webnovel

MY WIFE

Zein adalah pria yang aku kenal dengan kepribadian yang memang dingin dihadapan banyak orang. Namun aku mengenal Zein dengan hati, ternyata lambat laun Zein bukanlah sedingin itu. Namun Zein justru sebaliknya sangat ramah dan penuh kasih sayang. Kehidupan yang gersang semenjak tragedi kecelakaan yang menewaskan Ayah dan Ibuku itu terlipur dengan besarnya cinta Zein. Namun badai tiba-tiba menghempas harapanku, yang membuat aku dan Zein harus berpisah sementara waktu bahkan kami akan saling menjauh karena restu yang tidak kami dapat. "Zein, kasihlah aku kesempatan untuk kembali mencintaimu ...."

sholiaayumathluby · Urbain
Pas assez d’évaluations
4 Chs

Layaknya Pelayan

"Sudah Jam empat kurang ... sebaiknya aku bersiap untuk pergi ke kamar mandi karena sebentar lagi sudah datang waktu sholat."

Aku menuju lantai jemuran untuk mengambil handukku yang kemarin sore belum sempat kering.

"Finai ... tolong buatkan aku nasi goreng ya ...."

Belum selesai aku menaiki satu anak tangga, sudah ada teriakan dari Kakak perempuan Miftah, anak tunggal dari Bibiku itu.

Tidak bisa juga kalau aku mengabaikan perintah Ratu Manja itu, yang ada nanti Bibiku emosi tinggi.

Tahu sendiri bukan? Kalau kakak perempuan Miftah itu bila perintahnya yang ini itu tidak dilaksanakan, akan dilaporkan ke Bibi dan aku akan dimarahin Bibi.

Aku turun tanpa menjawab. Pagi buta seperti ini, ada saja kerjaan. Padahal masih malas buat melakukan apapun aktivitas.

Aku meracik bahan, lalu mengambil nasi yang ada di wadah nasi yang letaknya di atas lemari es.

Aku yakin, itu nasi sudah disiapkan sama Kakak perempuan Miftah. Cuman dianya malas saja, untuk menggoreng nasi. Untuk itu, menyuruhku.

Aku membuka wadah garam ternyata tinggal sedikit, sudah jelas ini nasi goreng nanti tidak akan terasa gurih dan lezat.

"Lama amat, kamu masak nasi goreng apa masak kepiting?"

Kakak perempuan Miftah ini, bisanya hanya ngomong saja. Tidak mau melakukannya sendiri. Kalau lama ya, lakukan saja sendiri dari pada berteriak terus. Memang aku ini apa? Pelayannya?

Tapi memang, aku di sini diperlakukan seperti pelayan yang melayani Ratu Miftah dengan sepenuhnya. Ini semua karena terpaksa dan aku tidak ada pilihan lain selain menuruti perintah Kakak perempuan Miftah.

"Ini Ratu ...."

Ujarku di samping meletakkan nasi gorengnya di atas meja belajarnya.

Jangan bilang kalau aku akan diperintah lagi untuk mengambil air minum.

Bukan, biasanya pagi buta seperti ini minuman Ratu Miftah adalah Jus Apel. Tapi entahlah, aku harus pergi dari sini. Sebelum Ratu Miftah itu membuatku letih sendiri karena perintahnya.

"Ini nasi goreng apa nasi kecap? Rasanya hambar tidak ada lezatnya."

Aku diam membeku. Tadi aku mau kasih tau soal garam yang mau habis hanya tinggal sedikit. Tapi nanti kalau aku bilang, pergi ke kamarku tidak bisa cepat.

Apalagi habis sholat nanti aku harus bersiap untuk bekerja.

"Halo, Cintaku?"

"Hai, Sayang."

Aku tersenyum lega, setelah beberapa jam ponselku tidak ada deringnya.

Bukan karena paketan dataku habis bulan ini. Tetapi karena aku belum menerima balasan dari pacarku.

Mungkin dianya sedang ada kerjaan lembur malam, sampai ketiduran dan lupa membalas pesanku.

"Kamu lagi apa?"

Aku semakin tersenyum.

Pacarku ini kalau tanya itu, entah kenapa aku bisa sebahagia ini? Bukankah itu pertanyaan biasa saja? Aku ini tersesat di mana?

Perutku seperti halnya ada ribuan sayap kupu-kupu, sehingga geli rasanya menyentuhku.

"Mau sholat saja."

Hening sejenak.

Sebenarnya aku bingung mau memberikan jawaban apalagi? Apa aku ganti yang tanya apa yang akan dilakukannya sekarang?

"Aa-"

"Nanti selesai kerja, kamu aku jemput ya? Sekalian pulangnya bersama."

Belum juga aku mau tanya dianya lagi melakukan apa? Sudah terdahului dengan tawarannya sepulang kerja. Padahal ini juga belum selesai bekerja.

"Iya Cinta, terima kasih. Aku sekarang mau sholat dulu. Bolehkan?"

Pamitku sambil meyakinkannya.

Sebenarnya aku masih mau telpon dan berbincang banyak. Tetapi bagaimana lagi, aku habis ini juga mau kerja dan harus sholat dahulu.

"Iya, aku mencintaimu Finai."

Aku tersenyum dan berasa malu-malu tetapi aku masih mau.

"Aku juga mencintaimu."

Ponsel aku lempar di atas tempat tidurku. Setidaknya tepat di samping bantalku yang berlapis kain tipis.

***

"Ibu Hesti ke mana ya? Sudah pukul sembilan kenapa belum datang? Apa Ibu Hesti lagi sibuk acara keluarga atau sedang sakit atau bagaimana?"

Aku mencoba menghubungi nomor telpon Ibu Hesti. Di layar ponselku tertulis berdering. Tetapi, ini sudah tiga kali kenapa tidak diangkat?

Sebentar. Apa aku harus menghubungi Paman Aldan? Dianya bukankah orang kepercayaan Ibu Hesti? Memang Paman Aldan itu supir. Setidaknya paman Aldan sendiri itu tahu, di mana keberadaan Ibu Hesti. Karena setiap ibu Hesti pergi, selalu ada paman Aldan yang menjadi andalan.

"Halo, Paman Aldan?"

"Iya, aku sendiri. Ada apa Nona?"

Paman Aldan sepertinya terkejut dengan panggilan telpon dariku. Tapi ini, juga karena aku cemas dengan Ibu Hesti.

"Ibu Hesti kenapa tidak ada di tempat kerja ya? Bukankah pukul delapan sudah ada?"

Paman Aldan aku rasa faham kenapa aku mencari yang namanya Ibu Hesti. Kalau bukan tujuannya untuk memberikan laporan keuangan perusahaan setelah aku rekap apalagi?

"Ibu Hesti sedang sakit, hari ini akan ada dokter rumah sakit kota yang mau memeriksanya."

Aku terdiam sejenak. Bukankah kemarin Ibu Hesti tidak sakit, bahkan masih sehat tidak ada tanda sakit darinya yang aku temukan. Lalu bagaimana ceritanya hari ini Ibu Hesti mendadak Sakit?

"Tidak apa Paman, kalau begitu nanti sore aku menjenguknya sekalian memberikan laporan keuangan bulan ini sama bulan kemarin."

"Iya Nona, terima kasih. Nanti akan saya sampaikan."

Panggilan berakhir.

"Sayang ...."

Aku mengenal suara itu.

Zein? Kapan dianya tiba di sini?

"Cintaku ...."

"Ayo, kenapa kamu belum siap? Tadi aku bukankah sudah bilang kalau kita akan pulang bersama?"

Aku diam sejenak sambil menunduk.

"Iya, sudah. Masalahnya Ibu Hesti tidak datang hari ini Zein, tadi banyak yang harus aku kerjakan. Maaf ya?"

Zein melepas pelindung kepalanya. Aku yakin, Zein kepanasan dengan suhu panas kota tempatku bekerja ini. Lihatlah, dahinya sampai keluar keringat.

"Iya, sekarang sudah selesai bukan? Ayo, pulang!"

Aku tersenyum nyengir, Zein pasti tahu apa maksud aku kali ini.

"Kenapa? Tidak mau pulang apa kamu?"

"Bukan begitu sayang, nanti aku harus mampir ke rumah Ibu Hesti dahulu. Kamu bisa mengantarkan aku ke sana? Ibu Hesti lagi sakit."

"Oh, pemilik perusahaan kamu itu? Sakit apa?"

Sudah aku menyangka. Kalau Zein tahu kalau Ibu Hesti adalah pemilik Perusahaan tempat kerjaku ini.

Aku sering menceritakan tentang Ibu Hesti yang baik hati dan perhatian kepadaku itu kepada Zein.

Apalagi Zein tau sendiri, bahwasanya Ibu Hesti itu menganggap aku adalah anaknya dan aku menganggap Ibu Hesti adalah Ibuku. Kami memang tidak ada ikatan darah, namun kami mempunyai ikatan batin yang kuat. Untuk itu, aku terkadang cemas setiap keadaan.

"Aku kurang tahu, tadi aku mengetahui kabar ini dari Paman Aldan."

"Ya sudah, aku tunggu di sini ya. Ambil tas kamu, ayo kita menjenguk Ibu Hesti."

Aku mengangguk sambil berlalu dengan senyuman.

***

Setelah ke pasar membeli buah, kami langsung menuju ke alamat Ibu Hesti.

Kalau jarak dari pasar kota, sudah agak dekat. Mungkin sekitar lima sampai dua puluh menit. Tetapi ini pasar sedang ada kemacetan. Mungkin tiga puluh menit lagi baru sampai.

"Sabar ya. Masih macet."

Aku mendengar suara Zein yang agak samar.

Bagaimana aku bisa mendengar jelas? Suara motor yang berhenti namun dengan mesin yang masih menyalah ini membuat aku kesulitan mendengar.

Tetapi karena suara Zein agak sedikit keras. Aku bisa tahu apa yang sedang disampaikannya.

"Tidak apa Sayangku, yang penting bisa sampai."

Aku merapatkan pelukanku kepada Zein. Apakah ini dosa?

Seharusnya kami berdua sudah sah dari tiga bulan yang lalu, namun kematian saudara kembarku yang membuat rencana pernikahan kami ini menjadi batal.

Tentang tunanganku dengan Zein, seharusnya sudah terjadi lama. Namun tradisi yang berbeda di antara kamilah yang membuat ini semua menjadi terjadi. Dari pihakku memang diharuskan untuk bertunangan hanya dengan satu buah cincin sudah resmi.

Namun berbeda dari pihak Zein. Keluarganya tidak akan pernah bisa memyetujui kami berdua bertunangan. Bahkan hanya sekedar bertukar cincin, peristiwa itu tidak akan pernah terjadi.

Aku tidak faham dengan tradisi Zein mengapa seperti itu, apakah ada asal-usulnya atau bagaimana?

"Akhirnya, jalan ini tidak macet lagi."

Aku mendegar suara Zein yang sepertinya lega dengan keadaan.

Rencana, aku harus pulang sebelum Maghrib. Nanti kalau kemalaman, yang ada Bibi sama Paman tanya banyak ke mana saja perginya aku.

"Zein, nanti bisakan? Kalau kita pulangnya sebelum maghrib?"

Zein sepertinya memikirkan jawaban.

"Hmm. Kalau ini juga tergantung kamu, Finai. Aku bebas pulangku jam berapa saja. Bahkan aku besok pulangnya juga tidak mengapa, tidak masalah."

"Terima kasih sayang, tambah cinta jadinya ...."

"Iya, tidak usah khawatir. Aku juga tidak akan keberatan."

Aku tersenyum sambil menatap jalanan yang mengalami gerak semu.

Entah, hari ini akan hujan pada pukul berapa. Namun aku lihat orang yang bertempat tinggal di sepanjang jalanan ini seperti tidak takut kalau nanti mungkin hujan angin secara mendadak.

Mereka seperti biasa, masih sama. Melayani pembeli yang banyak keinginannya. Lalu menerima uang setelah para pembeli itu menemukan barang yang dicarinya.

Di sini udaranya tidak menentu, terkadang aku menghirup udara yang baunya seperti bau nanas yang siap di makan. Ada juga bau ikan yang amis atau terkadang aku juga menghirup udara hujan yang entah berasal dari mana.

"Kamu sudah bisa turun sendiri?"

Aku tetap di atas motornya Zein.

Aku dari dulu heran sendiri, kenapa tidak bisa turun dari motornya? Apa aku ingin saja manja, agar di gendong Zein untuk turun ke bawah?

"Maaf Zein, tidak bisa ...."

Aku tersenyum nyengir, sementara Zein turun duluan dari atas motornya.

"Pegangan, aku turunin."

Lihat, aku di gendong Zein lagi. Memang sayangku ini perhatian sekali, tapi kasihan juga kerepotan karena aku.

Aku lihat dari sini, Paman Aldan sedang menikmati minuman kopi hangatnya yang di taruh di cangkir putih.

Paman Aldan mungkin barusan saja membawa kopi itu, atau mungkin sudah lama belum meminumnya karena mengurus Ibu Hesti.

"Assalamualaikum Paman."

Paman Aldan berdiri dari tempat duduknya.

"Waalaikum salam. Ini apa Nona?"

Paman Aldan seperti kaget, saat aku kasih bungkusan buah segar yang tadi sempat aku beli di pasar.