delice menghubungi Olin)
"HALLO!"
"Maria? Olin mana? Berikan pada Olin, aku ingin bicara dengannya," ucap Delice.
Delice sangat membahayakan nyawanya karena mengemudi dengan kecepatan tinggi dan juga sembari menelfon.
"TUAN, TAPI OLIN SEDANG SIBUK,"
"Aku tidak peduli! Kalau tidak kau berikan, aku akan menjadikanmu mayat hidup!" ancam Delice.
"Baik, Tuan!
Tidak selang lama, Olin mulai bicara pada Delice dengan nada suara yang terdengar begitu khawatir.
"HALLO, TUAN!"
"Olin, bagaimana Nyonya?"
"KITA BICARAKAN SAJA DI RUMAH, TUAN. HARUS KITA BICARAKAN DI RUANGAN PRIBADI," Jika sudah menyangkut ruangan pribadi, pasti ada suatu hal yang begitu penting, ingin di sampaikan Olin.
"Oke! 30 menita lagi aku sampai!"
Jalanan yang sepi seperti tahu akan situasi. Sehingga memudahkan Delice untuk melewati setiap tapak jalanan yang biasanya begitu padat.
Benar saja, tepat 30 menit, Delice sudah sampai di mansion. Mansion yang begitu besar dengan halaman yang sangat luas karena terbiasa di gunakan untuk landasan pribadi.
"Sialan! Kenapa mansion ini terasa sangat jauh?" batin Delice mengumpat dirinya sendiri yang membangun mansion terlalu besar.
DRAP... DRAP... DRAP...
Suara langkah kaki Delice yang berlari, memenuhi ruangan di dalam mansion. Maria sudah berdiri menyambut kedatangan Delice.
"Selamat datang, Tuan!"
"Pergi! Aku sedang tidak ingin melihatmu! Aku akan mengurusmu nanti!" jawab Delice dengan tegas.
Delice langsung naik ke lantai atas dan menemuin Naura. Tubuh Naura semakin membiru karena memar. Kulit putihnya sudah ternoda oleh ulah Delice.
"Tuan, mari kita bicara," Olin mendahului pembicaraan.
"Katakan!" pinta Delice. Delice sudah menekan tombol rahasia yang membuat percakapan mereka tidak akan terdengar dari luar.
"Ada yang meracuni Nyonya di dalam mansion kita," ujar Olin.
"Racun? Bagaimana bisa?"
Olin menceritakan kronologi makanan yang tiba-tiba ada di dalam kamar saat Naura tengah sendiri. Kali ini, racun mengalir ke tubuh Naura melalui makanan ataupun minuman yang di telannya.
"Nyonya sempat kejang dan membuat saya panik. Saya ingin mengecek bahan pangan yang masih tersimpan di gudang. Nyonya selalu makan masakan yang saya olah dengan tangan saya sendiri. Tidak mungkin ada yang memberikan racun di makanan yang sudah matang," jelas Olin.
"Kau benar! Kau panggil Jean untuk masuk!" perintah Delice.
Olin keluar dan memanggil Jean, sedangkan Delice duduk di samping tubuh Naura yang berbaring dengan mata yang masih tertutup.
"Naura, apa kau tidak akan bangun untuk melihatku? Aku mengijinkan kau untuk menamparku lagi. Aku ijinkan kau untuk membalas perbuatan. Bisakah kau bangun dan memakiku?" gumam Delice.
Tangan Delice membelai kepala Naura yang luka. Tangan Delice juga mengelus pipi Naura yang lebam.
"Aku akan bangun, setelah kau menyesali dan mengakui perbuatanmu," batin Naura.
Naura yang sudah bangun, berpura-pura masih memejamkan matanya. Hatinya yang muak dengan perilaku Delice yang sangat keterlaluan. Hati Naura di penuhi oleh amarah. Tapi, hatinya sudah luluh saat Olin menjelaskan situasi yang sebenarnya.
"Bagaimana mungkin aku bisa bersimpati dengan pria buruk sepertimu? Kenapa aku tertarik dan mulai menyukaimu?" batin Naura.
Olin dan Dokter Jean sudah masuk ke dalam kamar pribadi milik Delice. Dokter Jean yang sudah tinggal dan bekerja bertahun-tahun dengan Delice, masih saja gemetaran jika harus berhadapan langsung dengan Delice.
"Bagaimana penelitianmu? Apa ada yang salah dengan obat penenangku?" tanya Delice.
"Seperti yang Anda curigai, Tuan. Obat penenang Anda, bukanlah obat yang biasa saya berikan. Tekstur dan kepadatannya sama, warna dan bentuknya sama, tapi kandungan yang terdapat di dalamnya bertolak belakang," jelas Dokter Jean.
"Apa kau tahu, dari mana obat itu berasal? Aku akan menyelidikinya langsung di pusatnya."
"Tuan, obat yang Anda minum biasanya di berikan untuk membuat Anjing menjadi gila. Saya sudah membuat penawarnya. Cukup satu kali minum, efek yang tersisa akan hilang. Obat itu biasanya di jual di pasar-pasar gelap ataupun tempat pelelangan," jawab Dokter Jean.
"Kau boleh pergi!" ucap Delice. Delice menerima obat yang di berikan Dokter Jean untuknya.
"Tuan, Nyonya sudah membaik. Saya sudah mengeluarkan racunnya. Racun tidak memiliki tekstur apapun. Tidak membunuh Nyonya dalam sekejap, tapi menggerogoti organ tubuh Nyonya secara perlahan,"
"Siapa yang terang-terangan ingin melawanku di rumah ini?" gumam Delice.
"Jangan lagi menambahkan dendam yang akan menjadi beban."